UU Kekuasaan Kehakiman Bolehkan Jaksa PK
Berita

UU Kekuasaan Kehakiman Bolehkan Jaksa PK

DPR mengungkapkan tafsir pengajuan PK oleh pihak-pihak yang bersangkutan dalam UU Kekuasaan Kehakiman terinspirasi dengan hakim progresif dalam kasus Mochtar Pakpahan yang menerima PK oleh jaksa.

Ali
Bacaan 2 Menit
UU Kekuasaan Kehakiman Bolehkan Jaksa PK
Hukumonline

 

Pendapat ini diperkuat oleh ahli yang diajukan oleh pemohon, yaitu Etty Utju Ruhayati. Dosen Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara ini menilai terkait hubungan antara KUHAP dan UU Kekuasaan Kehakiman, maka berlaku asas lex specialis derogat legi generali. Kalau bicara hukum acara (pengajuan PK) ya pakai KUHAP. Kalau UU 4/2004 itu kan judulnya kekuasaan kehakiman, jelasnya di ruang sidang MK, Kamis (17/7).  

 

Etty punya sedikit kritik tambahan terhadap frase tersebut. Seharusnya disebutkan secara rinci dan limitatif mengenai siapa saja pihak-pihak yang bersangkutan, tambahnya.

 

Anggota Komisi III bidang hukum Nur Syamsi Nurlan mengaku tak sependapat. Ia mengatakan Pasal 23 ayat (1) berlaku terhadap sejumlah jenis acara, termasuk acara pidana. Ia pun mengungkapkan risalah persidangan pembentukan UU Kekuasaan Kehakiman di DPR. Frase itu memang untuk mengakomodir pengajuan PK oleh jaksa, tegasnya.

 

Nur Syamsi mengungkapkan upaya mengakomodir PK oleh jaksa terinspirasi kasus Mochtar Pakpahan. Kasus ini memang sempat menghebohkan dunia hukum Indonesia, ketika pengajuan PK oleh jaksa pertama kalinya dikabulkan oleh hakim. Pro kontranya pun masih ada sampai sekarang.

 

Namun, Nur Syamsi punya opini tersendiri. Ia menilai bahwa hakim agung yang menerima PK tersebut telah menerapkan hukum progresif. Tak terpaku pada teks yang ada dalam UU, jelasnya. Kala itu, Pasal 23 ayat (1) memang belum lahir, hakim PK hanya mendasarkan ketentuan KUHAP.

 

Nur Syamsi mengaku terinspirasi Sajtipto Rahardjo. Guru Besar Sosiologi Hukum Universitas Diponegoro ini memang maestronya hukum progresif di Indonesia. Hakim Konstitusi Mahfud MD seperti tertarik untuk menggali pemikiran seputar hukum progresif ini. Guru Besar HTN UII Yogyakarta ini paham betul bahwa teori hukum progresif adalah hakim tak boleh dibelenggu oleh norma.

 

Mahfud menanyakan dalam hal apa hukum progresif bisa diterapkan. Dalam hukum materil atau formil. Atau bisa dua-duanya, ujarnya. Menurutnya, pertanyaan ini cukup penting sebagai pertimbangan hakim konstitusi mengambil putusan.

 

Nur Syamsi menjawab dalam hal kedua-duanya bisa digunakan. Ia mengamini bahwa dalam praktek, ada yang berpendapat hukum formil atau acara memang tak bisa diprogresifkan. Tak bisa diganggu gugat. Namun, ia tak sepakat dengan pendapat ini. Ini kan kait berkait. Kalau materil saja tak didukung hukum formil kan tak bisa, tuturnya.

 

Selain itu, terkait asas lex specialis legi generali yang digunakan ahli pemohon, Nur Syamsi punya dalil yang berbeda. Ia menggunakan asas lex posteriori derogat legi priori. Yaitu, UU yang terbaru mengesampingkan UU yang lama. Dalam hal ini, Nur Syamsi menganggap UU Kekuasaan Kehakiman lebih dulu dari KUHAP. Sehingga sangat wajar bila UU Kekuasaan Kehakiman yang didahulukan.

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) saat ini memang sedang berwacana untuk mencabut UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Alasannya, karena setiap norma dalam UU tersebut akan merasuk dalam sejumlah UU Peradilan.

 

Namun, wacana ini sepertinya belum diketahui oleh dua orang anggota DPR yang hadir dalam sidang di MK. Buktinya, kedua anggota DPR tersebut, Nur Syamsi Nurlan dan Imam Anshori Saleh masih keukeuh berjuang mempertahankan salah satu pasal dalam UU itu dari serangan Pollycarpus Budihari Priyanto.

 

Pollycarpus, terpidana kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, memang sedang mengajukan permohonan uji materi ke MK. Melalui kuasa hukumnya, Muhammad Tohir, ia menggugat ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman. Tohir mengatakan pasal yang mengatur pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh pihak-pihak yang bersangkutan itu dianggap telah merugikannya.

 

Dalam kasus Munir, frase itu ditafsirkan bahwa jaksa boleh mengajukan PK. Akhirnya, Polly harus mendekam dua puluh tahun di bui karena PK tersebut.    Padahal, seharusnya tak begitu. Kuasa hukum Polly yang lain, Idrus Mony mengatakan frase tersebut hanya ditujukan kepada perkara lain di luar perkara pidana. Karena, dalam perkara pidana, Pasal 263 ayat (1) KUHAP sudah secara limitatif menyebutkan yang bisa mengajukan PK hanya terpidana dan ahli warisnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags: