MA Tak Hitung Upah Selama Proses dan Pesangon
Berita

MA Tak Hitung Upah Selama Proses dan Pesangon

Meski pemeriksaan perkara di Mahkamah Agung sering memakan waktu lama, hakim kasasi tak mau menghitung upah selama proses dan pesangon hingga putusan berkekuatan hukum tetap. MA hanya berpatokan pada putusan PHI.

IHW/CR1
Bacaan 2 Menit
MA Tak Hitung Upah Selama Proses dan Pesangon
Hukumonline

 

Undang-undang memberi pengecualian bagi pengusaha yang lebih memilih menjatuhkan skorsing kepada pekerja ketimbang tetap mempekerjakannya saat proses PHK. Jika pilihan itu yang diambil, pengusaha tetap berkewajiban membayar upah pekerja. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 155 Ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Nah, upah yang tetap harus dibayar pengusaha dalam proses PHK ini sering dikenal dengan upah proses.

 

Pada praktiknya, hakim PHI yang mengabulkan PHK suatu perkara juga menghitung jumlah uang proses yang harus dibayar pengusaha. Termasuk uang pesangon dan uang lain yang berhak diterima pekerja sesuai undang-undang. Biasanya upah proses dan pesangon dihitung sampai putusan hakim PHI dibacakan.

 

MA tidak menghitung

Lain hakim PHI, lain pula hakim di MA. Majelis hakim kasasi tak pernah menghitung ulang upah proses maupun pesangon, meski pemeriksaan perkara memakan waktu berbulan-bulan, bahkan ada yang lebih dari setahun. Padahal, seharusnya perkara PHI di MA harus diputus paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan kasasi diterima.

 

Paling tidak hal itu yang dilakoni Arsyad. Hakim Adhoc pada MA ini mengakui bahwa ia tak pernah menghitung ulang upah selama proses dan pesangon. Kita memeriksa dan mengadili perkara PHI. Jadi besar pesangon dan upah proses yang dikabulkan, ya hanya yang ditetapkan PHI saja, katanya, Sabtu (22/11).

 

Rekan sejawat Arsyad yang juga hakim adhoc pada MA menuturkan, mustahil bagi hakim di tingkat kasasi untuk mengutak-atik lagi perhitungan upah proses dan pesangon. Sesuai hukum dan undang-undang, hakim di tingkat kasasi hanya mengadili penerapan hukum. Kalau kita juga menghitung, bisa ultra petita.

 

Pasal 97 UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) memang merumuskan, kewajiban yang harus dilakukan dan/atau hak yang harus diterima oleh para pihak atau salah satu pihak ditetapkan dalam putusan PHI.

 

Tapi jika mengacu pada Pasal 56 huruf c UU PPHI, disebutkan bahwa untuk perkara perselisihan pemutusan hubungan kerja, PHI hanyalah pengadilan tingkat pertama. Berbeda dengan perkara perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan, PHI menjadi lembaga pemutus tingkat pertama sekaligus terakhir.

 

Arsyad punya argumentasi lain. Menurutnya, tidak adil membebankan kepada pengusaha untuk membayar upah proses dan pesangon lebih dari yang ditetapkan PHI hanya karena lambatnya proses penanganan perkara di MA. Tahun ini saja ada delapan ratusan permohonan kasasi dan seratusan permohonan PK, katanya.

Dengan langkah terburu-buru, seorang laki-laki keluar dari ruang administrasi kepaniteraan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Ia bergegas menuju tempat foto copy yang terletak di bagian belakang gedung itu.

 

Selesai memfoto copy, ia mulai membuka lembar demi lembar dokumen yang tak lain adalah salinan putusan Mahkamah Agung (MA). Usai membaca, ia hanya menggeleng-gelengkan kepala. Pria itu adalah seorang aktivis serikat pekerja. Ia baru saja mengambil salinan putusan perkara salah seorang anggotanya. Waduh, setelah lebih dari setahun diperiksa, upah proses dan pesangon yang ditetapkan MA tak berbeda dari yang dijatuhkan hakim PHI, keluhnya kepada hukumonline.

 

Dalam perhitungan aktivis serikat pekerja itu, seharusnya MA juga menghitung upah selama proses dan pesangon sampai putusan berkekuatan hukum tetap. Faktanya nggak begitu.

 

Sebagaimana diketahui, penghitungan upah selama proses dan pesangon hanya diberikan kepada pekerja yang diputus hubungan kerjanya. Sementara berdasarkan Pasal 151 Ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah beroleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.  Jika dilakukan tanpa penetapan dari lembaga tersebut terlebih dulu, maka PHK yang dilakukan perusahaan menjadi batal demi hukum. Hal itu ditegaskan dalam Pasal 155 Ayat (1) undang-undang yang sama.  

 

Selanjutnya, menengok Pasal 155 Ayat (2) UU Ketenagakerjaan, sepanjang penetapan PHK belum dikeluarkan, masing-masing pihak harus tetap melaksanakan kewajibannya. Pekerja tetap bekerja, sementara pengusaha tetap berkewajiban membayar upah.

Tags: