Lema ‘menghadap’, ‘berhadapan’, atau ‘di hadapan’ adalah kata yang sering didiskusikan komunitas hukum, khususnya notaris, terutama setelah perkembangan teknologi memungkinkan komunikasi antarmanusia dilakukan secara virtual. Betapa tidak, lema tersebut sering dipahami sebagai kehadiran bertatap muka langsung antara orang yang menghadap dengan orang yang berprofesi sebagai notaris.
Diskursus ini tak lepas dari paragraf-paragraf yang lazim dibuat dalam akta notaris, seperti kalimat “dibuat di hadapan saya, notaris….”. Perbuatan menghadap yang selama ini dikenal dalam aktivitas notaris bersumber dari Pasal 1868 KUH Perdata: Suatu akta autentik ialah suatu akta yang, di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat di mana akta dibuat.
Pasal ini dianggap sebagai sumber autentisitas akta notaris, dengan syarat yang sudah ditentukan. Pertama, akta itu harus dibuat oleh (door) atau di hadapan (ten overstaan) pejabat umum. Kedua, akta dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. Ketiga, pejabat umum –atau di hadapan siapa akta itu dibuat-- harus mempunyai wewenang untuk membuat akta dimaksud.
Pada dasarnya, ada tiga aspek yang harus diperhatikan seorang notaris agar akta yang dibuatnya memenuhi syarat autentisitas. Pertama, aspek prosedur, merupakan serangkaian tata cara pembuatan akta yang harus dilakukan oleh notaris sesuai dengan perundang-undangan. Kedua, aspek wewenang, yaitu batasan yang harus dilakukan notaris. Ketiga, aspek substansi, yang berkaitan dengan isi yang merupakan kehendak para pihak dan untuk memastikan perbuatan atau tindakan hukum para penghadap di hadapan notaris.