Jual Beli Organ Tubuh Manusia di Dunia Maya
PERTANYAAN
Adakah dasar hukum perbuatan penjualan organ tubuh dalam dunia maya?
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Adakah dasar hukum perbuatan penjualan organ tubuh dalam dunia maya?
Perbuatan penjualan organ tubuh merupakan sesuatu hal yang dilarang berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Pasal 192 jo Pasal 64 ayat (3) UU 36/2009 menyatakan :
“Setiap orang yang dengan sengaja memperjualbelikan organ atau jaringan tubuh dengan dalih apa pun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”
Penjelasan mengenai hal tersebut pernah dibahas oleh hukumonline dan bisa dilihat pada artikel Jual Beli Organ Tubuh Manusia menurut Hukum Indonesia.
Bagaimana jika perbuatan tersebut dilakukan di dunia siber?
Hukum yang berlaku terhadap tindak pidana yang dilakukan di dunia siber pada prinsipnya adalah sama dengan perbuatan secara faktual/nyata. Pembedanya hanya pada sarananya yakni melalui jaringan internet, sehingga dalam pembuktian kasus tersebut, bukti elektronik atau bukti digital yang diperoleh akan diakui sebagai bukti yang sah sesuai UU ITE.
Pengaturan mengenai tindak pidana siber dapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”), namun UU ITE tidak secara khusus mengatur mengenai tindak pidana pidana penjualan organ tubuh melalui layanan internet. Meskipun pada praktiknya aparat penegak hukum dapat saja mengenakan pasal-pasal berlapis atau dakwaan kumulatif terhadap suatu tindak pidana yang memenuhi unsur-unsur tambahan dalam tindak pidana UU Kesehatan tersebut. Dalam hal ini, kami belum menemukan secara spesifik pasal dalam UU ITE yang dapat dikenakan bagi pelaku penjual organ melalui layanan internet.
Adapun unsur yang perlu menjadi pertimbangan, yakni:
a. Alat Bukti Elektronik
Bukti elektronik telah diakui sebagai alat bukti yang sah menurut UU ITE. Penjelasan mengenai alat bukti elektronik bisa dilihat pada artikel syarat dan kekuatan hukum alat bukti elektronik. Lalu, pertanyaannya apakah “organ tubuh” yang tertera dalam tampilan laman internet termasuk kategori informasi dan/atau dokumen elektronik menurut UU ITE?
Jawabannya iya, apabila organ tubuh tersebut tidak diartikan sebagai bentuk fisik, tetapi dimaknai sebagai informasi yang dimuat dalam bentuk elektronik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “Dokumen Elektronik” ialah data atau kumpulan data dalam berbagai bentuk elektronik, sedangkan data dari bentuk tersebut ialah isi muatan informasinya. Sebagai contoh dalam kasus tersebut misalnya bukti berupa “file” dalam bentuk *.Jpg yang berisi gambar organ tubuh manusia (hati, ginjal, dsb) atau konten “teks” yang berisi tawaran penjualan organ tubuh manusia.
Pasal 192 jo Pasal 64 ayat (3) UU Kesehatan tidak menentukan cara untuk terjadinya perbuatan memperjualbelikan suatu organ tubuh, artinya unsur perbuatan “memperjualbelikan” menjadi terpenuhi meskipun dilakukan dengan cara apapun.
Penggunaan suatu media elektronik sebagai alat untuk transaksi jual beli dapat digunakan sebagai alat bukti dari suatu peristiwa/perbuatan pidana. Dengan kata lain, untuk tercapainya pembuktian suatu alat bukti elektronik harus dikaitkan dengan perbuatan yang dilakukan secara elektronik pula.
Adapun perbuatan tersebut dapat berupa:
Sayangnya kami tidak mendapat penjelasan media elektronik apa yang digunakan. Namun sedikitnya itulah beberapa contoh perbuatan tersebut.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?