Apa yang dimaksud dengan praperadilan dan bagaimana mekanismenya?� Lantas, bisakah praperadilan diajukan upaya hukum?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Menurut Yahya Harahap, pengertian praperadilan adalah tugas tambahan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri selain tugas pokoknya mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata untuk menilai sah tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, penahanan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik.
Lantas, apa saja objek, mekanisme, dan upaya hukum atas putusan praperadilan?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Praperadilan (3) yang dibuat oleh Si Pokrol, dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 27 Agustus 2009.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Apa itu Praperadilan?
Dasar hukum praperadilan dapat ditemukan di dalam KUHAP. Adapun pengertian praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam KUHAP tentang:[1]
sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan;
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Kewenangan praperadilan yang diberikan oleh undang-undang hanya terbatas pada objek praperadilan yaitu hal-hal yang disebutkan di atas. Objek praperadilan kemudian dipertegas dalam Pasal 77 KUHAP jo. Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan memutus:
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan;
ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkaranya dihentikan. Pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Terbatasnya kewenangan atau sifat limitatif dari praperadilan, menyebabkan upaya paksa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang tidak disebutkan dalam undang-undang, seperti penggeledahan atau pemasukan rumah, tidak dapat diajukan praperadilan.
Menurut Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), pengertian praperadilan adalah sebagai tugas tambahan yang diberikan kepada Pengadilan Negeri selain tugas pokoknya mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata untuk menilai sah tidaknya penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, penahanan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik. Tujuan utama pelembagaan praperadilan dalam KUHAP yaitu melakukan pengawasan horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-undang (hal. 2 – 4).
Praperadilan merupakan kewenangan dari Pengadilan Negeri untuk melakukan fungsi pengawasan terutama dalam hal dilakukan upaya paksa terhadap tersangka oleh penyidik atau penuntut umum. Pengawasan tersebut ditujukan agar aparat penegak hukum tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya. Sementara itu, bagi tersangka atau keluarganya yang mendapatkan tindakan dari aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau keliru orang atau hukumnya, maka ia berhak mendapatkan ganti kerugian dan rehabilitasi.
Mekanisme Praperadilan
Secara umum mekanisme praperadilan dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut.
Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya;[2]
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan, termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya;[3]
Permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya;[4]
Pelaksanaan sidang praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera;[5]
Dalam waktu 3 hari setelah diterimanya permintaan, hakim yang ditunjuk menetapkan hari sidang;[6]
Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dari tersangka atau pemohon maupun dari pejabat yang berwenang;[7]
Pemeriksaan tersebut dilakukan secara cepat dan selambat-lambatnya 7 hari hakim harus sudah menjatuhkan putusannya;[8]
Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh Pengadilan Negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada pra peradilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. Frasa suatu perkara sudah dimulai dimaknai permintaan praperadilan gugur ketika pokok perkara telah dilimpahkan dan telah dimulai sidang pertama terhadap pokok perkara atas nama terdakwa/pemohon praperadilan;[9]
Putusan praperadilan pada tingkat penyidikan tidak menutup kemungkinan untuk mengadakan pemeriksaan, praperadilan lagi pada tingkat pemeriksaan oleh penuntut umum, jika untuk itu diajukan permintaan baru;[10]
Jika putusan pengadilan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera membebaskan tersangka;[11]
Jika putusan pengadilan menetapkan bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidikan atau penuntutan terhadap tersangka wajib dilanjutkan;[12]
Jika putusan pengadilan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan dicantumkan rehabilitasinya;[13]
Jika putusan pengadilan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.[14]
Upaya Hukum Terhadap Putusan Praperadilan
Putusan praperadilan tidak dapat dimintakan banding.[15]
Dalam hal ada permohonan banding terhadap putusan praperadilan sebagaimana dimaksud Pasal 83 ayat (1) KUHAP, maka permohonan tersebut harus dinyatakan tidak diterima.[16]
Pengadilan Tinggi memutus permintaan banding tentang tidak sahnya penghentian penyidikan dan penuntutan dalam tingkat akhir.[17]
Terhadap putusan praperadilan tidak dapat diajukan upaya hukum kasasi.[18]