UMP ditetapkan naik dan kontrak pekerja belum berakhir. Lantas manakah dasar hukum yang digunakan untuk pemberian upah kepada pekerja? Apakah tetap mengacu pada kontrak kerja atau pada keputusan kenaikan UMP terbaru? Sebab, UMP yang ditetapkan menjadi lebih tinggi dari pada yang disepakati di kontrak kerja. Terima kasih.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Pada dasarnya pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum provinsi (UMP) atau upah minimum kabupaten/kota (UMK). Sehingga, sudah seharusnya isi perjanjian kerja khususnya tentang besarnya upah yang dibayarkan kepada Anda disesuaikan dengan ketentuan upah minimum daerah setempat.
​​Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Peraturan Perundang-Undangan Vs Perjanjian Kerjayang dibuat olehLetezia Tobing, S.H., M.Kn. dan dipublikasikan pertama kali pada Selasa, 25 November 2014.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Perihal ketentuan upah minimum, patut dipahami pengertian upah minimum adalah upah bulanan terendah yang ditetapkan oleh gubernur sebagai jaring pengaman, yang terdiri dari upah minimum provinsi (“UMP”) dan upah minimum kabupaten/kota (“UMK”).
Ketentuan UMP ditetapkan oleh gubernur, sedangkan UMK ditetapkan setelah penetapan UMP yang mana perhitungannya lebih tinggi dibandingkan dengan UMP. Serta upah minimum ini perlu dilakukan penyesuaian nilainya setiap tahun.[1]
Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan Pasal 81 angka 28 Perppu Ciptaker yang memuat baru Pasal 88E ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, baik upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota.
Sehingga, walaupun mengenai upah telah ditentukan sebelumnya dalam perjanjian kerja, akan tetapi harus diingat bahwa isi dari perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (dalam hal ini ketentuan upah minimum).
Perjanjian kerja sendiri dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
jabatan atau jenis pekerjaan;
tempat pekerjaan;
besarnya upah dan cara pembayarannya;
syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Adapun ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana disebut pada huruf e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Oleh karena itu, isi perjanjian kerja tersebut khususnya mengenai besarnya upah harus disesuaikan (tidak boleh lebih rendah) dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai upah minimum pada provinsi atau kabupaten/kota setempat.
Selain itu, pengusaha perlu melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas misalnya penyesuaian harga kebutuhan hidup, prestasi kerja, perkembangan hingga kemampuan perusahaan itu sendiri.[3]
Akan tetapi, khusus bagi usaha mikro dan kecil, ketentuan upah minimum dikecualikan. Sebagai gantinya, upah pada usaha mikro dan kecil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja merujuk pada data yang bersumber dari lembaga yang berwenang di bidang statistik dengan ketentuan:[4]
paling sedikit sebesar 50% dari rata-rata konsumsi masyarakat di tingkat provinsi; dan
nilai upah disepakati paling sedikit 25% di atas garis kemiskinan di tingkat provinsi.