KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Sifat Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Agung

Share
Ilmu Hukum

Sifat Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Agung

Sifat Putusan <i>Judicial Review</i> oleh Mahkamah Agung
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol

Bacaan 10 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya, jika sifat putusan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi adalah erga omnes, final and binding, lantas bagaimana sifat putusan pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Mahkamah Agung adalah lembaga peradilan yang memiliki wewenang untuk melakukan judicial review terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau peraturan yang lebih tinggi.

    Jika putusan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, bagaimana sifat putusan judicial review yang dilakukan oleh Mahkamah Agung?

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    KLINIK TERKAIT

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

     

    Wewenang Mahkamah Agung untuk Melakukan Judicial Review

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, perlu kami terangkan mengenai arti dari judicial review. Menurut Jimly Asshiddiqie, secara bahasa Inggris Amerika Serikat, judicial review dapat diartikan sebagai upaya hukum untuk menggugat atau menguji tiga norma hukum berupa regeling (peraturan), beschikking (keputusan), dan vonis (judgement) melalui peradilan.[1]

    Lebih lanjut, dalam konsep pengujian undang-undang, khususnya berkaitan dengan pengujian oleh kekuasaan kehakiman, review berarti memandang, menilai, atau menguji kembali. Jika suatu undang-undang sudah sah sebagai undang-undang, maka pengujiannya disebut judicial review.[2]

    Sehingga, dapat dikatakan bahwa dalam konteks ini, judicial review adalah pengujian terhadap peraturan perundang-undangan melalui lembaga peradilan. Adapun, disarikan dari artikel Bedanya Judicial Review dengan Hak Uji Materiil judicial review dapat berupa pengujian materiil yaitu menguji materi muatan peraturan perundang-undangan dan pengujian formil yaitu pengujian atas pembentukan peraturan perundang-undangan.

    Dalam konteks judicial review di Mahkamah Agung, Pasal 24A ayat (2) UUD 1945 memberikan wewenang kepada Mahkamah Agung untuk mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh undang-undang.

    Lebih lanjut, berdasarkan Pasal 31 ayat (2) UU 3/2009 putusan Mahkamah Agung yang menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. Jika mengacu pada ketentuan ini, maka judicial review di Mahkamah Agung dapat berupa pengujian formil maupun materiil.

    Akan tetapi, dalam PERMA 1/2011 sepanjang penelusuran kami hanya diatur mengenai uji materiil. Pasal 1 ayat (1) PERMA 1/2011 menerangkan yang dimaksud dengan hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menilai materi muatan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi.

    Dengan demikian, untuk menyederhanakan jawaban, kami akan membahas mengenai sifat putusan hak uji materiil yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.

     

    Sifat Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Agung

    Untuk melakukan judicial review di Mahkamah Agung, maka perlu mengajukan permohonan keberatan, yaitu suatu permohonan yang berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi yang diajukan ke Mahkamah Agung untuk mendapatkan putusan.[3]

    Apabila Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, maka Mahkamah Agung mengabulkan permohonan keberatan tersebut. Akan tetapi, jika Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan keberatan itu tidak beralasan, maka Mahkamah Agung menolak permohonan keberatan tersebut.[4]

    Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.[5] Kemudian, peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.[6]

    Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya.[7]

    Selanjutnya, Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita Negara. Dalam waktu 90 hari setelah putusan Mahkamah Agung itu dikirimkan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut ternyata tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.[8]

    Lantas, apakah putusan Mahkamah Agung bersifat final? Untuk menjawab hal tersebut, pada prinsipnya, terhadap putusan mengenai permohonan keberatan itu, tidak dapat diajukan peninjauan kembali. Ketentuan ini termaktub di dalam Pasal 9 PERMA 1/2011.

    Suatu putusan apabila tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, berarti telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan memperoleh kekuatan hukum mengikat (resjudicata pro veritate habeteur).[9]

    Lebih lanjut, apabila ditelusuri dalam Direktori Putusan MA tentang Hak Uji Materiil, pengujian uji materiil setara dengan tingkat proses peninjauan kembali dan status putusannya adalah berkekuatan hukum tetap.

    Dengan demikian, sifat dari putusan judicial review oleh Mahkamah Agung adalah inkracht van gewijsde atau berkekuatan hukum tetap. Jika suatu peraturan perundang-undangan dikabulkan dan dinyatakan tidak sah atau tidak berlaku umum, maka peraturan perundang-undangan yang dimohonkan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Akan tetapi, menurut Ni’matul Huda dan R. Nazriyah dalam buku Teori & Pengujian Peraturan Perundang-undangan (hal. 143), norma yang memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan untuk melakukan pencabutan terhadap peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku untuk umum tersebut, dapat menimbulkan persoalan yaitu mengurangi kepastian hukum putusan Mahkamah Agung. Sebab, dapat timbul penafsiran bahwa karena belum dicabut, peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tetap berlaku.

     

    Contoh Putusan Judicial Review MA

    Salah satu putusan mengenai uji materiil di MA adalah Putusan MA No. 23/P/HUM/2024. Pokok perkara dalam putusan tersebut adalah pengujian Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 mengenai syarat calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun, dan bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil wali kota 25 tahun, terhitung sejak penetapan pasangan calon. Ketentuan tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 (hal. 10 – 11).

    Alasan yang disampaikan pemohon adalah dalam proses penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, terdapat tahapan-tahapan yang harus dilewati, mulai dari pengumuman pendaftaran pasangan calon kepala daerah hingga pengusulan pengangkatan calon terpilih. Dengan dilaluinya tahapan-tahapan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tersebut, cenderung melewati batas usia minimal sejak penetapan pasangan calon. Sehingga, peraturan KPU tersebut dianggap tidak adaptif dan tidak prediktif (hal. 12 – 13).

    Sehingga, persyaratan usia minimal tidak tepat ditempatkan pada saat penetapan pasangan calon, karena proses pencalonan tidak saja mencakup penetapan pasangan calon, namun juga sampai tahap pengesahan pengangkatan/pelantikan calon terpilih (hal. 15).

    Alasan lainnya adalah bahwa norma dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 telah menyelisihi asas kepastian hukum dan berpotensi terjadi konflik norma (hal. 14 – 15).

    Atas permohonan keberatan oleh pemohon tersebut, Mahkamah Agung (“MA”) berpendapat bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf e UU 10/2016 tidak tegas menjelaskan kapan usia calon kepala daerah itu dihitung. Sementara, pemilihan kepala daerah terdapat banyak tahapan, sehingga membuka ruang penafsiran dalam memberi makna pasti kapan usia tersebut harus dipenuhi (hal. 58).

    Lebih lanjut, MA berpendapat bahwa penerapan open legal policy oleh KPU dalam memberi tafsir terhadap kapan usia calon kepala daerah, terbukti telah melahirkan makna dan tafsir yang berbeda satu dengan lainnya, dan tidak tertutup kemungkinan akan kembali terjadi perubahan makna dan tafsir terhadap hal tersebut di masa mendatang (hal. 59).

    Terlebih, dalam Pasal 54 UU 10/2016 diatur perihal penggantian pasangan calon oleh partai politik jika salah satu pasangan calon meninggal dunia. Lantas, apakah calon pengganti itu harus diterbitkan kembali penetapan pasangan calon atau tidak, dan apakah penghitungan usia calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon pengganti? Keadan ini berpotensi menyebabkan adanya ketidakpastian hukum jika usia calon ditetapkan pada tahapan penetapan pasangan calon (hal. 59).

    MA juga berpendapat bahwa usia minimum bagi jabatan-jabatan dalam sistem hukum tata negara haruslah dimaknai usia ketika yang bersangkutan dilantik dan diberi wewenang oleh negara untuk melakukan suatu tindakan pemerintahan dan melekat semua hak dan kewajibannya sebagai organ negara maupun pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara (hal. 61).

    Atas setidaknya pertimbangan yang kami sebutkan di atas, MA menyatakan Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU 10/2016, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon Terpilih (hal. 68).

    Selanjutnya, memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 dan memerintahkan kepada panitera MA untuk mengirimkan petikan putusan ini kepada Percetakan Negara untuk dicantumkan dalam Berita Negara (hal. 68).

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    DASAR HUKUM

    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
    Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
    Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil

    PUTUSAN

    Putusan Mahkamah Agung Nomor 23/P/HUM/2024.

     

    REFERENSI

    1. Jimly Asshiddiqqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, 2006;
    2. Ni’matul Huda dan R. Nazriyah. Teori & Pengujian Peraturan Perundang-undangan. Bandung: Nusa Media, 2011;
    3. Novendri M. Nggilu. Menggagas Sanksi atas Tindakan Constitution Disobedience terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol. 16 No, 1, Maret 2019;
    4. Direktori Putusan MA tentang Hak Uji Materiil, yang diakses pada Jumat, 14 Juni 2024, pukul 09.15 WIB.

    [1] Jimly Asshiddiqqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 1 – 2

    [2] Jimly Asshiddiqqie. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, 2006, hal. 3 – 4

    [3] Pasal 1 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (“PERMA 1/2011”)

    [4] Pasal 6 ayat (1) dan (3) PERMA 1/2011

    [5] Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU 3/2009”)

    [6] Pasal 31 ayat (4) UU 3/2009

    [7] Pasal 6 ayat (2) PERMA 1/2011

    [8] Pasal 8 PERMA 1/2011

    [9] Novendri M. Nggilu. Menggagas Sanksi atas Tindakan Constitution Disobedience terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi Vol. 16 No, 1, Maret 2019, hal. 52

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda