Apakah peraturan gubernur dapat diajukan uji materiil? Bagaimana langkah-langkahnya dan adakah contoh putusan dari uji materiil peraturan gubernur?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Peraturan gubernur merupakan jenis peraturan perundang-undangan yang hierarkinya berada di bawah peraturan daerah provinsi yang ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011. Lantas dapatkah peraturan gubernur diajukan permohonan uji materiil?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Uji Materiil Peraturan Gubernur yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 20 Juni 2013.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Hak Uji Materiil
Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, kami jelaskan terlebih dahulu hakikat pengujian materiil peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Uji materiil secara sederhana memiliki arti pengujian terhadap materi peraturan, sehingga Jimly Asshiddiqqie membenarkan penyebutan uji materiil sebagai pengujian peraturan sebagai produk (by product).[1] Sejalan dengan hal tersebut, Sri Soemantri menjelaskan hak uji materiil (materiele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.[2] Berdasarkan pengertian ini, pada dasarnya uji materiil berkaitan dengan proses menilai substansi suatu peraturan serta hubungan dengan peraturan yang lebih tinggi.
Pelaksanaan hak menguji (toetsingsrecht) ini secara teoritis dapat dijalankan oleh lembaga/badan tertentu, yang kemudian menentukan penyebutan istilahnya. Apabila pengujian itu dilaksanakan oleh badan peradilan disebut judicial review, sedangkan jika dilakukan oleh badan legislatif disebut legislative review. Adapun apabila dilakukan oleh badan pemerintah disebut executive review. Walaupun begitu, pandangan tersebut harus ditempatkan apakah dalam rangka “menguji” atau “mengevaluasi”.[3]
Akan tetapi, dalam artikel ini kami akan memfokuskan pada pengujian materiil yang dilaksanakan oleh badan peradilan (judicial review).
Peraturan Gubernur sebagai Objek Uji Materiil
Sistem judicial review di Indonesia memberikan wewenang pengujian peraturan perundang-undangan kepada dua badan peradilan yang berbeda, yakni:
Mahkamah Agung (“MA”) sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945berwenang menguji peraturan perundangundangan di bawah undangundang terhadap undangundang.
Mahkamah Konstitusi (“MK”) sebagaimana ditetapkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UUD 1945.
Adapun peraturan gubernur merupakan salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang kedudukan atau hierarkinya berada di bawah peraturan daerah provinsi. Posisi peraturan gubernur memang tidak disebut secara eksplisit dalam Pasal 7 ayat (1)UU 12/2011, akan tetapi eksistensi peraturan gubernur yang diakui sebagai peraturan perundang-undangan justru ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011.
Dengan demikian, peraturan gubernur dapat menjadi objek uji materiil di MA karena merupakan jenis peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Berikut ini langkah-langkah pengajuan uji materiil peraturan gubernur di MA. Secara singkatnya, kami rangkum sebagai berikut.[4]
Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada MA dan dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
Permohonan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
perorangan warga negara Indonesia;
kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
badan hukum publik atau badan hukum privat.
Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
nama dan alamat pemohon;
uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa:
materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku;
hal-hal yang diminta untuk diputus.
Permohonan pengujian dilakukan oleh MA paling lama 14 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan.
Dalam hal permohonan tidak memenuhi syarat, amar putusan MA menyatakan permohonan tidak diterima.
Jika permohonan beralasan, amar putusan MA menyatakan permohonan dikabulkan dan menyatakan dengan tegas materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
MA kemudian dalam putusannya menyatakan peraturan perundang-undangan tersebut tidak sah atau tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera pencabutannya.[5]
Sedangkan jika peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau tidak bertentangan dalam pembentukannya, amar putusan menyatakan permohonan ditolak.
Putusan MA dimuat dalam Berita Negara paling lama 30 hari kerja terhitung sejak tanggal putusan dibacakan serta dikirimkan salinannya kepada para pihak.[6]
Dalam hal 90 hari setelah putusan MA dikirimkan kepada badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.[7]
Dalam amar putusan dinyatakan bahwa Pasal 1 ayat (1) dan (2) Pergub DKI Jakarta 195/2014 jo. Pasal 3 ayat (1) dan (2) Pergub DKI Jakarta 141/2015 bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 133 ayat (1) UU LLAJ, Pasal 11 UU HAM serta Pasal 5 dan 6 UU 12/2011(hal. 26-27).
Akibatnya, pasal yang dinyatakan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat (hal. 26-27).
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.