Apabila seorang suami setelah menikah membeli sebidang tanah dimana sertifikatnya atas nama suami, dan tidak ada perjanjian pranikah, apakah apabila si suami hendak menjual kembali tanah tsb harus atas persetujuan istrinya?, apabila iya, apakah persetujuan si istri tsb harus dicantumkan dalam akte jual-beli?, bagaimana bentuk aktenya?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) menjelaskan bahwa selama para pihak suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah tidak mengatur mengenai ‘Perjanjian Perkawinan’, maka dalam perkawinan tersebut telah terjadi percampuran harta suami istri yang disebut sebagai ‘Harta Bersama’. Segala harta benda yang diperoleh suami istri selama perkawinan menjadi harta bersama.
Pengaturan mengenai harta bersama dijelaskan dalam dalam pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyebutkan bahwa suami istri dapat bertindak atas harta bersama dengan persetujuan keduabelah pihak. Dengan demikian salah satu pihak baik suami atau istri tidak dapat mengesampingkan ataupun meninggalkan pihak lainnya untuk melakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan harta tersebut, karena kedudukan mereka seimbang yaitu sebagai pemilik harta bersama itu.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dalam kasus ini, tanah yang dibeli suami setelah perkawinan berlangsung digolongkan sebagai harta bersama yang tunduk pada ketentuan tersebut di atas. Peralihan hak atas tanah tersebut melalui proses jual beli yang harus dilakukan di depan Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) dan memerlukan persetujuan istri. Persetujuan tersebut dalam bentuk tanda tangan istri yang dibubuhkan pada halaman belakang dari Akta Jual Beli. Apabila istri berhalangan hadir pada saat penandatanganan Akta Jual Beli, PPAT akan meminta kepada suami yaitu Surat Persetujuan Istri atas penjualan tanah tersebut yang telah dilegalisasi oleh Notaris. Artinya, tanda tangan istri dalam surat persetujuan tersebut wajib dilakukan di depan Notaris.
Bagaimana jika prosedur peralihan hak atas tanah tersebut dilanggar, dalam arti baik pihak suami ataupun atas kelalaian pihak PPAT mengesampingkan persetujuan istri? Bila hal ini terjadi, maka proses jual beli tanah tersebut adalah tidak sah menurut hukum, yang artinya perbuatan hukum tersebut batal demi hukum. Para pihak yang melanggar prosedur tersebut dengan sengaja atau karena kelalaiannya dapat digugat dengan pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melanggar hukum. Pasal 1365 KUHPedata menyatakan sebagai berikut:
“Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”
Semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijke Wetboek (Staatsblad No.23/1847 tanggal 30 April 1847)
2.Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Simak dan dapatkan tanya-jawab seputar hukum keluarga lainnya dalam buku “Tanya Jawab Hukum Perkawinan & Perceraian” dan “Tanya Jawab Hukum Waris & Anak” (hukumonline dan Kataelha) yang telah beredar di toko-toko buku.