Dissenting Opinion 'Penuh Emosi', Saldi Isra dan Arief Hidayat Tak Langgar Kode Etik
Terbaru

Dissenting Opinion 'Penuh Emosi', Saldi Isra dan Arief Hidayat Tak Langgar Kode Etik

Terhadap pendapat berbeda (dissenting opinion) berlaku asas res judicata pro veritate habetuur. Artinya putusan hakim harus dianggap benar.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Kiri-kanan: Kiri-kanan: Majelis Kehormatan MK yang terdiri dari Wahiduddin Adams, Prof Jimly Asshiddiqie, dan Bintan R Saragih saat pembacaan putusan perkara pelanggaran etik hakim konstitusi di Gedung MK, Selasa (7/11/2023). Foto: RES
Kiri-kanan: Kiri-kanan: Majelis Kehormatan MK yang terdiri dari Wahiduddin Adams, Prof Jimly Asshiddiqie, dan Bintan R Saragih saat pembacaan putusan perkara pelanggaran etik hakim konstitusi di Gedung MK, Selasa (7/11/2023). Foto: RES

Pendapat berbeda (Dissenting Opinion) dan alasan berbeda (Concurring Opinion) dalam putusan pengadilan adalah hal yang biasa. Tapi pendapat berbeda yang disampaikan hakim konstitusi Prof Saldi Isra dan Prof Arief Hidayat dalam perkara No.90/PUU-XXI/2023 dipersoalkan sejumlah pihak dan melaporkannya kepada Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK). Alhasil MKMK telah memutus laporan itu dalam putusan No.3/MKMK/L/11/2023 dengan hakim terlapor Saldi Isra dan putusan No.4/MKMK/L/11/2023 hakim terlapornya Arief Hidayat.

Dalam pertimbangan putusan perkara No.3,4/MKMK/L/11/2023, Majelis Kehoramatan MK menilai masalah yang dipersoalkan para pelapor soal boleh tidaknya suatu pendapat berbeda hakim konstitusi yang merupakan kontra dari pendapat hakim mayoritas disusun secara provokatif, mengungkap rahasia dalam RPH ke publik, menjatuhkan kolega sesama hakim dan tidak koheren dengan permasalahan yang dibahas. Anggota Majelis Kehormatan MK, Wahiduddin Adams mengatakan dalam pemeriksaan di persidangan terhadap pendapat berbeda Saldi Isra, setidaknya ada 3 fakta dan hukum yang ditemukan.

Pertama, memuat aspek hukum acara ketika menguraikan dinamika dan mekanisme pengambilan putusan dalam forum rapat permusyawaratan hakim (RPH). Kedua, selain membahas prosedur pengambilan putusan yang berkenaan dengan hukum acara, Saldi juga membahas dan menjelaskan isu hukum yang dipersoalkan pemohon perkara No.90/PUU-XXI/2023 tidak berkaitan dengan isu konstitusional. Tapi, erat kaitannya dengan pertanyaan dan isu politik (political question) karena dalam UUD 1945 tidak membahas batas usia minimal untuk menjadi calon Presiden atau calon Wakil Presiden (capres-cawapres).

Ketiga, Majelis Kehormatan MK menemukan fakta hukum bagian awal pendapat berbeda Saldi ditulis dengan bahasa penuh ‘emosi’. Misalnya, “…saya bingung dan benar-benar bingung untuk menentukan harus dari mana memulai pendapat berbeda...baru kali ini saya mengalami peristiwa ‘aneh’ yang ‘luar biasa’ dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar…”. Wahiduddin mengatakan berdasarkan temuan fakta dan hukum itu, Saldi tidak dapat dikatakan melanggar kode etik yang disebabkan materi muatan pendapat berbeda dalam putusan 90/PUU-XXI/2023.

“Meskipun ada ruang pada bagian awal pembukaan pendapat berbeda (dissenting opinion) yang mengungkap sisi emosional seorang hakim, namun hal itu tidak dapat dikatakan sebagai pelanggaran kode etik,” ujar Wahiduddin membacakan pertimbangan hukum putusan No.3/MKMK/L/11/2023 di Gedung MK, Selasa (07/11/2023).

Baca juga:

Kendati demikian, Wahiduddin mengatakan seyogyanya pendapat berbeda membahas kontra argumentasi hukum dari substansi perkara yang termuat pada bagian pertimbangan hukum putusan, sehingga terlihat jelas perdebatan ide gagasan yang dipersoalkan. Namun, tak masalah jika hakim ingin membahas dari sudut pandang berbeda yang tidak terkait dengan pokok perkara. Seperti membahas dari perspektif prosedural yang berkaitan hukum acara. Sebab hakikatnya, pendapat berbeda seorang hakim merupakan wujud independensi personal dan bagian dari kemerdekaan kekuasaan kehakiman.

Tags:

Berita Terkait