Akibat Hukum Jika Merekayasa Alat Bukti di Persidangan
Bacaan 14 Menit
PERTANYAAN
Apa yang terjadi jika mengajukan alat bukti palsu/merekayasa alat bukti untuk kelengkapan tuntutan di pengadilan? Terima kasih.
Pro
Pusat Data
Koleksi peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan yang sistematis serta terintegrasi
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab gratis tentang berbagai isu hukum
Berita
Informasi dan berita terkini seputar perkembangan hukum di Indonesia
Jurnal
Koleksi artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk referensi penelitian Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bacaan 14 Menit
Apa yang terjadi jika mengajukan alat bukti palsu/merekayasa alat bukti untuk kelengkapan tuntutan di pengadilan? Terima kasih.
Intisari:
Kita ambil contoh salah satu alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana adalah keterangan saksi. Jika dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Jika keterangan saksi yang tidak benar itu sedemikian rupa direkayasa dan tidak ada alat bukti lain yang membuktikan kesalahan terdakwa, akibat hukumnya adalah Terdakwa harus dibebaskan.
Hal ini karena hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Sebelum menjawab, ada baiknya kami jelaskan dulu apa saja yang menjadi alat bukti menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Alat bukti yang sah dalam pengadilan pidana terbagi menjadi:[1]
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Dari alat bukti yang sah tersebut, guna menyederhanakan jawaban, kami ambil salah satu contoh saja, yaitu keterangan saksi.
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan dia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu[2], termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” (setiap orang yang punya pengetahuan yang terkait langsung terjadinya tindak pidana).[3]
Merekayasa/Memalsukan Keterangan Saksi
Menyorot soal keterangan saksi yang direkayasa atau palsu, berdasarkan yurisprudensi, sebagian saja dari keterangan saksi dinyatakan palsu, cukup alasan menjeratnya dengan Pasal 242 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Kuncinya, keyakinan dan ketegasan hakim. Demikian yang dijelaskan dalam artikel Menjerat Saksi Berbohong di Persidangan.
Pasal 242 ayat (1) dan (2) KUHP berbunyi:
(1) Barangsiapa dalam keadaan di mana undang-undang menentukan supaya memberi keterangan di atas sumpah atau mengadakan akibat hukum kepada keterangan yang demikian, dengan sengaja memberi keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan ataupun tulisan, secara pribadi maupun oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
(2) Jika keterangan palsu di atas sumpah diberikan dalam perkara pidana dan merugikan terdakwa atau tersangka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Penjelasan selengkapnya tentang pasal ini dapat Anda simak artikel Hukuman Bagi Saksi Palsu di Persidangan.
Dari sisi hukum positif Indonesia, berbohong pada umumnya belum dapat dikualifisir sebagai tindak pidana. Begitulah pendapat akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Gandjar Laksmana. Menurut Gandjar, berbohong di pengadilan adalah tindak pidana. Lebih lanjut dapat Anda simak artikel Menjerat Saksi Berbohong di Persidangan.
Contoh
Misalnya dalam perkara pencurian. Sebenarnya saksi tidak mendengar adanya suara, derap langkah, atau suara-suara lain yang membuat dia bisa mengenal terdakwa. Akan tetapi, dalam persidangan, saksi mengatakan hal yang sebaliknya.
Jika saksi memberikan keterangan tidak benar/palsu sedemikian rupa direkayasa dan tidak ada alat bukti lain yang membuktikan kesalahan terdakwa, akibat hukumnya adalah Terdakwa harus dibebaskan. Dengan catatan, jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.[4]
Hal ini karena yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana bagi terdakwa adalah seperti yang tercantum dalam Pasal 183 KUHAP:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
KLINIK TERBARU