Dalam putusannya (27/8), Majelis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan oleh Pertamina. Putusan arbitrase yang dimohonkan pembatalannya adalah putusan arbitase Jenewa tanggal 18 Desember 2000 yang salah satu isinya menghukum Pertamina untuk membayar ganti rugi kepada Karaha Bodas Company AS$261 juta.
Sebelumnya, Pertamina pada April 2002 lalu telah mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase Jenewa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan alasan Majelis Arbitrase Jenewa telah melampaui kewenangannya dalam memutus, dan penunjukan arbiternya sendiri dinilai cacat hukum.
Majelis yang diketuai oleh Herry Swantoro, sependapat dengan argumentasi yang diajukan oleh Pertamina bahwa Majelis Arbitrase Jenewa telah melampaui kewenangannya karena tidak menggunakan hukum Indonesia. Padahal dalam Joint Operation Contract (JOC) antara KBC dengan Pertamina, maupun dalam Energy Sales Contract (ESC) antara Pertamina dan PLN telah disepakati bahwa hukum yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa adalah hukum Indonesia.
Rekomendasi IMF
Majelis Arbitrase dianggap tidak mempertimbangkan force majeur yang mengakibatkan Pertamina tidak dapat melaksanakan kontraknya dengan KBC. Menurut Majelis, penangguhan proyek geotermal KBC melalui Keppres No.5/1998 dilakukan atas rekomendasi IMF dan didasarkan pada krisis keuangan yang melanda Indonesia.
Kalau proyek tersebut tetap dilaksanakan, maka rakyat Indonesialah yang akan menanggung bebannya. Hal ini dipandang bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia.
Majelis juga dapat menerima permohonan pembatalan yang diajukan oleh Pertamina. Meskipun, alasan pembatalan yang diajukan oleh Pertamina diluar unsur-unsur Pasal 70 Undang-Undang No.30/1999 tentang Arbitrase.
Unsur-unsur yang dapat diajukan sebagai alasan permohonan pembatalan adalah apabila dokumen yang diajukan dalam pemeriksaaan ternyata palsu, ada dokumen yang disembunyikan oleh pihak lawan, dan putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak.