Komisioner Tertangkap, KPPU Revisi Kode Etik
Berita

Komisioner Tertangkap, KPPU Revisi Kode Etik

Upaya perbaikan tidak terpaku pada tataran normatif, juga menyentuh proses rekrutmen khususnya di DPR.

Rzk/M-1
Bacaan 2 Menit
Komisioner Tertangkap, KPPU Revisi Kode Etik
Hukumonline

 

Kode etik untuk komisioner dituangkan dalam Keputusan KPPU Nomor: 06/KPPU/Kep/XI/2000 tentang Kode Etik dan Mekanisme Kerja KPPU. Di dalamnya, materi yang terkait kode etik terdiri dari independensi, kerahasiaan, moralitas. Salah satu larangan berbunyi Setiap unsur komisi dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak manapun yang patut diduga akan mempengaruhi pengambilan keputusan. Selanjutnya, Semua unsur komisi dilarang menerima sesuatu dalam bentuk uang dan atau hadiah yang secara langsung maupun tidak langsung patut diduga berkaitan dengan jabatannya.

 

Sayang, dua larangan tegas itu tidak disertai ketentuan sanksi yang rinci. Di situ hanya disebutkan, bagi anggota komisi yang melanggar kode etik diberikan sanksi yang diputuskan oleh rapat pleno komisi. Sementara, untuk level pegawai, akan diatur tersendiri dalam peraturan kepegawaian sekretariat komisi.

 

Peraturan kepegawaian yang dirujuk pun baru dibentuk empat tahun kemudian. Dituangkan dalam Keputusan Nomor: 97/Kep/KPPU/XII/2003 tentang Tata Tertib dan Disiplin Pegawai KPPU, substansinya –sebagaimana terpampang pada situs KPPU- ternyata tidak lebih terperinci dari kode etik komisioner.

 

Revisi nanti, kita masih mempertimbangkan apakah akan membuatnya (kode etik komisioner dan tata tertib pegawai, red.) terpisah atau menjadi satu bagian, kata Junaidi. KPPU menyadari godaan tidak hanya rentan menyerang para petinggi (komisioner) tetapi juga para staf, khususnya investigator.

 

Menurut Junaidi, ada beberapa poin penting yang akan menjadi fokus pembahasan revisi kode etik. Antara lain bagaimana menjaga integritas, netralitas putusan, dan semaksimal mungkin menghilangkan akses pihak luar ke lingkungan KPPU terkait perkara. Secepatnya, tukas Junaidi ketika ditanya soal target pembahasan revisi tersebut.   

 

Bentuk inspektorat

Dosen Hukum Persaingan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia  Ditha Wiradiputra menyambut baik rencana KPPU memperbaiki kode etiknya. Menurut Dhita, kode etik memang harus menjadi perhatian utama lembaga seperti KPPU. Makanya, ia mengusulkan agar dibentuk semacam inspektorat atau organ pengawasan internal seperti halnya di instansi pemerintah.

Tapi memang permasalahannya adalah orang-orang di KPPU terbatas jumlahnya, ujar Ditha seputar kendala yang akan dihadapi KPPU. Terlepas dari itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan Usaha ini menekankan pengawasan juga perlu dalam hal proses penanganan perkara. Ia melihat sistem yang ada sekarang praktis bertumpu pada mekanisme keberatan ke pengadilan negeri. Di KPPU juga perlu ada suatu mekanisme yang sebelum itu putusan dihasilkan atau ketika perkara itu berjalan perlu ada pengawasan, tambahnya.

Idealnya, menurut Ditha, komisioner KPPU adalah orang-orang yang sudah teruji integritasnya. Makanya, sebagai langkah antisipatif, proses rekrutmen perlu diperketat sehingga komisioner yang terpilih adalah yang terbaik. Ditha mengusulkan agar upaya perbaikan tidak terpaku pada tataran normatif, juga menyentuh proses rekrutmen khususnya di DPR.

Malam itu, tidak lama setelah Mohammad Iqbal diciduk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Syamsul Maarif tidak kuasa menahan tangis. Di hadapan sejumlah pekerja media, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) itu mengaku kebobolan. Delapan tahun menghuni KPPU, Syamsul paham benar bagaimana komisi yang dipimpinnya berjuang mempertahankan integritas. Sebelum insiden itu terjadi, KPPU memang nyaris tanpa cacat. Sebagian kalangan menilai itu prestasi hebat, mengingat KPPU sangat dekat dengan dunia bisnis yang identik dengan uang.

 

Biar bagaimanapun, semua sudah terjadi. KPPU pun tengah dalam sorotan publik. Menyadari hal itu, KPPU mencoba mengambil hikmah dari kejadian naas yang menimpa Iqbal. Kepada hukumonline (15/10), Direktur Komunikasi KPPU A. Junaidi Masjhud menginformasikan rencana KPPU merevisi kode etik mereka. Untuk itu, sebuah tim khusus yang diketuai secara ex-officio oleh Direktur Eksekutif Kurnia Sya'ranie.

 

Kasus Pak Iqbal menjadi stimulan, ungkap Junaidi. Niat revisi kode etik dimaksudkan juga sebagai upaya antisipatif KPPU menjaga integritas komisioner serta para stafnya. Peristiwa tertangkap tangannya Komisioner Mohammad Iqbal, diakui Junaidi, telah membuka mata KPPU bahwa ternyata banyak celah yang harus diperbaiki. Salah satu yang jelas-jelas perlu diperbaiki adalah ketentuan tentang larangan jajaran KPPU bertemu dengan para pihak terkait perkara.

 

Selain terkait kasus Iqbal, KPPU memutuskan untuk merevisi karena kode etik yang ada sekarang relatif sudah cukup tua. Sebagaimana terpampang di situs KPPU, ada dua kode etik yang berlaku. Kode etik untuk Komisioner dan Tata Tertib untuk pegawai. Produk pertama dibentuk delapan tahun yang lalu (2000), sedangkan yang kedua dibentuk tahun 2004. Sudah saatnya di-review, tukas Junaidi.

Halaman Selanjutnya:
Tags: