Apabila seseorang mengalami kerugian materiil akibat kecelakaan kapal, ke mana klaim harus diajukan? Apakah ke Mahkamah Pelayaran? Apa tugas dan wewenang Mahkamah Pelayaran dalam hal terjadi kecelakaan kapal?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Peristiwa kecelakaan kapal khususnya tubrukan kapal sering diikuti adanya kerugian materiil yaitu kerugian atas barang muatan kapal yang ikut rusak, hilang, dan/atau tenggelam. Lantas, jika timbul kerugian, bisakah pihak yang dirugikan mengajukan ganti kerugian ke Mahkamah Pelayaran?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Wewenang Mahkamah Pelayaran Terhadap Kecelakaan Kapal
Kecelakaan kapal sebagaimana diatur pada Pasal 245 UU 17/2008 merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia. Berdasarkan ketentuan tersebut, kecelakaan kapal dapat berupa kapal tenggelam, kapal terbakar, kapal tubrukan, dan kapal kandas.
Peristiwa kecelakaan kapal khususnya tubrukan kapal sering diikuti adanya kerugian materiil yaitu kerugian atas barang muatan kapal yang ikut rusak, hilang, dan/atau tenggelam. Dalam hal terjadi kecelakaan kapal di Indonesia, Mahkamah Pelayaran berwenang melakukan pemeriksaan lanjutan atas kecelakaan kapal dan menegakkan kode etik profesi dan kompetensi nakhoda dan/atau perwira kapal, setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh syahbandar sebagaimana diatur pada Pasal 251 UU 17/2008.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Secara umum, Mahkamah Pelayaran memiliki tugas untuk meneliti penyebab kecelakaan kapal dan memberikan sanksi administratif terhadap nakhoda dan perwira kapal atas kesalahan atau kelalaian yang terjadi dalam kecelakaan kapal. Dengan demikian, kewenangan Mahkamah Pelayaran tidak termasuk penanganan klaim kerugian dari salah satu pihak.
Kedudukan Mahkamah Pelayaran yang tidak berada dalam lingkungan peradilan umum membuatnya tidak memiliki yurisdiksi untuk memutus perkara yang berkaitan dengan aspek keperdataan. Berbeda dengan yurisdiksi dan kompetensi pengadilan maritim atau admiralty court yang ada di beberapa negara seperti di Inggris dan Amerika Serikat, pengadilan maritim menangani hampir seluruh permasalahan di bidang maritim, termasuk sengketa mengenai muatan kapal hingga pembelaan pemilik kapal untuk membatasi tanggung jawab (liability) yang harus dibayar. Oleh karena itu, pengajuan klaim atas kerugian barang muatan kapal bukanlah bagian dari kewenangan Mahkamah Pelayaran untuk mengadili.
Selain itu Mahkamah Pelayaran hanya berwenang untuk memberikan sanksi sebatas sanksi administratif seperti pemberian peringatan, pembekuan, atau pencabutan sementara sertifikasi keahlian pelaut.
Oleh karena permasalahan mengenai ganti kerugian tidak termasuk ke dalam kewenangan Mahkamah Pelayaran, maka pihak-pihak yang dirugikan secara materiil atas kecelakaan kapal dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan negeri setempat.
Berdasarkan Pasal 535 s.d. 537 KUHD, ketika terjadi kecelakaan kapal, khususnya tubrukan kapal, tanggung jawab perdata lebih dibebankan kepada perusahaan pengangkut.Diatur pula bahwa perimbangan kesalahan tersebut haruslah ditetapkan oleh hakim tanpa ditunjukkan oleh orang yang menuntut ganti rugi. Adapun hakim sebagaimana dimaksud pada Pasal 537 KUHD merujuk pada hakim pada suatu peradilan umum. Hal ini diatur pada Pasal 543 KUHD bahwa dalam hal terjadi tubrukan kapal yang menyebabkan kerugian materiil bagi salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan haruslah mengajukangugatan atas kerugian yang dialami melalui pengadilan negeri, sehingga dalam hal ini keputusan Mahkamah Pelayaran tidak dapat secara serta-merta dijadikan dasar penentuan ganti rugi.
Namun demikian, apabila terdapat gugatan dari pihak yang dirugikan, keputusan Mahkamah Pelayaran dapat dijadikan salah satu alat bukti tertulis berupa surat yang diatur pada Pasal 164 HIR.
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan agar keputusan Mahkamah Pelayaran dapat dijadikan alat bukti dalam persidangan adalah keputusan Mahkamah Pelayaran tersebut harus sudah ditetapkan oleh menteri dan bersifat final sebagaimana diatur pada Pasal 35 PP 9/2019jo. Pasal 49 Permenhub 30/2022.
Mengingat ketua Mahkamah Pelayaran menyampaikan hasil keputusan Mahkamah Pelayaran secara tertulis berupa rekomendasi pembebasan atau pengenaan sanksi administratif kepada menteri untuk kemudian ditetapkan melalui surat penetapan yang bersifat final.[1]
Kewajiban Mengasuransikan Muatan Kapal
Lebih lanjut, terkait tanggung jawab pengangkut dalam hal terjadi tubrukan kapal diatur juga secara lex specialist pada Pasal 40 dan 41 UU 17/2008. Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan.[2]
Tanggung jawab itu dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:[3]
kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
kerugian pihak ketiga.
Patut dicatat, jika kerugian pada huruf b, c, dan d di atas bukan karena kesalahan perusahaan angkutan di perairan, maka sebagian atau seluruh tanggung jawab atas kerugian dapat dibebaskan terhadapnya.[4]
Di sisi lain, perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan barang-barang yang diangkut.[5] Apabila pengangkut ternyata tidak mengasuransikan barang-barang muatan tersebut, maka segala kerugian menjadi tanggung jawab pengangkut sendiri dan tidak dapat tanggung jawab hukum tersebut dilimpahkan kepada orang lain. Bahkan ada sanksi pidana jika tidak mengasuransikan tanggung jawabnya hingga mengakibatkan timbulnya kerugian pihak lain yaitu dipidana penjara paling lama 6 bulan dan pidana denda paling banyak Rp100 juta.[6]