Melacak Genealogi Ilmu Hukum Mazhab Gado-Gado Ala Indonesia
Feature Story

Melacak Genealogi Ilmu Hukum Mazhab Gado-Gado Ala Indonesia

Bernilai positif sekaligus negatif. Dipengaruhi oleh ekonomi politik, politik hukum, serta penjelajahan intelektual para ilmuwan hukum Indonesia.

Normand Edwin Elnizar
Bacaan 11 Menit
Alumni Rechtsschool yang beberapa diantaranya pribumi yakni Prof. Mr. Dr. Hazairin, Prof. Mr. Satochid Kertanegara, Prof. Mr. Dr. Soepomo. Foto Repro: Dokumentasi FHUI
Alumni Rechtsschool yang beberapa diantaranya pribumi yakni Prof. Mr. Dr. Hazairin, Prof. Mr. Satochid Kertanegara, Prof. Mr. Dr. Soepomo. Foto Repro: Dokumentasi FHUI

Tahukah Anda kapan bangsa Indonesia kali pertama berkenalan dengan Ilmu Hukum melalui pendidikan hukum? Salah besar jika menyebut sejak didirikannya Rechtshoogeschool pada 28 Oktober 1924 di Batavia (sekarang DKI Jakarta). Jauh sebelum itu telah berdiri Opleidingsschool voor De Inlandsche Rechtskundigen pada 26 Juli 1909. Soetandyo Wignyosoebroto, Guru Besar Hukum kenamaan asal Universitas Airlangga memastikan itu. Ia menyanjung sekolah yang pada tahun 1918 berganti nama menjadi Rechtsschool itu.

“…sebenarnya Opleidingsschool ini benar-benar merupakan sebuah sekolah elit, bahkan sangat elit,” kata Soetandyo. Ia menyebut bahwa meski sekolah hukum ini belum setara pendidikan tinggi, perannya sangat signifikan dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia. Sanjungan Soetandyo bukan tanpa dasar. Ia bepergian jauh ke Belanda untuk menyusun laporan riset sejarah hukum yang diterbitkan tahun 1993. Hasil penelusuran kepustakaan dari bahan-bahan di Belanda itu diberi judul “Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia”.

Baca Juga:

Latar belakang kelahiran Rechtsschool adalah semangat polemik di kalangan birokrat pemerintah kolonial soal keterlibatan pribumi dalam jabatan kehakiman kolonial. Oleh karena itu, sekolah hukum ini hanya terbuka untuk anak pribumi. Namun, syarat masuknya jauh lebih ketat dibandingkan sekolah keahlian kedokteran dan sekolah keahlian pemerintahan yang didirikan lebih dulu oleh pemerintah kolonial. Soetandyo menjelaskan syarat-syarat penerimaan sejak awal menyaring hanya anak pribumi dari kalangan pejabat tinggi dan kalangan priyayi yang bisa masuk.

Calon siswa harus memiliki ijazah Europese Lagere School (ELS) serta rekomendasi dari pejabat Eropa dalam pemerintahan setempat. ELS sendiri adalah lembaga pendidikan dengan bahasa Belanda sebagai satu-satunya bahasa pengantar. Hanya anak-anak yang sejak masa kecilnya berbahasa Belanda sebagai bahasa sehari-hari saja yang sanggup bersekolah di sana. Maka, hanya anak-anak keturunan langsung pejabat tinggi seperti Bupati atau serendahnya hoofd penghulu yang sudah membuka diri pada cara hidup Eropa yang masih mungkin bersekolah di ELS. Soetandyo bahkan mencatat ELS awalnya hanya boleh dimasuki anak-anak keluarga Belanda atau Eropa lainnya.

“Sekolah Dokter Jawa dan sekolah pamong praja (Osvia) saja tidak menuntutkan syarat penerimaan seberat itu,” kata Soetandyo dalam laporan risetnya. Dua sekolah yang ia sebut dikenal dengan nama School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA/Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi) dan Opleidingschool voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA/Sekolah Pendidikan Pribumi untuk Pegawai Negeri Sipil). Syarat masuk dua sekolah ini cukup dengan ijazah Holandsch-Inlandsche School (HIS/Sekolah Belanda untuk Pribumi).

Rechtsschool juga mewajibkan siswanya tinggal di asrama dengan disiplin hidup sesuai etika pergaulan Eropa. Rupanya sekolah hukum ini tidak hanya ingin memberika pendidikan akademik, tetapi juga pengembangan karakter ala Eropa. “Dewan Penyantun menghendaki agar para siswa telah dan akan dapat terus didedah pada budaya Eropa, dan untuk seterusnya bersedia menerima pola kehidupan yang terpola menurut etiket dan kaidah-kaidah moral peradaban Barat,” kata Soetandyo.

Tags:

Berita Terkait