Bahasa Hukum: Misteri Pasal ‘Perkelahian Tanding’
Berita

Bahasa Hukum: Misteri Pasal ‘Perkelahian Tanding’

Perkelahian tanding bisa berubah kualifikasi menjadi pembunuhan atau penganiayaan jika syarat-syaratnya tidak dipenuhi.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

S.R Sianturi, dalam bukunya Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya (1983: 522-523), menyebutkan pasal duel ini berasal dari kehidupan (negara-negara) Barat. Ia menulis bahwa dalam sejarahnya di Barat, duel tidak dipandang bertentangan dengan hukum, melainkan suatu suatu penyelesaian pertikaian secara ‘jantan’ dan terhormat. Namun dalam perkembangannya tidak dipandang sebagai penyelesaian terpuji, melainkan dipandang cenderung mengganggu ketertiban umum.

Sianturi menyatakan pendapat berbeda dari Prof. Moeljatno. Dengan dasar yang sama, Sianturi memandang pasal tentang duel masih perlu meskipun perlu penyesuaian dengan kebutuhan. Ada tiga dalil yang disampaikan Sianturi. Pertama, dalam kehidupan militer jika menantang seorang atasan untuk duel tidak dilarang secara hukum pidana (yang notabene tidak dimungkinkan untuk menyelesaikannya secara hukum disiplin), maka wibawa seorang atasan akan hancur, terlebih jika ia ia tidak mau menerima tantangan itu. Pasal 101 KUHP Militer mengkualifikasi menantang seorang atasan untuk duel sebagai kejahatan. Jika untuk menantang saja sudah harus dilarang, maka untuk duel itu sendiri tentunya harus dilarang secara hukum pidana.

(Baca juga: Bisnis dan Politik, Motif di Balik Kasus-Kasus Pembunuhan).

Kedua, jika ada orang asing melakukan duel di Indonesia, maka lebih tepat diterapkan pasal duel ini karena sifatnya yang lebih ringan dibandingkan pasal pembunuhan atau penganiayaan. Ketiga, melihat perkembangan olahraga dewasa ini bukanlah suatu hal yang mustahil duel dijadikan sebagai cara untuk ‘menyelesaikan’ suatu pertikaian.

Persyaratan

Dari referensi yang disebut terdahulu tampak bahwa tidak semua pertandingan duel masuk kategori pasal ini. Agar masuk kualifikasi ‘perkelahian tanding’ harus memenuhi syarat. Pertama, ada pengaturan pertandingan berupa syarat-syarat yang disepakati. R. Soesilo menyebut syarat itu bisa berupa lokasi, waktu, senjata yang dipakai, atau cara bertanding.

Kedua, kedua belah pihak menghadirkan saksi-saksi. Menurut Sianturi (1983: 527) saksi yang dimaksud dalam Pasal 186 KUHP bukan sekadar saksi mata atau yang sekadar melihat atau menonton duel berlangsung, tetapi  juga sekondan (teman) yang merangkap sebagai saksi. Penting untuk dicatat bahwa jika para saksi (dan dokter) mengetahui bahwa duel itu tanpa syarat terlebih dahulu atau mereka menghasut untuk meneruskan duel, atau dengan sengaja menyesatkan peserta duel untuk kerugian salah satu pihak, maka mereka juga dipandang perlu diancamkan pidana. Menurut Sianturi, rasio pasal ini adalah agar para saksi turut berperan dalam rangka ‘penyelesaian secara terhormat suatu pertikaian’, juga agar dilakukan cara-cara terhormat menyelesaikan suatu masalah, jauh dari tindakan pengecut.

(Baca juga: Menimbang Boleh Tidaknya Hakim Memutus Perkara di Luar Dakwaan Oditur).

Ketiga, kedua belah pihak harus menghindarkan diri dari tipu daya. Para pihak harus mematuhi syarat-syarat yang ditentukan sebelum tanding, dan karena itu tidak boleh melakukan tipu daya untuk merugikan salah satu peserta tanding. Jika terjadi pelanggaran terhadap syarat-syarat tadi dapat mengakibatkan duel dalam Pasal 182-186 berubah menjadi pasal pembunuhan atau penganiayaan.

Meskipun masih mengakui pasal-pasal duel dan menganalisisnya, Sianturi menyatakan duel bukanlah suatu penyelesaian yang baik (1983: 522). Bahkan bagi suatu negara yang cenderung menghendaki penyelesaian masalah secara musyawarah, tindakan duel adalah bertentangan dengan  kesadaran hukum masyarakat.

Tidak mengherankan pula, berdasarkan penelusuran hukumonline, nyaris tak ada yurisprudensi menggunakan pasal-pasal duel ini yang bisa ditelusuri. Pertanyaannya: apakah pertandingan olah raga duel yang kini ramai disiarkan televisi dapat dikategorikan ke dalam ‘perkelahian tanding’ dalam KUHP?

Tags:

Berita Terkait