Internasionalisasi Pendidikan Tinggi Hukum
Kolom

Internasionalisasi Pendidikan Tinggi Hukum

​​​​​​​Hal yang akan menjadi kendala tambahan bagi sekolah hukum di Indonesia, karena internasionalisasi pendidikan itu harus memerhatikan UU No. 24 Tahun 2009.

Bacaan 2 Menit

 

Pada umumnya ketiga universitas di Belanda tersebut menjanjikan 2 jalur karier. Pertama, bekerja di badan-badan internasional di Eropa atau dunia, atau bekerja di lembaga-lembaga swadaya masyarakat tingkat internasional. Kedua, bekerja di dalam yurisdiksi Belanda, entah itu menjadi advokat, hakim atau lainnya. Namun, untuk jalur karier yang kedua ini, setiap lulusan LLB di program tersebut diwajibkan untuk mengambil kuliah tambahan mengenai sistem hukum Belanda.

 

Selanjutnya, karena ini diwajibkan oleh undang-undang Belanda, mereka pun harus mengambil pendidikan lanjutan mengenai sistem hukum Belanda setingkat magister. Lulusannya di masa lampau diberi gelar meester in de rechten (m.r.). Namun semenjak adanya Bologna Process (1999), yang bertujuan membangun sistem pendidikan tinggi yang tersandarisasi di kawasan Uni Eropa, gelar tersebut telah digantikan oleh LLM (Legum Magister). Konsekuensi logisnya, setiap orang asing harus mahir berbahasa Belanda, jikalau ia mau berpraktik di bawah yurisdiksi Belanda. Namun, kalau si orang asing itu tak merasa perlu, atau tak merasa mampu berpraktik di bawah yurisdiksi Belanda, maka orang asing itu akan bekerja di jalur karir yang pertama.

 

Bagaimana dengan Indonesia?

Hal yang akan menjadi kendala tambahan bagi sekolah hukum di Indonesia, karena internasionalisasi pendidikan itu harus memerhatikan UU No. 24 Tahun 2009 yang mengatur, salah satunya, kewajiban menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar sebagaimana diatur dalam Pasal 29 undang-undang tersebut. Bahasa asing dapat dipakai untuk tujuan mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik, atau digunakan dalam program pendidikan bagi warga negara asing. Pendidikan tinggi hukum jelas bukan pendidikan bahasa. Jadi tak tepat apabila pendidikan tinggi hukum itu menggunakan bahasa pengantar bahasa asing. Hal yang diutamakan dalam pendidikan tinggi hukum adalah meningkatkan kemampuan hukumnya, bukan kemampuan berbahasa asingnya.

 

Oleh karena itu, melakukan internasionalisasi pendidikan tinggi hukum itu tidak sama dengan bidang ilmu lainnya. Memberikan nuansa bahasa asing pada pendidikan tinggi hukum adalah kebijakan yang keliru. Bahkan menjanjikan gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada peserta asing pun bisa dianggap menyesatkan karena pada akhirnya ia tak bisa berprofesi di bawah yurisdiksi Republik Indonesia. Ironisnya, si warga asing yang bergelar S.H. itu jangan-jangan bisa berpraktik di negaranya dan mengaku sebagai ahli hukum Indonesia, serta mengontrol pasar jasa hukum dari luar yurisdiksi Indonesia. Kemungkinan terakhir amat terbuka, karena pasar sudah semakin terbuka.

 

Fenomena globalisasi memang tak bisa dihindari. Internasionalisasi pendidikan, khususnya bidang hukum, juga tidak bisa dihindari. Fenomena ini semestinya direspon dengan cara yang visioner, misalnya, mengawinkannya dengan program studi berbeda di institusi lain yang sudah memiliki kerjasama internasional. Barangkali warga masyarakat akan tertarik dengan iming-iming mendapatkan satu gelar sarjana hukum dan mungkin dua gelar nonhukum dari universitas lokal dan asing. Bisa juga, mengawinkannya dengan program studi hukum di universitas asing, dengan iming-iming mendapatkan dua gelar sarjana hukum dari dua yurisdiksi berbeda. Apapun pilihannya, yang penting, tak ada alasan internasionalisasi pendidikan tinggi hukum diantarkan dalam bahasa asing, sepanjang yang dipelajari adalah sistem hukum Indonesia.

 

*)E. Fernando M. Manullang adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Artikel ini pandangan pribadi, tidak mewakili pandangan institusi.

 

Catatan Redaksi:

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline

 

 

Tags:

Berita Terkait