Logo hukumonline
KlinikBerita
New
Hukumonline Stream
Data PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Haruskah the Living Law Diatur dalam Peraturan Daerah?

Share
Pidana

Haruskah the Living Law Diatur dalam Peraturan Daerah?

Haruskah <i>the Living Law</i> Diatur dalam Peraturan Daerah?
Prof. Dr. Ali Masyhar Mursyid, S.H., M.H. Seleb Jurist

Bacaan 9 Menit

Article Klinik

PERTANYAAN

Saya ingin menanyakan terkait ketentuan Pasal 2 UU 1/2023 tentang KUHP baru dan penjelasannya.

  1. Benarkah dalam ketentuan tersebut berarti mewajibkan hukum yang hidup dalam masyarakat tertentu (hukum adat/tindak pidana adat) harus diatur dalam peraturan daerah (perda) setempat? Bahkan dalam ayat (3) pun disebutkan akan ada peraturan pemerintah yang mengatur kriterianya.
  2. Jika benar harus diwujudkan dalam bentuk peraturan, seberapa perlukah negara turut campur memformalisasi penetapan the living law ke dalam perda?

Daftar Isi

    INTISARI JAWABAN

    Benar, untuk bisa menjadi dasar dalam menjatuhkan pidana, hukum adat dalam KUHP baru (UU 1/2023) yang disebut sebagai hukum yang hidup di masyarakat harus dirumuskan dalam peraturan daerah yang mana harus mengikuti panduan dalam peraturan pemerintah.

    Lantas, apakah negara perlu turut campur dapat memformulasikan the living law ke dalam bentuk hukum tertulis?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    KLINIK TERKAIT

    Bolehkah Paralegal Memberikan Bantuan Hukum Secara Litigasi di Pengadilan?

    03 Jun, 2024

    Bolehkah Paralegal Memberikan Bantuan Hukum Secara Litigasi di Pengadilan?

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

     

    Alasan Perubahan KUHP Kolonial ke KUHP Nasional

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Lahirnya UU 1/2023 merupakan karya agung bangsa Indonesia dalam bidang hukum pidana untuk keluar dari rezim hukum kolonial yakni KUHP (Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (“WvS”)) atau KUHP kolonial. Dengan adanya UU 1/2023 ini berarti induk hukum pidana Indonesia beralih dari induk kolonial kepada induk hukum pidana Keindonesiaan.

    Patut Anda pahami, setidaknya ada enam alasan perlunya perubahan KUHP kolonial dari WvS yaitu UU 1/1946 jo. UU 73/1958 kepada KUHP baru yaitu:

    1. Alasan Politis[1]

    Secara politis, Indonesia adalah negara merdeka. Jadi sewajarnya jika tidak lagi terikat dengan negara manapun, termasuk instrumen berhukum.

    1. Alasan Sosiologis

    Secara sosiologis masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki struktur dan kultur yang sangat berbeda dengan masyarakat Belanda. Hal ini tentu mempengaruhi kultur berhukumnya.

    1. Alasan Filosofis

    Secara filosofis, kebangsaan antara Indonesia dan Belanda juga berbeda. Indonesia disinari nilai-nilai filosofis Pancasila, yang komunal-religius. Sedangkan nilai-nilai yang terkandung dalam KUHP (Wvs) adalah nilai-nilai liberal dan sekuler.

    1. Alasan Praktis

    Mengingat bahwa teks resmi WvS adalah bahasa Belanda, maka dapat dihitung berapa jumlah penegak hukum yang memahami bahasa asing tersebut. Sehingga tidak mustahil kemungkinan terjadi penafsiran menyimpang dari teks aslinya karena terjemahan yang kurang tepat.

    1. Alasan Adaptif[2]

    KUHP WvS secara historis dibuat pada abad ke-19 yang tentu sudah sangat ketinggalan dengan fakta sosial yang akan diaturnya. Dari sini lah perlu KUHP yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, khususnya perkembangan masyarakat internasional yang sudah disepakati oleh masyarakat beradab.

    1. Alasan Sistematis[3]

    Hukum suatu negara adalah bangunan yang terangkai dalam suatu sistem hukum. Dalam struktur hukum, seluruh aturan hukum harus selaras antara gradasi hukum tertinggi sampai gradasi terendah. Adalah suatu yang tidak mungkin terbina satu sistem hukum ideal, apabila struktur undang-undang di bawah, justru bertentangan atau tidak selaras dengan yang di atasnya. KUHP (Wvs) adalah struktur hukum di bawah yang seharusnya selaras dengan nilai tertinggi (pandangan filosofi bangsa/grund norm), dalam hal ini Pancasila.

     

    Dengan bersandar pada alasan-alasan tersebut di atas, ada lima misi yang diemban oleh KUHP baru (UU 1/2023) yaitu:[4]

    1. Demokratisasi

    KUHP baru memiliki misi untuk mengatur berbagai kebebasan berdemokrasi, kebebasan mengeluarkan pikiran baik lisan maupun tulisan, kebebasan berbicara dan kebebasan berekspresi, bukan melarangnya.

    1. Dekolonisasi

    KUHP bermaksud untuk memperbarui dan menghilangkan aroma atau nuansa kolonial.

    1. Konsolidasi

    Pertumbuhan hukum atau perundang-undangan di luar KUHP perlu dikonsolidasi dalam satu payung induk yaitu KUHP nasional.

    1. Harmonisasi

    Menyelaraskan undang-undang yang tumbuh dan berkembang di luar KUHP, dengan induk hukum pidananya yaitu KUHP.

    1. Modernisasi

    KUHP baru dimaksudkan untuk menjawab dan menampung perkembangan zaman yang sedemikian berkembang pesat.

     

    Formalisasi the Living Law ke dalam Peraturan Daerah

    Berdasar pada latar belakang tersebut, sumber hukum pidana tidak lagi tunggal yakni tertulis. Sumber hukum pidana pada KUHP baru tidak hanya bersandar pada aturan-aturan formal tertulis, namun juga mengakui hukum tidak tertulis atau dalam hal ini hukum pidana adat ataupun hukum yang hidup di masyarakat (the living law). 

    Adapun dasar hukum berlakunya hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup di masyarakat dalam UU 1/2023 adalah Pasal 2 ayat (1) dan (2) yang berbunyi selengkapnya sebagai berikut:

    1.  
    2. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)[5] tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
    3. Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat bangsa-bangsa.

    Kemudian yang menjadi pertanyaan selanjutnya, apakah substansi norma hukum yang hidup atau the living law harus dirumuskan dalam ketentuan tertulis? Untuk mengetahui jawaban lebih lanjut marilah kita telusuri lebih lanjut.

    Pada rumusan Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU 1/2023 tersebut di atas tidak ada perintah bahwa hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law) harus diwujudkan dalam bentuk tertulis. Namun, pada ayat selanjutnya terdapat amanat “implisit” yang mewajibkan adanya rumusan tertulis dari norma hukum yang hidup atau the living law, sebagai berikut:

    Pasal 2 ayat (3) UU 1/2023

    1. Ketentuan mengenai tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

    Berdasarkan ayat di atas, maka harus ada tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup di masyarakat agar the living law dapat diterapkan menjadi dasar hukum. Tata cara dan kriteria penetapan hukum tersebut diamanatkan oleh KUHP baru dalam bentuk peraturan pemerintah. Jadi, melalui peraturan pemerintah yang akan mengatur lebih lanjut mengenai rambu-rambu formalisasi the living law. Sampai sini, mulai tersirat formalisasi hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law).

    Lebih lanjut, amanat formalisasi hukum yang hidup di masyarakat (the living law) secara tegas disebutkan dalam penjelasan Pasal 2 ayat (3) UU 1/2023 bahwa peraturan pemerintah dalam ketentuan ini merupakan pedoman bagi daerah dalam menetapkan hukum yang hidup dalam masyarakat dalam peraturan daerah.

    Dengan demikian, tersirat makna agar hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law) dapat dipakai sebagai dasar untuk menjatuhkan pidana (termasuk untuk menghapus pidana) wajib dirumuskan dalam peraturan daerah di mana hukum itu berlaku.

    Kembali ke pertanyaan, sebelum membahas mengenai seberapa jauh negara perlu mengatur formalisasi the living law, perlu dipahami apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law). Hukum yang hidup dalam masyarakat adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Hukum ini berkaitan dengan hukum tidak tertulis yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Oleh karenanya, untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat, dibentuklah peraturan daerah yang mengatur mengenai tindak pidana adat tersebut.

    Selain tercantum dalam rumusan Pasal 2 UU 1/2023, ketentuan the living law juga dicantumkan dalam Pasal 597 ayat (1) UU 1/2023:

    Setiap Orang yang melakukan perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang, diancam dengan pidana.

    Sekarang kita masuk pada pembahasan peran negara dalam formalisasi hukum yang hidup di dalam masyarakat (the living law). Jika dilihat dari makna asli the living law, untuk dapat memberlakukan the living law tidak perlu ada campur tangan negara untuk memformulasikan ke dalam bentuk tertulis. Bahkan jika meminjam kata-kata yang masyhur dari Carl Friedrich von Savigny, “Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke,” bahwa hukum tidak dapat dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama masyarakat.[6] Artinya, tidak memerlukan formalisasi dalam bentuk tertulis.

    Penulis juga berpandangan bahwa negara tidak harus merumuskan atau memformulasi the living law secara ekstrim atau ketat. Namun demikian, kehadiran negara untuk formulasi the living law secara ‘lentur’ dapat diterima, atau singkatnya sekedar memberikan ‘guidance umum’  terkait perbuatan-perbuatan tertentu yang dapat dipidana.

    Dengan memakai konsep reinstitutionalization of norms dari Paul Bohannan[7], formulasi secara lentur hukum yang hidup di masyarakat (the living law) merupakan pelembagaan kembali norma-norma (reinstitutionalization of norms). Sebagai bentuk upaya menjaga agar the living law tetap hidup dan berkembang di dalam masyarakat. Apabila konsep ini dapat diterima, maka demikian kehadiran negara untuk memformulasikan hukum yang hidup tersebut dapat dipahami.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana;
    3. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Undang-Undang Hukum Pidana;
    4. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

     

    Referensi:

    1. Ali Masyhar, Hukum Pidana: Kajian Berdasar UU No. 1 Tahun 2024, Semarang: UNNES Press, 2024;
    2. Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of Law and Society, Oxford University Press, 2001;
    3. Eddy O.S Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: Edisi Penyesuaian KUHP Nasional, Depok: Rajawali Pers;
    4. Paul J. Bohannan, Law and Legal Institution, dalam T.O. Ihromi (Penyunting), Antropologi dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993;
    5. Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1977;
    6. Widodo Dwi Putro, Filsafat Hukum, Edisi Kedua, Jakarta: Prenada Media, 2024;
    7. Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, 1990.

    [1] Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1977, hal. 70-72

    [2] Muladi, Proyeksi Hukum Pidana Materiil Indonesia di Masa Datang, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar, 1990, hal. 3

    [3] Ali Masyhar, Hukum Pidana: Kajian Berdasar UU No. 1 Tahun 2024, Semarang: UNNES Press, 2024, hal. 26

    [4] Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana: Edisi Penyesuaian KUHP Nasional, Depok: Rajawali Pers, hal. 55-58

    [5] Asas Legalitas Formil

    [6] Brian Z. Tamanaha, A General Jurisprudence of law and Society, Oxford University Press, 2001, hal. 29

    [7] Paul J. Bohannan, Law and Legal Institution, dalam T.O. Ihromi, (Penyunting), Antropologi dan Hukum, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993, hal. 54-64

    TAGS

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    KLINIK TERBARU

    Lihat Semua