Konstitusi memandatkan pemilihan umum (Pemilu) dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali. Konsideran menimbang UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebut pemilu wajib menjamin tersalurkannya suara rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Tapi mandat itu terancam oleh dugaan kecurangan yang berpotensi terjadi dalam penyelenggaraan pemilu. Oleh karena itu penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk mengawal pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil.
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Prof Muchamad Ali Safa’at, mencatat sepanjang tahapan pemilu 2024 ada beberapa kasus atau peristiwa yang menunjukan arah ketidaknetralan. Hal itu menjadi perhatian semua pihak karena tidak mungkin pemilu berjalan jujur dan adil jika penyelenggaranya tidak netral.
“Bisa dilihat dari verifikasi partai politik sampai peristiwa terakhir itu ada putusan DKPP,” ujarnya dalam diskusi bertema ‘Mengantisipasi Potensi Kecurangan Pemilu 2024’, Selasa (6/2/2024) kemarin.
Menurut Prof Ali, aparat negara berperan penting dalam penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil. Pemilu sebagai salah satu pelaksanaan demokrasi yang memberi kesempatan sama kepada semua warga negara untuk menjadi pemilih atau peserta pemilu. Kesempatan yang sama itu harus dijaga agar tidak terciderai, sehingga butuh netralitas aparatur negara.
Baca juga:
- Pernyataan Sikap Civitas Akademika, Bentuk Kepedulian Terhadap Etika Pemilu
- Giliran Akademisi Unej Deklarasikan Seruan Moral Selamatkan Demokrasi
Ketika tidak netral maka muncul kesempatan yang tidak sama, di mana ada yang dirugikan dan diuntungkan. Belakangan ini kalangan civitas akademika dari berbagai kampus menyerukan pemilu jujur dan adil. Terutama netralitas penyelenggara negara dan pimpinan tertinggi pemerintahan yakni Presiden.
“Diharapkan Presiden netral agar pemilu bisa memberi kesempatan hak yang sama kepada semua peserta dan kontestan pemilu,” ujarnya.