KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah Menggugat PMH Orang yang Membuat Laporan ke Polisi?

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Bisakah Menggugat PMH Orang yang Membuat Laporan ke Polisi?

Bisakah Menggugat PMH Orang yang Membuat Laporan ke Polisi?
Dicky Mirdiyan, S.H., LL.M.Hutauruk Mirdiyan Roem & Partners
Hutauruk Mirdiyan Roem & Partners
Bacaan 10 Menit
Bisakah Menggugat PMH Orang yang Membuat Laporan ke Polisi?

PERTANYAAN

Bisakah seseorang menggugat menggunakan Pasal 1365 BW (perbuatan melawan hukum), dengan dasar menjelek-jelekkan nama baik atau fitnah karena ia membuat laporan di Kepolisian dan terhadap laporan tersebut telah di-SP3?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada prinsipnya, sesuai dengan hukum perdata, Anda dapat mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap seseorang menggunakan dasar hukum Pasal 1365 KUH Perdata untuk menuntut ganti kerugian atas laporan polisi yang sudah ditetapkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (“SP3”). Selain itu, Anda juga dapat menuntut ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan melalui prosedur hukum acara pidana yang secara umum dikenal dengan praperadilan berdasarkan Pasal 77 huruf b KUHAP.

    Lantas, bagaimana bunyi dasar hukumnya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat pertama kali oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H. dan dipublikasikan pada 6 September 2011.

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Pasal Pencemaran Nama Baik dalam KUHP

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu kami akan menjelaskan pengertian menjelek-jelekkan nama baik dan fitnah. Menurut KBBI, “menjelek-jelekkan” adalah tindakan berkali-kali menyebut berbagai kejelekkan tentang (dari); memburuk-memburukkan. Adapun pengertian kata “fitnah” adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang).

    Berdasarkan penelusuran kami, istilah “menjelek-jelekkan” tidak dikenal dalam KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku, ataupun dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026. Istilah yang digunakan adalah “menyerang kehormatan atau nama baik seseorang” sebagai berikut:

    Pasal 310 KUHP jo. Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023

    Pasal 433 UU 1/2023

    1. Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal dengan cara lisan, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[2]
    2. Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka diancam karena pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[3]
    3. Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.
    1. Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 9 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[4]
    2. Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan di tempat umum, dipidana karena pencemaran tertulis, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori III, yaitu Rp50 juta.[5]
    3. Perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.

    Unsur-unsur dan penjelasan selengkapnya mengenai pasal pencemaran nama baik dapat Anda lihat dalam Bunyi Pasal 310 KUHP Pasca Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023 dan Bunyi Pasal Pencemaran Nama Baik KUHP Pasca Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023.

    Pasal Fitnah dalam KUHP

    Kemudian, pasal tindak pidana fitnah diatur dalam Pasal 311 KUHP dan Pasal 434 UU 1/2023, yaitu:

    Pasal 311 KUHPPasal 434 UU 1/2023
    1. Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis diperbolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
    2. Pencabutan hak-hak berdasarkan pasal 35 No. 1 - 3 dapat dijatuhkan.
    1. Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 433 diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena fitnah, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[6]
    2. Pembuktian kebenaran tuduhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), hanya dapat dilakukan dalam hal:
      1. hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran tuduhan tersebut guna mempertimbangkan keterangan terdakwa bahwa terdakwa melakukan perbuatan tersebut untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri; atau
      2. Pejabat dituduh melakukan suatu hal dalam menjalankan tugas jabatannya.
    3. Pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dilakukan jika hal yang dituduhkan tersebut hanya dapat dituntut atas pengaduan, sedangkan pengaduan tidak diajukan

    Anda dapat membaca unsur-unsur Pasal 311 KUHP dan Pasal 434 UU 1/2023 dalam Bunyi Pasal 311 KUHP tentang Fitnah.

    Surat Perintah Penghentian Penyidikan

    Berkaitan dengan pertanyaan Anda, dalam hal ini Surat Perintah Penghentian Penyidikan (“SP3”) merupakan suatu produk hukum akibat dihentikannya penyidikan yang merupakan kewenangan penyidik berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang mengatur sebagai berikut:

    Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya;

    Sebagai informasi, penghentian penyidikan dilakukan melalui gelar perkara dan pelaksanaan gelar perkara biasa dapat mengundang fungsi pengawasan dan fungsi hukum Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”).[7]

    Kemudian, Anda dapat meminta ganti kerugian atas SP3 tersebut, sebagaimana diatur di dalam KUHAP atau menggugat secara keperdataan. Berikut penjelasannya.

    Ganti Kerugian Berdasarkan Hukum Acara Pidana

    Pasal 77 huruf b KUHAP mengatur bahwa pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Wewenang pengadilan negeri seperti ini dinamakan “praperadilan” yang dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera.[8]

    Selanjutnya, besaran ganti kerugian yang dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP tersebut diatur dalam Pasal 9 ayat (1) PP 92/2015, bahwa besarnya ganti kerugian berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 huruf b KUHAP paling sedikit Rp500 ribu dan paling banyak Rp100 juta.

    Pasal 9 ayat (1) PP 92/2015 tersebut telah diterapkan dalam Putusan PN Mataram No. 10/Pid.Pra/2022/PN.Mtr (putusan praperadilan). Dalam putusan tersebut, pemohon praperadilan telah ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang (hal. 49). Setelah itu, Pemohon memohonkan ganti kerugian materiil serta kerugian immateriil, dengan total kerugian berjumlah Rp330 juta. Namun, Hakim yang memeriksa perkara a quo dalam pertimbangannya menyatakan bahwa tidak ada satupun alat bukti yang menguatkan dalil permohonan ganti kerugian tersebut, khususnya mengenai kerugian materiil dan tidak sesuai dengan besaran maksimal ganti kerugian dalam Pasal 9 ayat (1) PP 92/2015 (hal. 47).

    Namun, mulai dari tahap penangkapan, pemeriksaan pendahuluan, sampai pada tahap putusan, terhadap Pemohon telah dilakukan penahanan oleh Polisi Daerah dan Kejaksaan Tinggi (Termohon I dan II), sehingga mengakibatkan Pemohon yang berusia produktif tidak dapat beraktivitas dengan mendapatkan nilai ekonomis berupa penghasilan dari pekerjaannya. Kemudian, Hakim yang memeriksa perkara memberikan pertimbangan hukum bahwa hal tersebut merupakan kerugian yang nyata bagi Pemohon (hal. 47).

    Berdasarkan penjelasan di atas, maka Anda dapat menuntut ganti kerugian secara pidana karena hal tersebut diatur dalam Pasal 77 huruf b KUHAP, serta besaran ganti kerugiannya telah ditentukan oleh Pasal 9 ayat (1) PP 92/2015. Terlebih ketentuan pasal tersebut telah diterapkan sebagai dasar hukum besaran maksimal ganti kerugian pada Putusan PN Mataram No. 10/Pid.Pra/2022/PN.Mtr.

    Ganti Kerugian Berdasarkan Hukum Perdata

    Kemudian, Anda juga dapat meminta ganti kerugian secara keperdataan. Pasal 101 KUHAP menyatakan bahwa ketentuan dari aturan hukum acara perdata berlaku bagi gugatan ganti kerugian sepanjang dalam undang-undang ini tidak diatur lain.

    Dasar hukum ganti kerugian dalam hukum perdata adalah Pasal 1365 KUH Perdata tentang Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”), sebagai berikut:

    Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut.

    Dari rumusan Pasal 1365 KUH Perdata tersebut, Djaja S. Meliala dalam bukunya berjudul Hukum Perdata dalam Perspektif BW menjelaskan bahwa ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata mempunyai unsur-unsur sebagai berikut (hal. 189):

    1. Ada perbuatan melawan hukum;
    2. Ada kesalahan;
    3. Ada kerugian; dan
    4. Ada hubungan sebab-akibat antara kerugian dan perbuatan.

    Baca juga: Apa itu Perbuatan Melawan Hukum dalam Pasal 1365 KUH Perdata?

    Putusan PT DKI Jakarta No. 60/PDT/2021/PT DKI merupakan suatu putusan perkara gugatan perbuatan melawan hukum dengan dasar Pasal 1365 KUH Perdata atas Laporan Polisi (“LP”) yang diikuti dengan penangkapan dan penahanan oleh Polda Metro Jaya (hal. 5). Akan tetapi LP tersebut ditetapkan SP3 berdasarkan Surat Direktorat Reserse Kriminal Umum (“Ditreskrimum”) Polda Metro Jaya Nomor: B/17190/IX/RES.1.9/2019/Datro (hal. 6).

    Terbitnya SP3 tersebut didasari oleh Amar Putusan PN Jakarta Selatan No. 57/Pid.Prap/2019/PN.Jkt.Sel yang pada pokoknya menyatakan bahwa penyidikan atas dasar LP tersebut dinyatakan tidak sah (hal. 5). Adapun Putusan PT DKI Jakarta No. 60/PDT/2021/PT DKI ini sudah berkekuatan hukum tetap, karena upaya hukum kasasi terhadap putusan tersebut telah ditolak berdasarkan Putusan MA No. 1980 K/Pdt/2022.

    Majelis Hakim dalam Putusan PT DKI Jakarta No. 60/PDT/2021/PT DKI memberikan pertimbangan hukum berdasarkan bukti di muka persidangan yaitu Putusan PN Jakarta Selatan No. 57/Pid.Prap/2019/PN.Jkt.Sel, yang menyatakan bahwa penetapan Pemohon dalam hal ini Pembanding sebagai tersangka belum berdasarkan bukti permulaan yang cukup, maka penetapan tersebut menjadi tidak sah dan memerintahkan penyidik untuk menghentikan penyidikan terhadap pemohon/Pembanding berdasarkan LP dari Terbanding. Hal ini membuktikan bahwa LP yang dibuat oleh Terbanding sudah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum karena telah merekayasa LP yang tidak bisa dibuktikan (hal. 83).

    Lebih lanjut, Majelis Hakim juga menimbang bahwa akibat dari LP tersebut Pembanding telah dilakukan penangkapan dan penahanan selama 4 hari dan berakibat kepada tercemarnya nama baik Pembanding serta hilangnya kepercayaan dari relasi dan tekanan batin karena penahanan tersebut, dengan demikian telah terpenuhi unsur menimbulkan kerugian (hal. 83).

    Majelis Hakim dalam perkara tersebut menimbang bahwa perbuatan Terbanding yang dengan sengaja menuduh Pembanding telah melakukan tindak pidana dengan membuat LP sebagaimana tersebut di atas telah membuktikan adanya kesalahan Terbanding karena tidak didukung alat bukti yang kuat dan telah memberikan hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian. Kemudian, Majelis Hakim juga memberikan pertimbangan hukum bahwa berdasarkan masa penahanan, Pembanding telah kehilangan penghasilan selama waktu tersebut sebagai pengusaha (hal. 84).

    Berdasarkan penjelasan hukum di atas, maka Anda dapat mengajukan gugatan PMH dan menuntut ganti kerugian dengan dasar Pasal 1365 KUH Perdata kepada orang yang telah melaporkan Anda ke Polisi yang terhadap laporan tersebut sudah ditetapkan penghentian penyidikannya dalam bentuk SP3.  Merujuk pada Putusan PT DKI Jakarta No. 60/PDT/2021/PT DKI, tercermin bahwa Majelis Hakim mengabulkan gugatan PMH tersebut dengan pertimbangan sudah terpenuhinya unsur-unsur dari perbuatan melawan hukum (onrechtmatugedaads) sebagaimana tertuang dalam Pasal 1365 KUH Perdata (hal. 84).

    Selain Pasal 1365 KUH Perdata yang menjadi dasar hukum, menurut hemat kami, Anda juga dapat mengajukan gugatan perdata perbuatan melawan hukum dengan dasar penghinaan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik dengan menggunakan Pasal 1372 KUH Perdata yang berbunyi:

    Tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik. Dalam menilai satu sama lain, hakim harus memperhatikan kasar atau tidaknya penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan keadaan.

    J. Satrio dalam bukunya Gugatan Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum menjelaskan bahwa Pasal 1372 KUH Perdata mengatur ganti rugi atas penghinaan sebagai tindakan melawan hukum yang khusus, berbeda dengan tindakan melawan hukum umum pada Pasal 1365 KUH Perdata (hal. 8-9).

    Sehingga berdasarkan prinsip hukum lex specialis derogat legi generali, seseorang tidak dapat menggunakan kedua pasal tersebut secara bersamaan (kumulatif) untuk menuntut ganti rugi. Sebab, ketentuan umum (Pasal 1365 KUH Perdata) harus dikalahkan oleh ketentuan khusus (Pasal 1372 KUH Perdata).[9] Singkatnya, aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum.

    Oleh karena itu, selain menggugat perbuatan melawan hukum dengan Pasal 1365 KUH Perdata, Anda juga dapat menggugat perbuatan melawan hukum orang yang membuat laporan polisi terhadap Anda dengan Pasal 1372 KUH Perdata. Namun, perlu diingat bahwa Anda sebaiknya tidak menggunakan kedua pasal tersebut secara bersamaan dalam 1 gugatan.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
    4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
    6. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP;
    7. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1980 K/Pdt/2022;
    2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 78/PUU-XXI/2023;
    3. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor 60/PDT/2021/PT DKI;
    4. Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 10/Pid.Pra/2022/PN.Mtr.

    Referensi:

    1. Djaja S. Meliala. Hukum Perdata dalam Perspektif BW. Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 2012;
    2. J. Satrio. Gugatan Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005;
    3. M. Karjadi dan R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor: Politeia, 1997;
    4. KBBI, fitnah, diakses pada 13 Mei 2024, pukul 12.21 WIB;
    5. KBBI, menjelek-jelekkan, diakses pada 13 Mei 2024, pukul 12.25 WIB.

    [1] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [2] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP (“Perma 2/2012”), denda dilipatgandakan menjadi 1.000 kali

    [3] Pasal 3 Perma 2/2012

    [4] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023

    [5] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023

    [6] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023

    [7] Pasal 30 ayat (1) jo. Pasal 32 ayat (2) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana

    [8] M. Karjadi dan R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor: Politeia, 1997, hal. 72

    [9] J. Satrio. Gugatan Perdata Atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005, hal. 8-9

    .

    Tags

    pmh
    perbuatan melawan hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Menghitung Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana

    3 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!