Kewajiban Kontrak Berbahasa Indonesia Resahkan Advokat
Berita

Kewajiban Kontrak Berbahasa Indonesia Resahkan Advokat

Pembentuk undang-undang menyatakan Pasal 31 ayat (1) diadakan dengan maksud untuk menegakkan citra dan identitas Indonesia.

M-7/M-8
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Erwandi, Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan negara lain seperti Jepang yang meskipun mengutamakan bahasa nasional mereka, tetapi tidak mempengaruhi perekonomian. Semuanya, kata Erwandi, bergantung pada bargaining power (posisi tawar). Selama bargaining power Indonesia mumpuni, kendala apapun tidak menjadi masalah. "Kecuali Indonesia memiliki bergaining power yang kuat, misalnya saja natural resources yang dibutuhkan hanya ada di Indonesia, mau tidak mau mereka pasti akan masuk, tetapi kalau misalnya ada pilihan lain, ya mereka akan memilih negara lain," paparnya. 

 

Uniknya, walaupun menyatakan ‘wajib', undang-undang yang digodok di Komisi X DPR itu tidak mencantumkan sanksi apapun jika Pasal 31 ayat (1) tidak dilaksanakan. Selain itu, ayat (2) pasal yang sama, sebenarnya masih membuka peluang sebuah perjanjian dibuat dengan Bahasa Indonesia sekaligus bahasa nasional si pihak asing. Namun, masalah masih saja mungkin muncul berkaitan dengan penafsiran. Jika terjadi selisih paham, perjanjian versi mana yang akan dijadikan rujukan?

 

UU No 24 Tahun 2009 sebenarnya bukan satu-satunya norma yang mewajibkan penggunaan Bahasa Indonesia dalam perjanjian. Berdasarkan catatan hukumonline, Bank Indonesia juga pernah menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 11/26/PBI/2009 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Melaksanakan Kegiatan Structured Product Bagi Bank Umum. PBI tersebut menyatakan kontrak derivatif harus berbahasa Indonesia. Bedanya, PBI ini disambut positif.

 

Ketua Komisi X DPR Irwan Prayitno berpendapat kewajiban membuat perjanjian dalam Bahasa Indonesia tidak ada korelasinya dengan kondisi perekonomian maupun iklim invetasi. Menurutnya, investasi lebih mempertimbangkan stabilitas dan keamanan nasional ketimbang masalah bahasa. Urusan-urusan gini (perjanjian) kan, urusan kerjaan profesional para notaris dan pengacara, ia menambahkan.

 

Pasal 31 ayat (1), kata Irwan, dibuat dengan pertimbangan matang. Menurut Irwan, bangsa Indonesia sudah sepatutnya bangga menggunakan bahasa nasionalnya sendiri sebagai alat komunikasi, termasuk dengan warga negara lain. Sementara, kendala bahasa bisa disiasati dengan  terjemahan. Siapa lagi kalau bukan kita yang menggunakan bahasa untuk memperkenalkan ke luar? ujar Irwan. Ia mempersilahkan bagi pihak-pihak yang keberatan dengan penerapan UU No 24 Tahun 2009 untuk mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

 

Sebab terlarang

Kepala Pusat Bahasa Dendy Sugono menerangkan rumusan Pasal 31 ayat (1) diadakan dengan maksud untuk  menegakkan citra dan identitas Indonesia. Dendy mengaku prihatin melihat penggunaan bahasa belakangan ini. Ia mencontohkan tren penggunaan bahasa asing pada pusat-pusat perbelanjaan atau perumahan, seperti Margonda City dan BSD City. Kalau ini terus menerus terjadi, perekonomian kita juga tidak mandiri, budaya kita juga akan tergeserkan oleh budaya asing, jadi semangat nasionalisme, semangat kebangsaan dan semangat keindonesiaan harus kita pertahankan, ujarnya.

 

Ke depannya, kata Dendy, kedudukan Bahasa Indonesia akan ditegaskan seperti bahasa nasional di Cina, Jepang, Prancis dan Jerman. Mereka menggunakan bahasa sendiri dalam membuat suatu perjanjian, tukasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: