Suatu lembaga keuangan mendapatkan debitur yang bentuk badan hukumnya CV. CV tersebut belum mendaftarkan pendiriannya ke SABU sesuai dengan Permenkumham 17/2018. Adakah risiko hukum bagi lembaga keuangan terkait hal ini?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Ketika suatu persekutuan komanditer (CV) yang belum terdaftar melakukan suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum dengan pihak ketiga, maka tanggung jawab masing-masing sekutu adalah sama. Dengan kata lain, sekutu aktif maupun sekutu pasif menjadi bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi.
Hal ini menimbulkan risiko hukum bagi pihak ketiga (termasuk lembaga keuangan) terhadap CV yang tidak terdaftar, yaitu ketidakjelasan penagihan piutang kepada debitur. Pada CV terdaftar, penagihan hanya dilakukan kepada sekutu aktif/komplementer. Sedangkan pada CV yang tidak terdaftarkan dalam SABU (menjadi persekutuan perdata biasa), penagihan piutang dapat dilakukan kepada setiap sekutu/anggota dalam CV tersebut.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
Dikarenakan Anda menyebut debitur merupakan badan usaha persekutuan komanditer (“CV”), maka kami akan mengawali penjelasan kami dengan menerangkan secara singkat mengenai CV itu sendiri.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sebelumnya perlu diketahui bahwa di Indonesia, CV bukanlah badan hukum. CV hanya dikategorikan sebagai salah satu bentuk badan usaha yang didirikan berdasarkan perjanjian. Secara umum, hal ini didasarkan pada Pasal 1618 jo. Pasal 1619 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
Pasal 1618 KUH Perdata
Perseroan perdata adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang berjanji untuk memasukkan sesuatu ke dalam perseroan itu dengan maksud supaya keuntungan yang diperoleh dari perseroan itu dibagi di antara mereka.
Pasal 1619 KUH Perdata
Semua perseroan perdata harus ditunjukkan pada sesuatu yang halal dan diadakan untuk kepentingan bersama para anggotanya. Masing-masing anggota wajib memasukkan uang, barang atau usaha ke dalam perseroan itu.
Persekutuan Komanditer (Commanditaire Vennotschaap) yang selanjutnya disebut CV adalah persekutuan yang didirikan oleh satu atau lebih sekutu komanditer dengan satu atau lebih sekutukomplementer, untuk menjalankan usaha secara terus menerus.
CV memiliki dua jenis sekutu, yaitu sekutu aktif/komplementer dan sekutu pasif/komanditer. Perbedaan antara keduanya terletak dalam hal kepengurusan dan tanggung jawabnya.
Sekutu aktif merupakan pengurus CV, bertindak aktif dalam menjalankan perusahaan, kepengurusan, dan berwenang untuk membuat perjanjian atau melakukan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Sekutu aktif bertanggung jawab sampai dengan harta pribadinya. Sedangkan sekutu pasif tidak turut dalam pengurusan CV dan hanya bertanggung jawab sebesar modal yang telah disetorkan ke dalam CV.
Namun ketika suatu CV yang belum terdaftar melakukan suatu perbuatan hukum atau hubungan hukum dengan pihak ketiga, maka tanggung jawab masing-masing sekutu adalah sama. Keduanya bertanggung jawab sampai dengan harta pribadi.
Pendaftaran CV
Sebelum Permenkumham 17/2018 diberlakukan, pendirian CV tunduk pada ketentuan Pasal 22 dan Pasal 23 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (“KUHD”). Untuk mendirikan CV, pendirinya harus membuat akta autentik dan mendaftar ke pengadilan negeri setempat. Namun sejak Permenkumham 17/2018 diterbitkan, permohonan pendaftaran pendirian CV, firma, dan persekutuan perdata diajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (“Menkumham”) melalui Sistem Administrasi Badan Usaha (“SABU”).[1]
Lebih lanjut berdasarkan Pasal 14 ayat (1) Permenkunham 17/2018, Menkumham akan menerbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) CV pada saat permohonan pendirian diterima.
Dengan demikian, apabila proses pendaftaran CV melalui SABU sebagaimana dimaksud Permenkunham 17/2018 tidak terpenuhi, maka CV yang bersangkutan tidak dapat memperoleh SKT. Akibat hukum yang timbul sesuai dengan Pasal 29 KUHD, yang berbunyi:
Selama pendaftaran dan pengumuman belum terjadi, maka perseroan firma itu terhadap pihak ketiga dianggap sebagai perseroan umum untuk segala urusan, dianggap didirikan untuk waktu yang tidak ditentukan dan dianggap tiada seorang persero pun yang dilarang melakukan hak untuk bertindak dan bertanda tangan untuk firma itu.
Dalam hal adanya perbedaan antara yang didaftarkan dan yang diumumkan, maka terhadap pihak ketiga berlaku ketentuan-ketentuan yang berkenaan dengan pasal yang lalu yang dicantumkan dalam surat kabar resmi.
Risiko Hukum bagi Pihak Ketiga
Adapun risiko hukum bagi pihak ketiga (termasuk lembaga keuangan) terhadap CV yang tidak terdaftar terkait dengan ketidakjelasan penagihan piutang kepada debitur. Pada CV terdaftar, penagihan hanya dilakukan kepada sekutu aktif/komplementer. Sedangkan pada CV yang tidak terdaftarkan dalam SABU (menjadi persekutuan perdata biasa), penagihan piutang dapat dilakukan kepada setiap sekutu/anggota dalam CV tersebut.
Hal ini sesuai dengan Pasal 1643 KUH Perdata yang berbunyi:
Para peserta boleh ditagih oleh kreditur, yang berhubungan dagang dengan mereka, masing-masing untuk jumlah dan bagian yang sama, walaupun andil seorang peserta dalam perseroan itu lebih kecil daripada andil peserta lain, kecuali jika pada waktu membuat utang itu ditentukan dengan tegas bahwa para peserta wajib memikul utang itu bersama-sama menurut perbandingan saham masing-masing dalam perseroan itu.
LJKNB wajib menerapkan Manajemen Risiko secara efektif.
Penerapan Manajemen Risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit mencakup:
pengawasan aktif direksi, dewan komisaris, atau yang setara dari LJKNB;
kecukupan kebijakan, prosedur, dan penetapan limit Risiko;
kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian Risiko;
sistem informasi Manajemen Risiko; dan
sistem pengendalian intern yang menyeluruh.
Salah satu risiko yang dimaksud antara lain adalah risiko pembiayaan. Risiko pembiayaan adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada perusahaan pembiayaan.[2]
Kebijakan Perusahaan memuat pula faktor yang perlu diperhatikan dalam proses persetujuan pembiayaan, antara lain:
tingkat profitabilitas, antara lain dengan melakukan analisis perkiraan biaya dan pendapatan secara komprehensif, termasuk biaya estimasi apabila terjadi gagal bayar, serta perhitungan kebutuhan modal.
konsistensi penetapan harga, yang dilakukan dengan memperhitungkan tingkat Risiko, khususnya kondisi debitur secara keseluruhan serta kualitas dan tingkat kemudahan pencairan agunan yang dijadikan jaminan.
Maka dari itu, dengan adanya manajemen risiko yang diatur dalam Peraturan OJK, maka lembaga keuangan perlu memeriksa terlebih dahulu kondisi debitur secara keseluruhan, termasuk apakah CV tersebut sudah didaftarkan pada SABU.