Hakim Tidak Dilahirkan, Melainkan Diciptakan
Berita

Hakim Tidak Dilahirkan, Melainkan Diciptakan

Selain integritas, pengalaman calon menangani perkara sangat penting. Pengalaman itu menjadi pisau analisis hakim.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

(Baca juga: Komisi Hukum Beri Persetujuan 3 CHA Menjadi Hakim Agung)

 

Proses rekrutmen melalui jalur politik menjadi salah satu tahapan yang dipersoalkan dalam diskusi di Komisi Yudisial. Penyebabnya, proses di DPR adalah proses politik tanpa ukuran atau parameter yang jelas. Seringkali kandidat yang sudah melewati banyak tahapan (uji) gagal di DPR. Maradaman mengakui masalah ini juga dikeluhkan oleh sejumlah orang. “Ada juga yang tak bersedia mendaftar karena proses di DPR,” ujarnya.

 

Pada awal tahun 2014 lalu, Mahkamah Konstitusi telah ‘mengurangi’ kewenangan DPR dalam proses seleksi calon hakim agung. Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kata ‘pemilihan’ dalam Pasal 8 ayat (2) sampai ayat (4) UU No. 3 Tahun 2009 mengenai Mahkamah Agung harus dibaca dalam makna ‘persetujuan’. Artinya, DPR tinggal memberikan persetujuan atau tidak terhadap calon yang telah diseleksi Komisi Yudisial.

 

(Baca juga: MK: DPR Hanya ‘Menyetujui’ Calon Hakim Agung)

 

Uji kelayakan dan Usia

Sosok ideal hakim agung sebenarnya tak bisa dilepaskan dari proses rekrutmen hakim yang berlangsung di Mahkamah Agung. Hakim-hakim yang bagus ditempatkan di daerah yang perkaranya relatif lebih kompleks. Hakim-hakim yang ditempatkan di Jakarta misalnya sudah melalui penempatan di berbagai daerah.

 

Mahkamah Agung sudah menerapkan kebijakan untuk melakukan uji kelayakan terhadap para calon ketua pengadilan negeri. Kebijakan ini adalah bagian dari upaya menghasilkan hakim sekaligus pimpinan pengadilan yang ideal. Pimpinan pengadilan, kata Sunarto, harus bisa menjadi role model dalam integritas dan kepemimpinan.

 

“Pimpinan pengadilan harus jadi role model buat anak buahnya,” tegas pria yang pernah bertugas di Pengadilan Tinggi Gorontalo itu. “Jangan sampai ketua pengadilan menjadi bagian dari sumber masalah,” sambungnya.

 

Berkaitan dengan usia minimal untuk seorang hakim agung, Maradaman Harahap tak menampik adanya pandangan yang menganggap persyaratan usia terlalu muda. Normatifnya, seorang yang telah berusia 45 tahun bisa mencalonkan diri menjadi hakim agung asalkan terpenuhi syarat administratif lain. Usia ini dinilai belum terlalu matang dalam cara berpikir seorang hakim agung. Tetapi, kata Maradaman, Komisi Yudisial tak mungkin menjegal seorang calon hakim agung hanya karena berusia 45 tahun.

 

Gagasan yang berkembang dalam diskusi di Komisi Yudisial adalah minimal berusia 50 tahun. Selain itu, Komisi Yudisial juga menemukan persoalan pada rekrutmen hakim agung yang berlatar belakang militer (kamar militer). Syarat 20 tahun pengalaman ternyata sulit diterapkan di lingkungan militer.

 

Apapun persoalannya, Maradaman berharap sinergi yang lebih kuat antara Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan DPR bisa lebih ditingkatkan. Sejumlah hakim dan pensiunan hakim juga meminta Komisi Yudisial untuk lebih intensid membuka dialog dengan Mahkamah Agung dan DPR. Termasuk menjelaskan kepada Mahkamah Agung sumber masalah ketidaklolosan seorang calon hakim agung yang berasal dari karir agar Mahkamah Agung bisa melakukan perbaikan ke depan.  

Tags:

Berita Terkait