Bagaimana cara menghitung lembur saat lebaran? Apa dasar hukumnya?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Hari raya keagamaan, termasuk Idulfitri (Lebaran) merupakan hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah melalui SKB 3 Menteri. Untuk mengetahui besarnya upah kerja lembur di hari raya keagamaan, perhitungannya diatur dalam Pasal 31 PP 35/2021 dan disesuaikan dengan waktu kerja selama 6 hari kerja dan 40 jam seminggu atau 5 hari kerja dan 40 jam seminggu.
Bagaimana cara menghitung upah lembur saat Lebaran?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Ketentuan Upah Kerja Lembur Pada Hari Lebaran yang dibuat Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan dipublikasikan pada 26 Juli 2013.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Berdasarkan pertanyaan Anda, kami asumsikan maksud Anda adalah cara menghitung upah kerja lembur saat hari raya Lebaran, yakni hak yang diterima pekerja/buruh yang dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atas suatu pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja/buruh di luar jam kerja yang seharusnya, yakni salah satunya di saat hari raya keagamaan.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Jenis Pekerjaan yang Dijalankan di Hari Libur Resmi
Hari raya keagamaan, termasuk Idulfitri (Lebaran) seperti yang Anda tanyakan, merupakan hari libur resmi yang ditetapkan oleh pemerintah melalui SKB 3 Menteri. Terkait lembur di hari libur resmi ini, ada ketentuan dalam Pasal 85 UU Ketenagakerjaan yang perlu dicermati:
Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi.
Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur.
Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Keputusan menteri yang dimaksud dalam Pasal 85 ayat (4) UU Ketenagakerjaan di atas adalah Kepmenakertrans 233/2003. Berdasarkan Pasal 2 jo. Pasal 3 ayat (1) Kepenakertrans 233/2003, pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh pada hari libur resmi untuk pekerjaan yang menurut jenis dan sifatnya harus dilaksanakan dan dijalankan secara terus menerus, seperti:
pekerjaan di bidang pelayanan jasa kesehatan;
pekerjaan di bidang pelayanan jasa transportasi;
pekerjaan di bidang jasa perbaikan alat transportasi;
pekerjaan di bidang usaha pariwisata;
pekerjaan di bidang jasa pos dan telekomunikasi;
pekerjaan di bidang penyediaan tenaga listrik, jaringan pelayanan air bersih (PAM), dan penyediaan bahan bakar minyak dan gas bumi;
pekerjaan di usaha swalayan, pusat perbelanjaan, dan sejenisnya;
pekerjaan di bidang media masa;
pekerjaan di bidang pengamanan;
pekerjaan di lembaga konservasi:
pekerjaan-pekerjaan yang apabila dihentikan akan mengganggu proses produksi, merusak bahan, dan termasuk pemeliharaan/perbaikan alat produksi.
Kemudian, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dapat mengubah jenis pekerjaan di atas sesuai dengan perkembangan.[1] Adapun ketentuan pekerja yang bekerja saat libur Lebaran ini dimaksudkan untuk melayani kepentingan dan kesejahteraan umum atau berlaku untuk sektor pekerjaan yang sifat dan jenis pekerjaannya tidak memungkinkan untuk dihentikan.[2]
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, kami memiliki keterbatasan informasi mengenai bidang pekerjaan apa yang dikerjakan oleh pekerja/buruh. Namun, kami asumsikan pekerja/buruh tersebut bekerja pada bidang-bidang yang disebut dalam Pasal 3 ayat (1) Kepmenakertrans 233/2003 di atas. Maka, pengusaha bisa mempekerjakan pekerja/buruh tersebut pada hari libur resmi, dalam hal ini hari raya Lebaran/Idulfitri.
Akan tetapi, jika pekerja/buruh tersebut melakukan pekerjaan di luar bidang-bidang pekerjaan yang disebut dalam Pasal 3 ayat (1) Kepmenakertrans 233/2003, ia tidak wajib bekerja pada hari libur resmi atau hari raya keagamaan.[3]
Jadi, dari ketentuan di atas dapat diketahui bahwa pada dasarnya pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada saat hari raya keagamaan harus mengacu pada Pasal 3 ayat (1) Kepmenakertrans 233/2003 yang kami sebutkan. Selain itu, dalam mempekerjakan pekerja/buruh tersebut harus ada persetujuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan dan pengusaha wajib memberikan upah kerja lembur kepada pekerja/buruh.
Kemudian, sebelum menjawab mengenai upah kerja lembur, terlebih dahulu kami menyampaikan ketentuan lembur yang terdapat dalam Pasal 81 angka 24 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 78 UU Ketenagakerjaan yang berbunyi:
1. Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat:
a. ada persetujuan Pekerja/Buruh yang bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 4 jam dalam 1 hari dan 18 jam dalam 1 minggu.
2. Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar Upah kerja lembur.
3. Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan tertentu.
4. Ketentuan lebih lanjut mengenai waktu kerja lembur dan Upah kerja lembur diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Adapun “waktu kerja” yang dimaksud dalam ketentuan di atas adalah:[4]
7 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu; atau
8 jam 1 hari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu.
Selain itu, penting untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan waktu kerja lembur. Menurut Pasal 1 angka 7 PP 35/2021, waktu kerja lembur adalah waktu kerja yang melebihi 7 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu, atau 8 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam 1 minggu, atau waktu kerja pada hari istirahat mingguan dan/atau pada hari libur resmi yang ditetapkan pemerintah.
Untuk mengetahui besarnya upah kerja lembur di saat hari raya keagamaan yang harus dibayar oleh pengusaha, maka kita berpedoman pada Pasal 31 PP 35/2021. Dalam Pasal 31 ayat (1) PP 35/2021, perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur dengan ketentuan:
a. untuk jam kerja lembur pertama sebesar 1,5 kali upah sejam; dan
b. untuk setiap jam kerja lembur berikutnya, sebesar 2 kali upah sejam.
Kemudian, menurut Pasal 31 ayat (2) PP 35/2021, perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur, apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 6 hari kerja dan 40 jam seminggu, dengan ketentuan:
a. perhitungan upah kerja lembur dilaksanakan sebagai berikut:
jam pertama sampai dengan jam ketujuh, dibayar 2 kali upah sejam;
jam kedelapan, dibayar 3 kali upah sejam; dan
jam kesembilan, jam kesepuluh, dan jam kesebelas, dibayar 4 kali upah sejam;
b. jika hari libur resmi jatuh pada hari kerja terpendek, perhitungan upah kerja lembur dilaksanakan sebagai berikut:
jam pertama sampai dengan jam kelima, dibayar 2 kali upah sejam;
jam keenam, dibayar 3 kali upah sejam; dan
jam ketujuh, jam kedelapan, dan jam kesembilan, dibayar 4 kali upah sejam.
Sedangkan menurut Pasal 31 ayat (3) PP 35/2021, perusahaan yang mempekerjakan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib membayar
upah kerja lembur, apabila kerja lembur dilakukan pada hari istirahat mingguan dan/atau hari libur resmi untuk waktu kerja 5 hari kerja dan 40 jam seminggu, dengan ketentuan:
a. jam pertama sampai dengan jam kedelapan, dibayar 2 kali upah sejam;
b. jam kesembilan, dibayar 3 kali upah sejam; dan
c. jam kesepuluh, jam kesebelas, dan jam kedua belas, dibayar 4 kali upah sejam.
Kami kurang mendapat informasi dari Anda mengenai waktu kerja buruh/pekerja mana yang Anda tanyakan, apakah waktu kerja tersebut 6 hari kerja dan 40 jam seminggu atau 5 hari kerja dan 40 jam seminggu? Namun, berpedoman dari Pasal 31 PP 35/2021 di atas, kami berharap Anda sudah memahami bagaimana cara perhitungan upah kerja lembur saat hari raya keagamaan seperti yang Anda tanyakan.
Contoh kasus terkait yang mana pekerja/buruh dipaksa oleh pengusaha untuk tetap bekerja saat hari raya keagamaan adalah kasus yang menimpa karyawan perusahaan Total Buah Segar sebagaimana dimuat dalam artikel Pemaksaan Pengunduran Diri Karyawan Berujung Gugatan. Sebagaimana dijelaskan dalam artikel tersebut, perusahaan Total Buah Segar menerapkan aturan yaitu bagi pekerja/buruh yang menolak untuk bekerja saat hari raya Lebaran, akan dilakukan pemotongan upah dan pekerja dipaksa untuk bekerja atau mengundurkan diri. Pengusaha dinilai telah melanggar Pasal 85 UU Ketenagakerjaan oleh tim kuasa hukum pekerja/buruh perusahaan Total Buah Segar yang mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.