Logo hukumonline
KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kepala Desa Gemar Berbuat Zina, Ini Sanksi Hukumnya

Share
Pidana

Kepala Desa Gemar Berbuat Zina, Ini Sanksi Hukumnya

Kepala Desa Gemar Berbuat Zina, Ini Sanksi Hukumnya
Muhammad Raihan Nugraha, S.H.Si Pokrol

Bacaan 11 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Apakah kepala desa bisa diberhentikan karena perilakunya yang gemar meniduri beberapa perempuan yang sudah bersuami yang juga warganya sendiri?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Kepala desa diberhentikan apabila memenuhi alasan tertentu sebagaimana ditentukan dalam Permendagri 82/2015 yang telah diperbaharui dengan Permendagri 66/2017. Alasan tersebut di antaranya, jika melanggar larangan bagi kepala desa atau tidak melaksanakan kewajibannya. Lalu, apakah meniduri perempuan yang telah bersuami dapat dijadikan alasan lain untuk memberhentikan seorang kepala desa?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pemberhentian Kades yang Gemar Berbuat Zina, yang dibuat oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada 28 November 2019.

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Pemberhentian Kepala Desa 

    Pada dasarnya, kepala desa adalah pejabat pemerintah desa yang mempunyai wewenang, tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga desanya dan melaksanakan tugas dari pemerintah dan pemerintah daerah.[1]

    Berkaitan dengan pertanyaan Anda, pengangkatan dan pemberhentian kepala desa diatur dalam Permendagri 82/2015 sebagaimana diperbaharui dengan Permendagri 66/2017.

    Pemberhentian kepala desa dapat terjadi dengan berbagai alasan, yaitu:[2]

    1. meninggal dunia;
    2. permintaan sendiri; atau
    3. diberhentikan.

    Lebih lanjut dijelaskan bahwa kepala desa dapat diberhentikan, karena:[3]

    1. berakhir masa jabatannya;
    2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan karena menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya;
    3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala desa;
    4. melanggar larangan sebagai kepala desa;
    5. adanya perubahan status desa menjadi kelurahan, penggabungan 2 desa atau lebih menjadi 1 desa baru, atau penghapusan desa;
    6. tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala desa; dan/atau
    7. dinyatakan sebagai terpidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

    Selain itu, kepala desa juga dapat diberhentikan sementara oleh bupati/walikota, karena:[4]

    1. tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala desa;
    2. melanggar larangan sebagai kepala desa;
    3. dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan register perkara di pengadilan; dan
    4. ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, teroris, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.

    Selanjutnya, Badan Permusyawaratan Desa melaporkan kepada bupati/walikota melalui camat atau sebutan lain, jika kepala desa berhenti.[5] Laporan tersebut memuat materi kasus yang dialami oleh kepala desa yang bersangkutan dan kemudian bupati/walikota melakukan kajian untuk proses selanjutnya atas laporan tersebut.[6]

    Lebih lanjut, pengesahan pemberhentian kepala desa ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota yang disampaikan kepada kepala desa yang bersangkutan dan para pejabat terkait pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.[7]

    Kewajiban dan Larangan bagi Kepala Desa

    Adapun dalam Pasal 26 ayat (4) huruf c, d, dan n UU 3/2024, kepala desa dalam melaksanakan tugas, berkewajiban untuk:

    • memelihara ketentraman masyarakat desa;
    • menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan;
    • membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat desa.

    Selain itu, dalam Pasal 29 huruf c dan e UU Desa, kepala desa dilarang untuk:

    • menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
    • melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa.

    Selengkapnya mengenai wewenang, hak, dan kewajiban kepala desa dapat Anda temukan dalam Pasal 26 UU 3/2024. Sedangkan untuk larangan bagi kepala desa dapat Anda temukan dalam Pasal 29 UU Desa.

    Baca juga: Bolehkah Jadi Calon Kepala Desa Jika Pernah Dipidana?

    Tindak Pidana Perzinaan

    Perbuatan yang dilakukan oleh kepala desa sebagaimana Anda terangkan, menurut hemat kami, dapat dipandang sebagai perzinaan atau perkosaan. Hal ini tergantung bagaimana perbuatan itu dilakukan.

    Dalam hal kepala desa berzina, perbuatan zina diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP lama dan Pasal 411 ayat (1) UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[8] yakni pada tahun 2026, yang selengkapnya berbunyi:

    Pasal 284 ayat (1) KUHPPasal 411 ayat (1) UU 1/2023

    Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:

      1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

    b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa Pasal 27 BW berlaku baginya.

      1. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;

    b. seorang wanita yang telah kawin serta turut melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan Pasal 27 BW berlaku baginya.

     

    Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu sebesar Rp10 juta.[9]

    R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menggunakan istilah ‘zina’ untuk menerangkan gendak (hal. 208 – 209).

    R. Soesilo menjelaskan bahwa zina merupakan persetubuhan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka dan tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak (hal. 209).

    Selain itu, delik perzinaan adalah delik aduan absolut, sehingga tidak dapat dituntut jika tidak ada pengaduan dari suami/istri yang dirugikan. R. Soesilo juga menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah. Misalnya, apabila laki-laki (A) mengadukan bahwa istrinya (B) telah berzina dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai yang melakukan perzinaan dan C sebagai yang turut melakukan perzinaan, kedua-duanya harus dituntut.[10] Ketentuan mengenai delik absolut tersebut diatur dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP dan Pasal 411 ayat (2) UU 1/2023.

    Penjelasan selengkapnya mengenai pasal perzinaan dan unsur-unsurnya dapat Anda baca dalam Bunyi Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan.

    Baca juga: Apakah Delik Aduan Bisa Dicabut Kembali?

    Tindak Pidana Perkosaan

    Mengenai tindak pidana perkosaan, merujuk pada Pasal 285 KUHP dan Pasal 473 UU 1/2023, yang berbunyi:

    Pasal 285 KUHPPasal 473 ayat (1) UU 1/2023
    Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya, dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.

    Menurut P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, tindak pidana perkosaan yang diatur dalam Pasal 285 KUHP memiliki unsur-unsur sebagai berikut:[11]

    1. barangsiapa;
    2. dengan kekerasan atau dengan ancaman akan memakai kekerasan;
    3. memaksa;
    4. seorang wanita (perempuan);
    5. mengadakan hubungan kelamin di luar perkawinan;
    6. dengan dirinya.

    Kemudian, R. Soesilo menjelaskan bahwa yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia (hal. 210).

    Namun, untuk tindak pidana perkosaan berlaku delik biasa dan bukan delik aduan seperti tindak pidana perzinaan sebagaimana diterangkan dalam artikel Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan.

    Baca juga: Masa Daluwarsa Menuntut Pelaku Tindak Pidana Pemerkosaan

    Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada UU TPKS

    Selain dapat dijerat dengan tindak pidana perzinaan dan perkosaan dalam KUHP dan UU 1/2023, perbuatan yang dilakukan oleh kepala desa tersebut juga berpotensi dijerat pasal tindak pidana kekerasan seksual, yaitu Pasal 6 huruf c UU TPKS sebagai berikut:

    Setiap orang yang menyalahgunakan kedudukan, wewenang, kepercayaan, atau perbawa yang timbul dari tipu muslihat atau hubungan keadaan atau memanfaatkan kerentanan, ketidaksetaraan atau ketergantungan seseorang, memaksa atau dengan penyesatan menggerakkan orang itu untuk melakukan atau membiarkan dilakukan persetubuhan atau perbuatan cabul dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp300 juta.

    Berdasarkan uraian di atas, kami berpendapat bahwa kepala desa berpotensi diberhentikan jika melakukan tindak pidana, secara khusus perkosaan dalam KUHP atau UU 1/2023, atau tindak pidana kekerasan seksual karena menyalahgunakan kedudukan dan wewenang dalam UU TPKS.

    Hal ini dikarenakan ancaman pidana penjara untuk perzinaan dalam KUHP paling lama hanya 9 bulan, dan dalam UU 1/2023 paling lama 1 tahun. Sedangkan perkosaan dalam KUHP atau UU 1/2023 dan kekerasan seksual dalam UU TPKS ancaman pidana penjaranya paling lama 12 tahun. Sebagaimana telah kami jelaskan, untuk diberhentikan karena tindak pidana, kepala desa harus dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

    Lalu sebagai informasi, dalam praktiknya penyidik dapat mengenakan pasal berlapis terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur perkosaan dan kekerasan seksual sebagaimana diatur dalam KUHP atau UU 1/2023, serta UU TPKS. Artinya, jika unsur-unsur tindak pidananya terpenuhi, penyidik dapat menggunakan pasal-pasal tersebut.

    Selanjutnya, Anda tidak menerangkan mengenai modus yang digunakan oleh kepala desa dalam melakukan perbuatannya. Oleh karena itu, kami asumsikan ia memanfaatkan jabatannya sebagai kepala desa untuk bersetubuh dengan perempuan di desanya.

    Maka dari itu, kepala desa juga dapat memenuhi alasan pemberhentian lain, yaitu pelanggaran larangan mengenai menyalahgunakan wewenangnya dan/atau melakukan perbuatan yang meresahkan masyarakat desa, karena kerap kali berbuat zina dan/atau memaksa berhubungan badan dengan para istri dari warganya.

    Alasan pemberhentian lain, yaitu kepala desa tidak melaksanakan kewajibannya dengan berselingkuh dan bersetubuh dengan perempuan bersuami, sehingga, menurut hemat kami, dapat dipandang sebagai perbuatan yang tidak memelihara ketentraman dan ketertiban serta membina nilai sosial budaya masyarakat. Perbuatan tersebut juga bertentangan dengan kewajibannya untuk menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa;
    3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual;
    4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    5. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
    6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa yang diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa.

    Referensi:

    1. P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang. Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan. Jakarta: SInar Grafika, 2009;
    2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Sukabumi: Politeia, 1991.

    [1] Pasal 1 angka 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa (“Permendagri 66/2017”)

    [2] Pasal 8 ayat (1) Permendagri 66/2017

    [3] Pasal 8 ayat (2) Permendagri 66/2017

    [4] Pasal 9 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa (“Permendagri 82/2015”)

    [5] Pasal 8 ayat (3) jo. Pasal 8 ayat (1) Permendagri 66/2017

    [6] Pasal 8 ayat (4) dan (5) Permendagri 66/2017

    [7] Pasal 10 Permendagri 82/2015

    [8] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [9] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023

    [10] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991, hal. 209

    [11]  P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang. Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan & Norma Kepatutan. Jakarta: SInar Grafika, 2009, hal. 97

    TAGS

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua