Hai Admin, bagaimana saya bisa membuktikan kalau anak bekerja di dunia entertainment di bawah usia 15 tahun bukanlah sebuah eksploitasi anak? Karena anak tersebut tidak merasa sedang dieksploitasi, tetapi ia merasa senang.
Sebelumnya kami akan berikan gambaran bahwa dalam dunia entertainment yang Anda sebut, pihak produser yang berperan sebagai pengusaha dan aktris atau aktor yang berperan di dalamnya disebut sebagai pekerja. Oleh karena itu, dalam konteks pertanyaan Anda, yang berperan sebagai pekerja di sini adalah anak. Pada dasarnya, hubungan antara pengusaha dan pekerja sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 15 jo. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) disebut sebagai hubungan kerja.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Memang, pada prinsipnya, pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Hal ini dipertegas dalam Pasal 68 UU Ketenagakerjaan. Namun demikian, ketentuan itu dapat dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Demikian yang disebut dalam Pasal 69 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
Itupun pengusaha yang mempekerjakan anak (pada pekerjaan ringan) tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan yang disebut dalam Pasal 69 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, yaitu:
a.izin tertulis dari orang tua atau wali;
b.perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
c.waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d.dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
e.keselamatan dan kesehatan kerja;
f.adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g.menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Apabila pengusaha (dalam hal ini adalah produser) mempekerjakan anak dan melanggar Pasal 68 dan Pasal 69 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, yang mana termasuk eksploitasi anak secara ekonomi, maka ia dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta [lihat Pasal 185 ayat [1] UU Ketenagakerjaan].
Di samping itu, pengusaha juga dilarang mempekerjakan anak pada pekerjaan-pekerjaan terburuk. Apa pekerjaan-pekerjaan terburuk itu? Untuk menjawabnya, kita mengacu pada Pasal 74 ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan:
(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a.segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya;
b.segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan,atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian;
c.segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau;
d.semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak.
Akan tetapi, jika anak dalam pertanyaan Anda berumur antara 15 s/d 18 tahun, ia sudah dapat dipekerjakan (secara normal/umum). Tetapi tetap tidak boleh dieksploitasi untuk bekerja pada pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan. Penjelasan lebih lanjut mengenai larangan eksploitasi anak untuk bekerja pada pekerjaan yang membahayakan ini dapat Anda simak dalam artikel Bagaimana Penyelesaiannya Jika Dituduh Mempekerjakan Anak?
Mengacu pada poin-poin yang kami sebutkan di atas, menjawab pertanyaan Anda, maka jika memang pengusaha mempekerjakan anak itu pada pekerjaan yang ringan, tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial; memenuhi sejumlah persyaratan dalam Pasal 69 ayat (2) UU Ketenagakerjaan (seperti izin dari orang tua, dsb); dan tidak mempekerjakan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk di dunia entertainment, maka hal tersebut tidak termasuk eksploitasi anak.
Masih berkaitan dengan eksploitasi anak, maka tidak terlepas juga dari instrumen hukum lain, yakni Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU Perlindungan Anak”). Pada dasarnya, setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan, salah satunya adalah perlindungan dari eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual. Demikian antara lain yang diatur dalam Pasal 13 ayat (1) huruf b UU Perlindungan Anak.
Adapun sanksi atas pelanggaran Pasal 76 I diatur dalam Pasal 88 UU 35/2014, yaitu pelanggarnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Ini artinya, pengusaha maupun orang tua yang mempekerjakan anak di dunia entertainment dengan tujuan untuk dieksploitasi secara ekonomi diancam pidana sesuai Pasal 88 UU 35/2014.
Contoh kasus (yang masih menggunakan pengaturan dalam UU Perlindungan Anak) dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Kediri Nomor 118/Pid. B / 2012 / PN. Kdr.Terdakwa disuruh mencari calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) untuk dipekerjakan di Malaysia oleh saksi. Walaupun terdakwa tidak dapat mencarikan, namun terdakwa telah menampung saksi korban di rumahnya kemudian terdakwa menyuruh seseorang untuk mengantarkan saksi korban itu ke bandara. Usia korban yang dipekerjakan masih tergolong anak-anak. Akibat perbuatan terdakwa tersebut para saksi mengalami eksploitasi ekonomi karena dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga tanpa mendapatkan upah. Terdakwa juga mengakui telah mendapat keuntungan karena melakukan perbuatan itu.
Atas perbuatannya itu, hakim menyatakan perbuatan terdakwa memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 88 UU Perlindungan Anak dan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “secara bersama-sama melakukan eksploitasi ekonomi terhadap seorang anak”.