KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Upaya Hukum Jika Dipecat karena Menunaikan Ibadah Haji

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Upaya Hukum Jika Dipecat karena Menunaikan Ibadah Haji

Upaya Hukum Jika Dipecat karena Menunaikan Ibadah Haji
Renie Aryandani, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Upaya Hukum Jika Dipecat karena Menunaikan Ibadah Haji

PERTANYAAN

Bagaimana bila peraturan cuti ibadah haji belum ada pada peraturan perusahaan swasta? Apakah akan kembali ke peraturan yang sudah ada? Setahu saya, dasar hukumnya adalah Pasal 93 ayat (2) UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Lantas, apa upaya hukum jika perusahaan tidak mengizinkan cuti ibadah haji, lalu melakukan PHK kepada karyawan yang hendak menjalankan ibadah haji? Apa sanksi bagi perusahaan yang PHK karyawan yang menjalankan ibadah haji?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada dasarnya, hak melaksanakan ibadah haji adalah hak asasi yang melekat pada diri seorang pekerja. Selain itu, pengusaha wajib membayar upah jika pekerja/buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, salah satunya menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya.

    Dalam hal terjadi PHK karena pekerja menjalankan ibadah haji, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan. Apa dasar hukumnya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    KLINIK TERKAIT

    Ketentuan Jam Kerja Selama Ramadan bagi Karyawan Swasta dan ASN Tahun 2024

    Ketentuan Jam Kerja Selama Ramadan bagi Karyawan Swasta dan ASN Tahun 2024

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhirkan kedua dari artikel dengan judul sama yang ditulis oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 8 Agustus 2014, dan dimutakhirkan pertama kali pada 14 Juni 2016.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Hak Beribadah

    Pada dasarnya, hak melaksanakan ibadah termasuk di dalamnya melaksanakan ibadah haji merupakan hak asasi yang melekat pada diri seorang pekerja. Hak ini secara jelas dilindungi oleh konstitusi, yakni dalam Pasal 28E ayat (1) dan (2) UUD 1945:

    1. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
    2. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

    Ketentuan Pelaksanaan Ibadah Bagi Karyawan

    Lalu, dimanakah ketentuan tentang pelaksanaan ibadah haji bagi pekerja? Pada dasarnya, ibadah haji, menurut Pasal 68 angka 1 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 1 angka 1 UU 8/2019 adalah adalah rukun Islam kelima bagi orang Islam yang mampu untuk melaksanakan serangkaian ibadah tertentu di Baitullah, masyair, serta tempat, waktu, dan syarat tertentu.

    Kemudian, penting untuk mengetahui bunyi Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yaitu upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

    Namun terdapat pengecualian, yaitu pengusaha wajib membayar upah kepada pekerja/buruh dalam hal pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, sebagaimana diatur dalam Pasal 93 ayat (2) huruf e UU Ketenagakerjaan.

    Yang dimaksud dengan menjalankan kewajiban ibadah menurut agamanya adalah melaksanakan kewajiban ibadah menurut agamanya yang telah diatur dengan peraturan perundang-undangan.[1]

    Mencermati Pasal 93 ayat (1) UU Ketenagakerjaan di atas, pasal tersebut mengatur tentang prinsip no work, no pay. Artinya, pengusaha tidak membayar upah jika pekerja tidak bekerja. Namun, dalam konteks pertanyaan Anda, Pasal 93 ayat (2) huruf e UU Ketenagakerjaan mengecualikannya dalam hal pekerja tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, yaitu salah satunya adalah jika pekerja pergi ibadah haji.

    Adapun pengusaha yang melanggar ketentuan Pasal 93 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, berpotensi dipidana penjara paling singkat 1 bulan dan paling lama 4 tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp10 juta dan paling banyak Rp400 juta.[2]

    Ketentuan serupa juga diatur dalam PP Pengupahan, yaitu pengusaha wajib membayar upah jika pekerja/buruh tidak masuk bekerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, salah satunya menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya.[3] Adapun besaran upahnya adalah sebesar upah yang diterima oleh pekerja/buruh dengan ketentuan hanya sekali selama ia bekerja di perusahaan yang bersangkutan.[4]

    Pelaksanaan ketentuan ini ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.[5] Jadi, dalam konteks pertanyaan Anda, memang pada dasarnya ketentuan ini diatur lebih lanjut (salah satunya) dalam peraturan perusahaan. Jika memang hal ini tidak/belum diatur dalam peraturan perusahaan, maka salah satu dasar hukum yang menjadi acuan adalah UU Ketenagakerjaan yang diperbaharui oleh UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya.

    Larangan Pengusaha Memutuskan Hubungan Kerja dengan Pekerja yang Melaksanakan Ibadah Haji

    Berdasarkan informasi yang Anda berikan, perusahaan tidak mengizinkan cuti ibadah haji dan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) kepada karyawan yang menjalankan ibadah haji. Pada dasarnya, pengusaha dilarang melakukan PHK kepada pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya, dalam hal ini menjalankan ibadah haji. Hal tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 81 angka 43 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 153 ayat (1) huruf c UU Ketenagakerjaan.

    Menjawab pertanyaan Anda tentang sanksi bagi perusahaan yang melakukan PHK kepada karyawan yang menjalankan ibadah haji, sepanjang penelusuran kami, yang diatur dalam peraturan perundang-undangan adalah jika terjadi PHK karena pekerja menjalankan ibadah haji, maka PHK tersebut batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.[6]

    Baca juga: Tidur di Tempat Kerja Saat Puasa, Bisakah Dipecat?

    Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan Karyawan

    Jika pekerja di-PHK karena alasan melaksanakan ibadah haji dan pekerja keberatan dengan alasan PHK tersebut, terdapat tahapan penyelesaian perselisihan PHK menurut UU PPHI yang dapat dilakukan oleh pekerja dan pengusaha yang bersangkutan:

    1. Mengadakan perundingan bipartit antara pekerja dan pengusaha secara musyawarah untuk mencapai mufakat.[7] Menurut Pasa Deda Siregar dan Tri Maha Eka Bangun dalam Instagram Live Problematika PHK, Keabsahan dan Cara Antisipasinya, UU Ketenagakerjaan dan perubahannya disusun dengan semangat berdialog dan musyawarah mufakat, jadi menurut hemat kami, cobalah untuk membuka perundingan dengan pihak pengusaha mengenai masalah ini.
    2. Apabila dalam waktu 30 hari setelah perundingan dimulai tidak tercapai kesepakatan atau salah satu pihak menolak berunding, upaya selanjutnya adalah mencatatkan perselisihan ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Pada tahap ini, perlu diajukan bukti-bukti bahwa perundingan bipartit telah dilaksanakan, namun gagal mencapai kesepakatan. Selanjutnya, akan diselesaikan melalui konsiliasi atas kesepakatan kedua belah pihak atau melalui mediasi.[8]
    3. Apabila dari hasil mediasi atau konsiliasi tetap tidak menghasilkan kesepakatan yang dituangkan di perjanjian bersama, maka salah satu pihak dapat mengajukan perselisihan ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[9]

    Baca juga: Tata Cara PHK dan Penyelesaian Perselisihannya

    Contoh Kasus

    Meskipun UU Ketenagakerjaan dan perubahannya, serta peraturan pelaksananya sudah memberikan jaminan keberlangsungan kerja bagi pekerja yang melaksanakan ibadah haji, tapi pada faktanya pekerja tidak bisa asal berlindung di balik alasan ibadah haji jika dipecat perusahaan. Pekerja juga harus memiliki bukti pendukung yang kuat. Ini misalnya terlihat pada kasus dalam Putusan MA No. 216 K/Pdt.Sus-PHI/2015. Pemohon kasasi (dahulu penggugat) di-PHK oleh perusahaan tempatnya bekerja sepulang dari melaksanakan ibadah haji (hal.2).

    Hakim pada Pengadilan Hubungan Industrial dalam pertimbangannya menyatakan bahwa tidak terdapat bukti yang cukup alasan penggugat di PHK oleh tergugat adalah karena penggugat menjalankan perintah agamanya, menunaikan ibadah haji ke tanah suci (hal. 8). Sehingga, hakim menyatakan pemutusan hubungan kerja adalah sah dan pengusaha wajib membayar hak-hak pekerja. Hakim pada tingkat kasasi pun menguatkan putusan hakim Pengadilan Hubungan Industrial (putusan No. 48/G/2014/ PHI.Mdn).

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
    3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
    4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah;
    5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;
    6. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

    Referensi:

    Instagram Live Klinik Hukumonline bersama Pasa, Maha & Rekan tentang Problematika PHK, Keabsahan dan Cara Antisipasinya, yang diselenggarakan pada hari Jumat, 15 Maret 2024.

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Agung Nomor 216 K/Pdt.Sus-PHI/2015.


    [1] Penjelasan Pasal 93 ayat (2) huruf e Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang UU  Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)

    [2] Pasal 81 angka 67 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 186 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

    [3] Pasal 40 ayat (2) dan ayat (4) huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)

    [4] Pasal 43 PP Pengupahan

    [5] Pasal 93 ayat (5) UU Ketenagakerjaan

    [6] Pasal 81 angka 43 Perppu Cipta Kerja yang mengubah Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

    [7] Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”)

    [8] Pasal 3 ayat (3), Pasal 4 ayat (1), dan Angka 5 Penjelasan Umum UU PPHI

    [9] Angka 7 Penjelasan Umum UU PPHI

    Tags

    phk
    upah

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perancang Peraturan (Legislative Drafter) Harus Punya Skill Ini

    23 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!