Dekan FH Unpar: KUHP Baru Lebih Buruk Ketimbang KUHP Kolonial Belanda
Utama

Dekan FH Unpar: KUHP Baru Lebih Buruk Ketimbang KUHP Kolonial Belanda

Dalam konteks demokrasi dan HAM, KUHP baru lebih buruk karena masuk dalam ruang privat warga negara. Diperkirakan terbitnya KUHP baru akan menimbulkan dampak serius ke depan antara lain nilai-nilai universal sudah tidak berlaku efektif lagi di Indonesia.

Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit

Dalam proses penyusunan KUHP baru itu pemerintah dinilai belum efektif memberikan pengertian/pemahaman kepada publik tentang apa yang menjadi pemikiran pemerintah dan DPR untuk menerbitkan KUHP baru. “Ini anomali dalam penyusunan KUHP yang juga dirasakan,” kata Marzuki Darusman dalam diskusi yang digelar Amnesty International Indonesia bertema “Catatan Hari HAM 2022”, Jum’at (9/12/2022) kemarin.

Jaksa Agung era pemerintahan Presiden Gus Dur itu juga heran kenapa semua fraksi sepakat untuk mengesahkan KUHP yang menuai polemik itu. “Ini tantangan untuk memahami kenapa serta merta suatu peraturan perundang-undangan yang secara politik bersifat restriktif itu mudah dimufakati oleh semua fraksi di DPR. Pengesahan KUHP itu suatu kemunduran proses demokratisasi politik Indonesia dan penegakan HAM,” kritiknya.

Guna mengatasi persoalan tersebut, Marzuki mengusulkan untuk merumuskan kembali politik hukum Indonesia yang dirasa berorientasi otoriter walau sekarang berada dalam sistem demokrasi. Arah politik hukum harus selaras dengan demokrasi konstitusional.

Pembentuk UU sebelumnya memang mengakui ketidaksempurnaan RUU KUHP yang baru disetujui menjadi UU. “Kami tidak pernah mengatakan ini pekerjaan sempurna, karena ini adalah produk dari manusia. Kalau ada yang memang merasa sangat mengganggu, kami persilahkan kawan-kawan menempuh jalur hukum dan tidak perlu berdemo. Kita berkeinginan baik, dikau juga berkeinginan baik,” ujar Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto dalam Konferensi Pers di Gedung Nusantara usai pengesahan RUU KUHP menjadi UU, Selasa (6/12/2022) lalu.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly turut mengamini bahwa ‘tak ada gading yang tak retak’ dalam hal produk hukum yang hanya sebatas ciptaan manusia. Terlebih, Indonesia merupakan negara yang sangat multikultur dan multietnis. Tentunya memerlukan akomodasi yang luas, namun ia mengaku tidak mungkin mengakomodasi menyeluruh aspirasi masyarakat hingga 100 persen.

“Tetapi perlu saya catat pemerintah tidak berkeinginan membungkam kritik. Penyerangan harkat dan martabat tidak berarti kritik, (keduanya adalah) sesuatu yang berbeda. Mohon dibaca. Ketentuan lain yang menjadi perhatian tentang lembaga negara, sudah dibuat catatannya, dibuat penjelasannya. Kritik Dewan Pers, sudah dibuat penjelasannya untuk tidak digunakan secara sewenang-wenang oleh penegak hukum. Semua masukan masyarakat kami terima dengan baik,” ungkap Yasonna.

Yasonna kembali menegaskan, pihak-pihak yang masih tidak berkenan dengan sejumlah pasal dalam KUHP yang disahkan, dapat menempuh mekanisme judicial review. Dalam kurun waktu 3 tahun terakhi, pemerintah akan melakukan sosialisasi dan membuat training bagi penegak hukum dan stakeholders lainnya. Mulai dari kalangan Hakim, Jaksa, Polisi, Advokat, Pegiat HAM, Akademisi, dan sebagainya.

“Semua ini akan nanti ada waktu 3 tahun (masa transisi, red) agar UU ini berlaku efektif. Dalam masa 3 tahun ini akan kita adakan sosialisasi. Tim kami ini maupun bersama-sama tim DPR akan melakukan sosialisasi ke penegak hukum, masyarakat, kampus-kampus untuk menjelaskan konsep filosofi dari KUHP dan hal yang lain,” katanya.

Tags:

Berita Terkait