Kisruh Derivatif Stanchart Vs PT Nubika Bergulir Lagi
Berita

Kisruh Derivatif Stanchart Vs PT Nubika Bergulir Lagi

Stanchart menyatakan PT Nubika wanprestasi lantaran menghentikan transaksi derivatif. Padahal dalam gugatan rekonvensi sebelumnya, Stanchart menyatakan PT Nubika melakukan perbuatan melawan hukum dengan alasan yang sama.

Mon
Bacaan 2 Menit
Kisruh Derivatif Stanchart Vs PT Nubika Bergulir Lagi
Hukumonline

 

Dalam gugatannya, Stanchart menyatakan para tergugat wanprestasi atas Banking Fasility Agreement dan dua kontrak derivatif. Yakni, Callable Ratio Forward Currency (Callable Forward) dan Target Redemption Forward (Target Forward). PT Nubika,  PT Permata Hijau Sawit dan PT Victorindo dituntut melunasi utang pada Stanchart sebesar Rp182,457 miliar secara tanggung renteng. Sementara, Robert dituntut melaksanakan jaminan sebesar AS$5 juta dan Rp8,033 miliar. Pembayaran utang dan pelaksanaan jaminan ditambah bunga 6 persen, terhitung sejak gugatan dilayangkan hingga pelunasan.

 

Utang itu bermula saat PT Nubika, PT Permata Hijau Sawit dan PT Victorindo serta Bank Danamon menandatangani Banking Facility Letter Reference pada 23 Juni 2006. PT Permata Hijau Sawit berkedudukan sebaga debitur, sedangkan PT Nubika dan PT Victorindo sebagai debitur bersama (co-borrower). Perjanjian itu diikuti dengan penandatangan General Credit Terms and Conditions yang merupakan bagian dari  Banking Facility Letter Reference. Robert selaku Direktur Utama ketiga perusahaan tersebut berperan sebagai penjamin atas fasilitas perbankan itu. Dalam perjalanannya, perjanjian yang berakhir pada 30 Juni 2008 itu diamandemen pada 2 Agustus 2006 dan 19 Oktober 2007.

 

Berdasarkan Banking Facility Letter Reference, para pihak sepakat atas penyediaan berbagai fasilitas kredit dan foreign exchange facility. PT Nubika lalu merealisasikannya dengan menandatangani perjanjian Target Forward  pada 19 Agustus 2008 dan Callable Forward pada 12 September 2008. Dua perjanjian itu bertujuan untuk hedging (lindung nilai) sebab PT Nubika merupakan perusahaan eksportir yang memiliki penghasilan dolar, tetapi memiliki pengeluaran dalam rupiah.

 

Dalam kontrak Target Forward, PT Nubika wajib menyerahkan dolar, sementara Stanchart menyerahkan rupiah berdasarkan nilai tukar yang disepakati dalam 25 kali transaksi. Hal yang sama juga berlaku dalam kontrak Callable Ratio Forward. Bedanya transaksi disepakati dilakukan 52 kali.

 

Nyatanya, setelah transaksi berjalan sembilan kali, PT Nubika menghentikan perjanjian Target Forward. Begitupula dengan dengan transaksi Callable Forward yang macet pada transaksi ketujuh. Stanchart lalu mengakhiri perjanjian (unwind) Target Forward dan Callable Forward pada 10 Januari 2009 lantaran PT Nubika wanprestasi. Menyusul kemudian, Stanchart mengirimkan pemberitahuan penghentian transaksi (notice of termination) pada 16 Januari 2009.

 

Tuntut Ganti Rugi

Dalam petitum gugatan, selain menuntut pelunasan utang, Stanchart meminta majelis hakim menyatakan perjanjian Callable Forward dan Target Forward sah menurut hukum. Hal senada diungkapkan Stanchart saat menjawab gugatan PT Nubika. Ketika itu, Stanchart juga menggugat balik PT Nubika karena menghentikan transaksi derivatif. Bedanya, ketika itu Stanchart menyatakan PT Nubika melakukan perbuatan melawan hukum sehingga Stanchart menuntut ganti rugi sebesar Rp 116.414.562.014.

 

Selain itu, Stanchart mengaku mengalami kerugian atas rusaknya nama baik dan reputasi, sehingga kehilangan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu Stanchart menuntut ganti rugi immateriil sebesar Rp100 miliar. Kerugian itu harus dibayar secara tunai dan sekaligus dibayar selambat-lambatnya delapan hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap.

 

Sebelumnya, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah membatalkan perjanjian Callable Forward dan Target Forward. Kontrak derivatif dinilai mengandung kausa yang tidak halal. Pasalnya, tujuan hedging tak dapat diraih dari transaksi derivatif. Tidak hanya bersifat spekulatif, tapi juga eksploitatif, begitu hakim Nani Indrawati saat membacakan putusan, 30 Juli lalu.

 

Perjanjian derivatif juga dinilai tak seimbang. Kedudukan Stanchart lebih superior dibanding PT Nubika. Apabila nilai rupiah di bawah strike rate, Stanchart secara otomatis dapat menghentikan perjanjian. Namun PT Nubika tak bisa melakukan hal yang sama apabila nilai dolar di atas strike rate. Sementara, dalam perjanjian tak dijelaskan berapa dan bagaimana perhitungan unwind jika Stanchart membatalkan perjanjian.

Standard Chartered Bank (Stanchart) agaknya tak tinggal diam atas pembatalan dua kontrak derivatif dengan PT Nubika Jaya oleh pengadilan. Meski sudah mengajukan banding, Stanchart tetap menggugat perusahaan kelapa sawit itu ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dipimpin oleh Ennid Hasanuddin, persidangan perdana perkara No. 286/Pdt.G/2009/PN.JKT.PST itu digelar Rabu (26/8). Enid sendiri sebenarnya anggota majelis hakim. Ia menggantikan ketua majelis hakim Syahrial Sidiq yang berhalangan hadir.

 

Hadir sebagai kuasa hukum Stanchart Mario Abdi Amrillah. Sementara, PT Nubika maupun kuasa hukumnya belum hadir di persidangan. Hanya, kuasa hukum PT Nubika dalam perkara derivatif, David ML Tobing, yang muncul di persidangan. David menyatakan belum mendapat suara kuasa dari PT Nubika. Meski demikian, PT Nubika telah memberitahukan David perihal gugatan Stanchart itu. Majelis hakim lalu memutuskan untuk menunda persidangan hingga tiga minggu ke depan.

 

Berdasarkan dokumen yang diperoleh hukumonline, Stanchart mendaftarkan gugatan pada 28 Juli 2009. Yakni, dua hari sebelum putusan gugatan PT Nubika terhadap Stanchart dibacakan. Tak hanya PT Nubika yang dibidik sebagai tergugat I. Stanchart juga menggugat PT Permata Hijau Sawit dan PT Victorindo Alam Lestari, masing-masing sebagai tergugat II dan III. Pemilik ketiga perusahaan, Robert, disasar sebagai tergugat IV. Sementara turut tergugat adalah Maria Wijaya dan Diana Virgo.

Tags: