Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid VI)
Kolom Hukum J Satrio

Hukum Harta Perkawinan yang Berlaku Sesudah Diundangkannya UU Perkawinan (Jilid VI)

Artikel ini kelanjutan dari artikel sebelumnya yang sedang mempertanyakan, apakah kata “bertindak” dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan meliputi juga tindakan “pengurusan”?

RED
Bacaan 2 Menit

 

Apakah memang betul seperti itu yang dikehendaki oleh UU Perkawinan? Dari apa yang diuraikan di atas kita bisa menyimpulkan, bahwa ketentuan hukum harta perkawinan dalam UU Perkawinan masih memerlukan peraturan pelaksanaan seperti yang dijanjikan oleh Pasal 67 UU Perkawinan.

 

Hubungan antara Hukum Harta Perkawinan Menurut UU Perkawinan dengan Hukum Adat

Ada yang berpendapat, bahwa antara asas yang dianut dalam hukum harta perkawinan menurut UU Perkawinan dan asas yang dianut dalam hukum harta perkawinan menurut Hukum Adat ada kemiripan.[2]  Namun ini tidak berarti, bahwa hukum harta perkawinan yang diatur dalam UU Perkawinan adalah sama dengan hukum harta perkawinan menurut Hukum Adat.

 

Prof. Subekti menyebut hukum harta perkawinan dalam UU Perkawinan: “telah memilih pola hukum adat”. Jadi bentuk dasarnya adalah hukum harta perkawinan adat. Dalam hukum adat, harta perkawinan yang terbentuk dalam suatu keluarga adalah: Harta Asal dan Harta Gono-gini, yang kadang-kadang untuk masing-masing daerah mempunyai istilah sendiri. Terjadinya pemisahan harta perkawinan seperti itu adalah demi hukum, tanpa perlu memperjanjikannya.

 

Kalau kita memperbandingkannya dengan harta yang terbentuk dalam keluarga menurut UU Perkawinan, maka: Harta Bawaan bisa dibandingkan dengan Harta Asal, sedang Harta Bersama, bisa kita bandingkan dengan harta gono-gini. Juga menurut UU Perkawinan terjadinya pemisahan harta seperti itu adalah demi hukum (Pasal 35 UU Perkawinan). Menurut Prof. Tahir Tungadi, yang demikian itu adalah sesuai dengan asas hukum adat.[3] Perhatikan kata “asas” hukum adat.

 

Namun demikian ada suatu ketentuan dalam hukum adat yang perlu mendapat perhatian, yaitu bahwa dalam hukum adat pada asasnya memang suami mengambil tindakan atas harta gono-gini dengan persetujuan isteri (dan demikian juga sebaliknya). Namun kalau suami mengambil tindakan pemilikan atas harta gono-gini (menjual misalnya), suami tidak perlu membuktikan, bahwa untuk itu ia telah mendapat persetujuan dari isterinya, dan lurah -di hadapan siapa jual beli itu dilaksanakan- tidak pernah bertanya kepada penjual, apakah penjual sudah mendapat persetujuan dari isterinya. Persetujuan itu dipersangakakan ada, kecuali isteri menyatakan ketidak setujuannya.[4]

 

Suami berhak untuk bertindak, sekaligus atas nama isteri, mengalihkan harta gono-gini, sedang kalau tidak tenyata ada keberatan dari pihak isteri, maka ia dianggap bertindak sebagai wakil dari isterinya, demikian keputusan RvJ Batavia (RvJ Batavia 20 Januari 1939, dimuat dalam T. 150, hal. 237). Perhatikan kata-kata “atas nama isteri”.

 

Harus diakui, bahwa tidak tertutup kemungkinan ada pihak yang berpendapat, bahwa ketentuan hukum harta perkawinan berdasarkan UU Perkawinan sudah bisa dijalankan tanpa harus menunggu adanya peraturan pelaksanaan dan mereka bahkan bisa menunjukkan keputusan-keputusan Pengadilan, untuk membuktikan, bahwa ketentuan hukum harta perkawinan berdasarkan UU Perkawinan sudah dilaksanakan dalam praktik Pengadilan.

Tags:

Berita Terkait