Direktur HRD Hotel Sultan Dituntut Satu Tahun Penjara
Berita

Direktur HRD Hotel Sultan Dituntut Satu Tahun Penjara

Pemblokiran upah para pekerja yang sedang menjalani masa skorsing dianggap sebagai perbuatan sewenang-wenang yang merugikan pekerja.

IHW
Bacaan 2 Menit
Direktur HRD Hotel Sultan Dituntut Satu Tahun Penjara
Hukumonline

 

Tindakan pemblokiran upah yang dilakukan terdakwa, lanjut JPU, dinilai sebagai perbuatan sewenang-wenang yang merugikan hak pekerja. Hal itu JPU tuangkan dalam salah satu alasan yang memberatkan tuntutan terhadap terdakwa.

 

Pasal 186 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan

Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

 

Pasal 93 UU Ketenagakerjaan

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:

f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha.

 

JPU Keliru

Ditemui usai persidangan, Bintang Utoro, kuasa hukum terdakwa menyayangkan sikap JPU yang sembrono menafsirkan undang-undang. Dalam pidana, seharusnya JPU tidak perlu menafsirkan lain selain yang sudah diatur dalam undang-undang. Di sini JPU telah keliru.

 

Menurut Bintang, sejak awal perkara ini terkesan dipaksakan. Sebenarnya ini adalah ranah hukum perdata, di PHI. Bukan pidana seperti ini. Kalau tuntutan ini dikabulkan hakim, akan berbahaya bagi iklim investasi di negeri ini, cetusnya.

 

Rumusan Pasal 93 ayat (2) huruf f UU Ketenagakerjaan, kata Bintang, sudah sangat tegas dan jelas. Pasal ini diberlakukan bagi pekerja yang datang ke tempat bekerja, tapi tidak dikasih pekerjaan atau tidak dibolehkan bekerja, kemudian tidak menerima upah dari pengusaha.

 

Dalam kasus ini, kata Bintang, Direktur HRD tidak melakukan tindakan seperti yang disebutkan dalam Pasal 93 ayat (2) itu. Terdakwa dengan kapasitas jabatannya, memilih untuk menjatuhkan sanksi skorsing.

 

Skorsing sendiri, lanjut Bintang, diatur dalam Pasal 155 ayat (3) UU Ketenagakerjaan. Kalau pekerja menuntut upah selama proses dalam skorsing itu, ya silakan ke PHI. Bukan lewat pidana begini.

 

Syahril Muhammad, penasehat hukum terdakwa yang lain menambahkan bahwa ketentuan Pasal 155 ayat (3) sangat berbeda dengan Pasal 186 Jo. Pasal 93 ayat (2) huruf f UU Ketenagakerjaan. Kedua ketentuan itu sangat berbeda sekali, ujar Syahril menirukan pendapat I Wayan Nedeng. Wayan adalah ahli yang dihadirkan penasehat hukum terdakwa. Ia disebut-sebut sebagai salah seorang yang ikut merumuskan UU Ketenagakerjaan.

 

Majelis hakim yang diketuai Makmun Masduki menunda persidangan hingga dua pekan mendatang (23/7) untuk memberikan kesempatan kepada penasehat hukum menyampaikan pleidoinya.  

Sempat tertunda beberapa kali, akhirnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan juga tuntutan terhadap Asep Saefudin. Asep adalah Direktur (sebelumnya tertulis Manajer) HRD Hotel Sultan yang menjadi terdakwa tindak pidana ketenagakerjaan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Ia dianggap melanggar Pasal 186 UU Ketenagakerjaan karena sempat menahan upah selama proses skorsing beberapa pekerjanya.

 

Dalam persidangan yang digelar pada Rabu (9/7), JPU Ediana Juanita menuntut agar majelis hakim menjatuhkan hukuman selama satu tahun penjara dengan perintah agar segera ditahan. Maklum, selama menjalani proses persidangan, Asep memang tidak ditahan. Selain itu, Asep juga masih dibebankan membayar denda sebesar Rp10 juta subsidair tiga bulan kurungan.

 

Kisah Asep ini bermula ketika pada Desember 2006 ia menjatuhkan sanksi skorsing kepada Jhonson Simanjuntak, Valentino Pasaribu, Rupi Parman dan Yoyo Haryono. Skorsing dijatuhkan lantaran keempat pegawai itu dianggap meresahkan suasana kerja perusahaan.

 

Awalnya, sejak skorsing itu dijatuhkan perusahaan tidak membayarkan upah sebagaimana biasanya. Namun ketika Jhonson melaporkan manajemen ke Polda Metro Jaya, barulah perusahaan membayarkan upah. Perusahaan berdalih tidak berniat untuk tidak membayarkan upah. Melainkan hanya memblokir upah untuk sementara waktu.

 

JPU tidak menerima alasan perusahaan terkait dengan pemblokiran upah itu. JPU berpedoman pada pendapat Reytman Aruan, ahli yang dihadirkan JPU ke persidangan. Saat itu Reytman berpendapat bahwa apapun bentuk pelarangan pengusaha terhadap pekerja untuk bekerja, pengusaha tetap berkewajiban membayarkan upah.

 

Apapun bentuknya. Mau itu dirumahkan, diskorsing, didiamkan atau apapun, sepanjang pengusaha yang menghalang-halangi pekerja untuk bekerja dan belum ada putusan PHI, upah harus tetap dibayarkan, terang Reytman saat itu.

Tags: