Apa yang dimaksud dengan asas konkordansi?�Bagaimana sejarahnya di Indonesia?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Asas konkordansi adalah suatu asas yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau hukum di Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia). Dengan kata lain, terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda.
Asas konkordansi yang tertera dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling untuk orang Eropa sudah berlaku sejak permulaan kekuasaan Belanda menduduki Indonesia.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Apa itu asas konkordansi? Sebelum membahas sejarah asas konkordansi dan pengertian asas konkordansi, penting untuk diketahui bahwa sebagaimana disampaikan Dedi Soemardi dalam Pengantar Hukum Indonesia (hal. 8), asas konkordansi yang tertera dalam Pasal 131 Indische Staatsregeling untuk orang Eropa sudah berlaku semenjak permulaan kekuasaan Belanda menduduki Indonesia.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dedi menjelaskan bahwa, di Belanda pada tanggal 1 Oktober 1838 terbentuk perundang-undangan baru. Di periode itu, raja mengangkat sebuah panitia yang diketuai oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem untuk menyesuaikan kodifikasi (pembukuan hukum dalam suatu himpunan undang-undang dalam materi yang sama) Belanda sehingga cocok untuk “Hindia Belanda” atau Indonesia saat itu (hal. 8-9).
Adapun panitia itu merencanakan hal-hal sebagai berikut:[1]
Reglement op de Rechterlijke Organisatie = Peraturan tentang Organisasi Peradilan
Algemene Bepalingen voor de Wetgeving = Ketentuan-ketentuan Umum Mengenai Perundang-undangan
Ketentuan-ketentuan lain mengenai kejahatan-kejahatan yang dilakukan lantaran “faillissement” dan dalam keadaan nyata tidak mampu (“staat van kennelijk onvermogen”), seperti juga pada “surseance” pembayaran.
Setelah panitia tersebut dibubarkan, di Hindia Belanda Mr. H. L. Wichers, Presiden Hooggerechtshof, mendapat perintah untuk membantu Gubernur Jenderal untuk memberlakukan kitab-kitab hukum yang baru itu dan merencanakan pasal-pasal yang masih belum ada.[2]
Adapun rencana Mr. Wichers itu dikuatkan oleh Gubernur Jenderal yang antara lainnya perihal:[3]
Reglement op de Strafvordering bagi raad van Justitie di Jawa dan Hooggerechtshof Hindia Belanda;
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering untuk pengadilan-pengadilan tersebut;
Reglement op de uitoefening van de Politie, de Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering bagi yang disebut pengadilan-pengadilan bumiputera (Indlands Reglement);
Ketentuan-ketentuan istimewa untuk menjamin supaya perundang-undangan yang baru dengan teratur berlaku di daerah-daerah luar Jawa dan Madura;
Ketentuan-ketentuan tentang mulai berlakunya dan peralihan kepada perundang-undangan baru.
Berdasarkan pengumuman Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 Staatsblad No. 57, semua peraturan tersebut mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848.
Akan tetapi, Reglement op de Rechterlijke Organisatie yang semula akan berlaku untuk seluruh Hindia Belanda ternyata tidak dimungkinkan untuk diterapkan di seluruh wilayah. Oleh karena itu, pada tanggal tersebut, peraturan tersebut dinyatakan hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, sedangkan keadaan yang waktu itu terdapat di daerah-daerah luar Jawa dan Madura tetap dilangsungkan.[4]
Berdasarkan informasi dari laporan Analisa dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan Peninggalan Kolonial Belanda oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), secara garis besar sistem hukum yang berlaku bagi masing-masing golongan adalah sebagai berikut (hal. 13):
Hukum yang berlaku bagi golongan Eropa
Burgerlijke Wetboek dan Wetboek van Koophandel yang berlaku di negeri Belanda (sesuai asas konkordansi);
Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering dan Reglement op de Strafvordering.
Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi
Hukum adat dalam bentuk tidak tertulis. Berlakunya hukum adat tidak mutlak, dan jika diperlukan, dapat diatur dalam peraturan khusus (ordonansi).
Hukum yang berlaku bagi golongan Timur Asing
Hukum perdata dan Hukum pidana adat mereka;
Hukum perdata golongan Eropa hanya bagi golongan Timur Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda.
Terkait pengertian asas konkordansi, berdasarkan sejarah dan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa asas konkordansi adalah suatu asas yang melandasi diberlakukannya hukum Eropa atau hukum di negeri Belanda pada masa itu untuk diberlakukan juga kepada golongan Eropa yang ada di Hindia Belanda (Indonesia pada masa itu). Dengan kata lain, terhadap orang Eropa yang berada di Indonesia diberlakukan hukum perdata asalnya yaitu hukum perdata yang berlaku di negeri Belanda.
Demikian jawaban dari kami terkait asas konkordansi, semoga bermanfaat.
Dedi Soemardi. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta: Ind-Hill-Co, 1992.
Sunaryati Hartono dkk, Analisa dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan Peninggalan Kolonial Belanda,Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2015, diakses pada 29 Juli 2022 pukul 17.45 WIB.
[1] Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Ind-Hill-Co, hal. 76
[2] Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Ind-Hill-Co, hal. 9
[3] Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Ind-Hill-Co, hal. 9–10
[4] Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Ind-Hill-Co, hal. 11