Santet diatur dalam pasal berapa? Apakah santet merupakan tindak pidana? Pasal 252 KUHP baru tentang apa?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, tindak pidana yang berkaitan dengan santet diatur dalam Pasal 252. Adapun pelaku yang melanggar Pasal 252 UU 1/2023 berpotensi dipidana penjara paling lama 1 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp200 juta. Bagaimana bunyi dasar hukum selengkapnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihatPernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung denganKonsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pengertian Santet
Pengertian santet menurut KBBI adalah sihir. Santet juga dapat diartikan sebagai masuknya benda-benda atau sesuatu ke tubuh orang lain secara gaib dengan tujuan merusak kesejahteraan orang lain, atau untuk menyakiti.[1]
Kemudian, menurut Ronny Nitibaskara, santet atau tenung termasuk dalam sorcery (ilmu tenung) atau witchcraft (ilmu sihir) dimana keduanya termasuk dalam ilmu hitam. Tenung maupun sihir dikatakan ilmu hitam karena motif, ataupun tujuan penggunaannya yang pada umumnya memiliki sifat menyakiti dan merugikan. Lalu, santet juga merupakan teori bahwa benda dengan molekul padat seperti paku atau berbagai hal lain bisa diubah menjadi bentuk energi yang tidak kelihatan (dematerialisasi) untuk kemudian diubah lagi menjadi benda padat setelah terkirim atau sampai pada seseorang yang dituju.[2]
Lantas, apakah santet merupakan tindak pidana? Jika ya, santet diatur dalam pasal berapa?
Bunyi Pasal 252 UU 1/2023
Berdasarkan penelusuran kami, hingga diundangkannya UU 1/2023 tentang KUHP baru yang baru berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[3] yaitu tahun 2026, terdapat kekosongan hukum tindak pidana yang berkaitan dengan santet. Namun, dengan diundangkannya ketentuan tindak pidana yang berkaitan dengan santet dalam KUHP baru, maka kekosongan hukum tersebut telah diakomodir. Adapun pasal tentang santet diatur dalam Pasal 252 UU 1/2023 sebagai berikut:
Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 6 Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV, yaitu Rp200 juta.[4]
Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah 1/3.
Unsur Pasal 252 UU 1/2023
Berdasarkan bunyi Pasal 252 ayat (1) UU 1/2023, unsur-unsur pasal tersebut adalah:
setiap orang (pelaku santet);
yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain;
karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang.
Penjelasan Pasal 252 UU 1/2023 tentang Pasal Santet
Selanjutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 252 ayat (1) UU 1/2023, ketentuan Pasal 252 UU 1/2023 dimaksudkan untuk mencegah praktik main hakim sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib dan mampu melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan penderitaan bagi orang lain.
Lalu, disarikan dari artikel Pasal Santet dalam KUHP Baru dan Pembuktiannya, delik yang diatur dalam Pasal 252 UU 1/2023 ini merupakan delik formil, yaitu delik yang perumusannya menitikberatkan pada perbuatan (handeling), tanpa mensyaratkan terjadinya akibat dari perbuatan tersebut. Delik selesai dengan dilakukannya perbuatan dan tidak menunggu timbulnya akibat.[5] Dalam delik formil, akibat (suatu perbuatan) bukan merupakan syarat selesainya delik.[6]