Apa yang dimaksud dengan "dan/atau" dalam peraturan perundang-undangan? Misalnya Pasal 310 ayat 3 UU LLAJ, yang berbunyi:
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Dari bunyi pasal tersebut, apakah sanksi berlaku salah satunya saja atau kedua-duanya? Mohon penjelasannya.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Penggunaan kata “dan/atau” ini meresap dalam bahasa hukum. Ahli hukum menggunakannya dalam semua tipe konteks hukum mencakup undang-undang, kontrak, dan gugatan. Sebagai contoh, dalam Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ terdapat penggunaan kata “dan/atau”.
Lantas, apa makna dari kata “dan/atau” pada peraturan perundang-undangan?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Penggunaan dan Penafsiran “dan/atau” dalam Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 23 Juli 2013.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganKonsultan Mitra Justika.
Makna “dan/atau”
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pertama-tama, perlu kita ketahui definisi dari masing-masing dan maupun atau. Berdasarkan KBBI, dan adalah kata penghubung satuan bahasa (kata, frasa, klausa, dan kalimat) yang setara, termasuk tipe yang sama serta memiliki fungsi tidak berbeda. Sedangkan, atau adalah kata penghubung untuk menandai pilihan di antara beberapa hal (pilihan).
Kemudian, merujuk pada Buku Praktis Bahasa Indonesia 2 yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (hal. 55), kata penghubung dan/atau dapat diperlakukan sebagai dan, dapat juga diperlakukan sebagai atau. Tanda miring itu mengandung arti pilihan. Sebagai contoh, A dan/atau B yang berarti:
A dan B; atau
A atau B
Oleh karena itu, cara penulisan yang benar untuk maksud pernyataan di atas adalah “dan/atau”, bukan “dan atau”. Cara penulisan “dan atau” tidak dapat dibenarkan. Kesalahan penulisan tanda penghubung tersebut pada umumnya disebabkan oleh anggapan bahwa tidak ada perbedaan antara bahasa Indonesia ragam lisan dan ragam tulis. Akibatnya, orang menuliskan apa yang terdengar (ragam lisan), bukan apa yang seharusnya ditulis. Di dalam ragam tulis, kelengkapan tanda baca sangat diperlukan agar apa yang dituliskan itu tidak ditafsirkan lain. Makna kalimat ragam lisan dapat didukung oleh situasi pembicaraan, sedangkan dalam ragam tulis tidak didukung hal itu.
Penggunaan kata “dan/atau” ini meresap dalam bahasa hukum. Ahli hukum menggunakannya dalam semua tipe konteks hukum mencakup undang-undang, kontrak, dan gugatan. Kata “dan/atau” memiliki makna yang pasti dan memberikan ahli hukum cara yang efisien untuk menyatakan pilihan antara salah satu proposisi atau dua proposisi secara bersamaan.[1]
Lantas, bagaimana jika kata “dan/atau” diterapkan pada peraturan perundang-undangan?
Penggunaan “dan/atau” di Peraturan Perundang-Undangan
Menjawab pertanyaan Anda, penggunaan kata penghubung “dan/atau” pada peraturan perundang-undangan ini sebagai contoh diterapkan dalam Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ, yang berbunyi:
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Jadi, dapat diartikan bahwa terhadap orang yang melanggar pasal tersebut, terdapat 2 kemungkinan, yaitu:
dipidana dengan pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda maksimal Rp10 juta; atau
dipidana penjara maksimal 5 tahun atau denda maksimal Rp10 juta.
Pada akhirnya, yang menentukan apakah orang yang melanggar pasal tersebut dijatuhi sanksi pidana salah satu (penjara saja atau denda saja) atau keduanya dijatuhkan bersamaan adalah pertimbangan hakim di persidangan.
A’aan EfendidanDyah Ochtorina Susanti dalam tulisannya Makna dan Problematik Penggunaan Term “dan”, “atau”, “dan/atau”, “kecuali” dan “selain” dalam Undang-Undang, sebagaimana mengutip DoonandanFoster (hal. 400 – 401), menyatakan bahwa masalah utama yang timbul dari penggunaan kata penghubung “dan/atau” adalah bahwa hal itu tidak menunjukkan dengan tepat makna yang dimaksudkan di balik suatu ketentuan, dan hal ini pada akhirnya dapat mengakibatkan ketentuan tersebut ditafsirkan memiliki arti yang lebih luas atau lebih sempit dari yang sebenarnya dimaksudkan.
Sebagai contoh, kasus dalam Putusan MA 2442 K/PID.SUS/2009 mengenai perkara korupsi yang menyangkut penerapan Pasal 3 UU 31/1999. Pasal tersebut menerapkan ketentuan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau”. Singkatnya, hakim pada Mahkamah Agung menjatuhkan pidana penjara 1 tahun dan denda Rp12 juta secara bersamaan (hal. 35). Adapun alasan pidana penjara atas pelanggaran UU 31/1999 itu bersifat imperatif, jadi pengadilan tidak dapat hanya menjatuhkan pidana denda saja.
Kemudian, kasus kedua dalam Putusan MA No. 13 K/PID.SUS/2011 mengenai perkara cukai. Pada putusan sebelumnya (Putusan PN Magetan No. 42/PID.B/2010/PN.Mgt), terdakwa dituntut dengan pidana penjara selama 2 tahun dan pidana denda sebesar Rp1 juta berdasarkan Pasal 54 jo. Pasal 29 ayat (1) UU 39/2007. Pasal tersebut juga menerapkan ketentuan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau”. Akan tetapi, terdakwa pada putusan PT hanya dijatuhi pidana denda sebesar Rp1,3 juta (hal. 2). Pada akhirnya di tingkat kasasi, MA hanya menjatuhkan pidana denda kepada terdakwa dengan alasan pidana denda adalah alternatif dari pidana penjara (hal. 6).
Menurut putusan di atas, adanya dua pertimbangan yang berbeda untuk permasalahan hukum yang sama ini tentunya membuat ketidakpastian mengenai apakah sanksi pidana yang dirumuskan dalam bentuk ”penjara dan/atau denda” bermakna bahwa pidana penjara bersifat imperatif atau alternatif.
Namun pada akhirnya, menurut hemat kami, hakimlah yang mempertimbangkan sesuai dengan jenis pidananya. Untuk kasus korupsi, pidana penjara itu bersifat imperatif. Artinya, terdakwa tidak dapat hanya dijatuhi pidana denda saja, tetapi juga harus dijatuhi bersamaan dengan pidana penjara. Untuk kasus cukai, pidana denda merupakan alternatif dari pidana penjara sehingga hakim dapat menjatuhkan salah satunya saja.
Dengan mengacu pada dua gambaran kasus di atas, maka menurut hemat kami, pelanggaran terhadap UU LLAJ seperti yang Anda tanyakan juga bergantung pada pertimbangan hakim di pengadilan nantinya. Hakimlah yang menilai apakah penerapan pasal mengenai ketentuan pidana yang menggunakan kata penghubung “dan/atau” ini diterapkan secara imperatif atau alternatif.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Buku Praktis Bahasa Indonesia 2, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional, 2007;
A’an Efendi dan Dyah Ochtorina Susanti. Makna dan Problematik Penggunaan Term “dan”, “atau”, “dan/atau”, “kecuali” dan “selain” dalam Undang-Undang. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 17, No. 4, Desember 2020;
KBBI, atau, yang diakses pada 12 September 2024, pukul 10.43 WIB;
KBBI, dan, yang diakses pada 12 September 2024, pukul 10.30 WIB.
[1] A’an Efendi dan Dyah Ochtorina Susanti. Makna dan Problematik Penggunaan Term “dan”, “atau”, “dan/atau”, “kecuali” dan “selain” dalam Undang-Undang. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 17, No. 4, Desember 2020, hal. 400