Akta Notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna di mata hukum dan kerap disebut sebagai akta autentik. Kekuatan bukti itu melekat sedemikian rupa pada akta tersebut, sehingga untuk menggunakannya tak lagi diperlukan pembuktian lain. Kendati begitu, kehati-hatian notaris tetap dituntut dalam setiap proses pembuatan akta autentik agar tidak memunculkan persoalan hukum baru di kemudian hari.
Bisa saja, ketidakseksamaan notaris mengakibatkan hilangnya keautentikan suatu akta yang dihasilkan, hingga bahkan membuat akta tersebut menjadi tidak sah secara hukum. Dalam skenario lain, penghadap memberikan keterangan palsu kepada Notaris yang bersangkutan.
Atau, tak satu dua contoh kasus di mana notaris sampai melakukan dan/atau bersekongkol melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) dalam proses pembuatan akta. Walaupun perlu digarisbawahi, beban untuk membuktikan ketidakautentikan dari akta tersebut, tetap berada pada pundak pihak yang mendalilkan.
Tulisan ini akan mengurai, perihal apa saja yang membuat terdegradasinya status akta autentik menjadi akta di bawah tangan, cacat hukum hingga batal keabsahannya. Tak hanya berdampak sanksi pada notaris yang bersangkutan, bukti yang ‘dipikir’ sempurna itu justru bisa melemahkan posisi klien saat berurusan hukum dengan pihak lawan. Sebaliknya, cacat hukumnya keautentikan suatu akta bisa jadi peluru pembelaan bagi pihak yang berseberangan.