Dalam hukum perkawinan Indonesia, dikenal konsep harta bersama. Terkait konteks ini, terdapat dikotomi antara harta bersama dengan harta bawaan yang secara sumber berasal dari masing-masing pihak suami atau istri yang terikat dalam hubungan perkawinan. Mengenai dikotomi harta, Pasal 85 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menegaskan tentang adanya harta bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri.
Tentang harta bersama, sejumlah aturan menyebutkan nomenklatur ini. Pasal 1 huruf (f) KHI menyebutkan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.
Kemudian Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (( Perkawinan) mengatur, harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Sementara ayat (2)-nya menyatakan bahwa harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepenjang para pihak tidak menentukan lain.
Selanjutnya, Pasal 119 KUH Perdata mengatur, “Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketenuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri”.