Logo hukumonline
KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Perbedaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

Share
Ilmu Hukum

Perbedaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

Perbedaan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
Nafiatul Munawaroh, S.H., M.HSi Pokrol

Bacaan 12 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Sebagai orang awam, saya mau tanya apa perbedaan kewenangan antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi? Secara lembaga, lebih tinggi MK apa MA? Terima kasih atas jawabannya.

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Mahkamah Konstitusi (“MK”) dan Mahkamah Agung (“MA”) merupakan lembaga negara yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman sebagaimana termaktub di dalam UUD 1945.

    Meski demikian, kedua lembaga tinggi negara tersebut memiliki wewenang yang berbeda dan berdiri sendiri-sendiri.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

     

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    KLINIK TERKAIT

    Jika UU Bertentangan dengan TAP MPR, Bisakah Judicial Review?

    23 Agt, 2023

    Jika UU Bertentangan dengan TAP MPR, Bisakah Judicial Review?

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Perbedaan Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 20 Mei 2013.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Mahkamah Konstitusi (“MK”) dan Mahkamah Agung (“MA”) merupakan lembaga negara yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman sebagaimana termaktub di dalam Bab IX, Pasal 24 s.d. Pasal 24C UUD 1945.

    Kekuasaan kehakiman, yang disebut juga kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[1] Pasal 24 ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengatur lebih lanjut sebagai berikut:

    1. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
    2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

    Kemudian, menjawab pertanyaan Anda tentang lebih tinggi MK apa MA, kami akan mengacu pada pendapat Jimly Asshiddiqie dalam buku Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi (hal. 104 – 105) yang menyatakan bahwa dalam UUD 1945, terdapat lebih dari 34 lembaga baik yang disebut secara langsung ataupun tidak langsung.

    Jika dilihat dari fungsinya, ada yang bersifat utama (primer) dan sekunder (penunjang). Sedangkan dari segi hierarkinya, dibedakan ke dalam 3 lapis, yaitu lapis pertama disebut sebagai lembaga tinggi negara, lapis kedua disebut lembaga negara, dan lapis ketiga adalah lembaga daerah. Adapun, pada lapis pertama yaitu lembaga tinggi negara, terdapat presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, MPR, MK, MA, dan BPK.

    Berangkat dari pendapat Jimly di atas, kami berpandangan bahwa kedudukan MA dan MK adalah sejajar karena sama-sama merupakan lembaga tinggi negara yang menjalankan kekuasaan kehakiman secara merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.

    Wewenang Mahkamah Agung

    Meski MA dan MK sama-sama merupakan lembaga yudikatif, namun, keduanya memiliki wewenang yang berbeda. Lalu, apa fungsi dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi?

    MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang berada di dalam keempat lingkungan peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara[2], yang dalam melakukan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.[3]

    Selain sebagai puncak dari kekuasaan kehakiman dari empat lingkungan peradilan sebagaimana disebut di atas, Jimly Asshiddiqie (hal. 156) juga menyebut bahwa MA pada pokoknya merupakan pengawal undang-undang (the guardian of Indonesian law).

    Lantas, apa saja wewenang dari MA? Di dalam konstitusi, wewenang MA dijabarkan di dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yaitu mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan undang-undang.

    Wewenang MA tersebut, kemudian diuraikan di dalam Pasal 20 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yaitu:

    1. mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah MA kecuali undang-undang menentukan lain;
    2. menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan
    3. kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.

    Berkenaan dengan “kewenangan lain yang diberikan undang-undang”, berdasarkan penelusuran kami di dalam UU MA dan perubahannya, tugas dan wewenang MA secara lebih lanjut antara lain:[4]

    1. memeriksa dan memutus permohonan kasasi;
    2. memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili jika dua pengadilan atau lebih menyatakan berwenang mengadili atau tidak berwenang mengadili perkara yang sama;
    3. memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
    4. melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya dalam menyelenggarakan kekuasaan kehakiman;
    5. memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi; dan
    6. dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain.

    Baca juga: Sifat Putusan Judicial Review oleh Mahkamah Agung

    Wewenang Mahkamah Konstitusi

    Berbeda dengan MA yang merupakan pengawal undang-undang, MK dibentuk untuk menjamin agar konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat ditegakkan sebagaimana mestinya atau disebut dengan the guardian of constitution. Selain itu, MK juga merupakan satu-satunya lembaga yang mempunyai kewenangan tertinggi untuk menafsirkan UUD 1945 (the sole interpreter of the constitution), dan disebut sebagai pengawal demokrasi serta pelindung hak asasi manusia (the protector of human rights).[5]

    Lantas, apa saja sebenarnya wewenang dari MK? Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 memberikan wewenang pada MK untuk:

    1. mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar;
    2. memutuskan sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar;
    3. memutuskan pembubaran partai politik; dan
    4. memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

    Selain kewenangan di atas, Pasal 24C ayat (2) UUD 1945 merumuskan bahwa MK juga wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945.

    Kewenangan MK tentang impeachment (pemakzulan) presiden dan/atau wakil presiden sebagaimana disebut dalam rumusan pasal di atas, menurut Maruarar Siahaan dalam bukunya berjudul Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, diawali dengan proses politik di DPR dan diakhiri dengan proses politik di MPR. Putusan MK nantinya akan dijadikan dasar oleh MPR untuk melihat apakah pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden cukup sebagai landasan memberhentikannya. Adapun, sifat putusan MK mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden secara yuridis adalah peradilan pertama dan terakhir serta final karena tidak ada lembaga negara lain yang dapat melakukan review lagi atas putusan yang telah dijatuhkan MK (hal. 12 – 13).

    Adapun, mengenai sifat putusan MK, pada dasarnya putusan MK bersifat final yaitu putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan MK mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding).[6]

    Sifat final dan mengikat tersebut, berarti putusan itu tidak bisa dilakukan upaya hukum, seperti kasasi atau peninjauan kembali. Putusan tersebut wajib dihormati dan dilaksanakan oleh pemerintah dan lembaga negara lainnya, maupun masyarakat pada umumnya yang terkait dengan putusan itu.[7]

    Putusan MK juga memiliki sifat erga omnes yaitu berlaku bagi siapa saja, tidak hanya bagi para pihak yang bersengketa. Menurut Bagir Manan, erga omnes adalah putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi di masa yang akan datang. Sehingga, ketika suatu undang-undang dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan undang-undang dasar, maka menjadi batal dan tidak sah untuk setiap orang.[8] Erga omnes juga dapat diartikan bahwa putusan MK berlaku bagi seluruh elemen negara tanpa kecuali.[9]

    Baca juga: Apa Maksud Putusan Bersifat Final dan Mengikat?

    Apa Perbedaan Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung?

    Kemudian, menjawab pertanyaan apa perbedaan dari Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, kami akan menguraikannya secara lebih sederhana dalam tabel berikut:

    PerbedaanMahkamah AgungMahkamah Konstitusi
    Dasar HukumPasal 24A UUD 1945.Pasal 24C UUD 1945.
    Wewenang
    • mengadili pada tingkat kasasi;
    • menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang;
    • memeriksa dan memutus sengketa sengketa tentang kewenangan mengadili;
    • memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;
    • melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua badan peradilan yang berada di bawahnya;
    • memberikan pertimbangan hukum kepada presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi;
    • dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum, baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain.
    • mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
    • memutuskan sengketa lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
    • memutuskan pembubaran partai politik;
    • memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
    • wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden dan/atau wakil presiden menurut UUD 1945.
    Jumlah HakimPaling banyak 60 orang.[10]9 orang hakim konstitusi.[11]
    Sifat Putusan
    • Putusan kasasi adalah berkekuatan hukum tetap, namun dapat diajukan upaya peninjauan kembali.
    • Putusan peninjauan kembali adalah tingkat pertama dan terakhir.[12]
    • Putusan judicial review adalah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) dan tidak ada upaya hukum atas putusan tersebut.
    Final dan mengikat serta erga omnes.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
    3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
    4. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
    5. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
    6. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;
    7. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
    8. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
    9. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

    Referensi:

    1. Antoni Putra. Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang.  Jurnal Yudisial, Vol. 14, No. 3, Desember 2021;
    2. Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006;
    3. M. Agus Maulidi. Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol. 16, No. 2, Juni 2019;
    4. Maruarar Siahaan. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Edisi Kedua. Cetakan Pertama. Jakarta: Sinar Grafika, 2011;Jimly Asshiddique. 2005. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Yarsif Watampone: Jakarta.
    5. Ni’matul Huda. Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2018;
    6. Uu Nurul Huda. Hukum Lembaga Negara. Cetakan Kedua. Bandung: Refika Aditama, 2022.

    [1] Uu Nurul Huda. Hukum Lembaga Negara. Cetakan Kedua. Bandung: Refika Aditama, 2022, hal. 83

    [2] Pasal 20 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

    [3] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU MA”)

    [4] Pasal 28, Pasal 37, Pasal 56 UU MA, Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (“UU 5/2004”)

    [5] Jimly Asshiddiqie. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006, hal. 152 – 153

    [6] Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

    [7] Ni’matul Huda. Kekuatan Eksekutorial Putusan Mahkamah Konstitusi. Yogyakarta: FH UII Press, 2018, hal. 142

    [8] Antoni Putra. Sifat Final dan Mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang.  Jurnal Yudisial, Vol. 14, No. 3, Desember 2021, hal. 298

    [9] M. Agus Maulidi. Menyoal Kekuatan Eksekutorial Putusan Final dan Mengikat Mahkamah Konstitusi. Jurnal Konstitusi, Vol. 16, No. 2, Juni 2019, hal. 353

    [10] Pasal 4 ayat (3) UU 5/2004

    [11] Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

    [12] Pasal 70 ayat (2) UU MA

    TAGS

    Punya masalah hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Powered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua

    TIPS HUKUM

    Lihat Semua
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?