Lagi, Hakim Memutus Berdasarkan Prinsip Ex Aequo et Bono
Berita

Lagi, Hakim Memutus Berdasarkan Prinsip Ex Aequo et Bono

Hakim menghukum pengusaha untuk membayarkan uang penghargaan masa kerja kepada pekerja yang mengundurkan diri.

IHW
Bacaan 2 Menit
Lagi, Hakim Memutus Berdasarkan Prinsip Ex Aequo et Bono
Hukumonline

Dalam putusannya, hakim memang menolak seluruh tuntutan penggugat yang tertuang dalam petitum primair. Namun untuk petitum subsidair yang berisikan ex aequo et bono, hakim mengabulkannya. Alhasil, hakim menghukum perusahaan untuk membayar Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) kepada Arozisochi yang mengundurkan diri.

Putusan hakim terkait dengan UPMK kepada pekerja yang mengundurkan diri memang melabrak kepastian hukum. Pasalnya, berdasarkan ketentuan Pasal 162 Ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pekerja yang mengundurkan diri hanya berhak atas Uang Penggantian Hak (UPH).

Keputusan hakim memberikan UPMK kepada Arozisochi bukannya tanpa dasar. Menurut hakim adalah tidak adil jika pengunduran diri Arozisochi hanya dihargai kompensasi uang pisah sebesar dua bulan gaji. Hakim mempertimbangkan pengabdian Arozisochi di anak perusahaan PT Astra International Tbk itu sejak 1992. "Peraturan Perusahaan maupun Perjanjian Kerja Bersama tidak mengatur mengenai uang pisah bagi pekerjanya yang mengundurkan diri," terang hakim Zenufa membacakan pertimbangan hukum.

Ketiadaan pengaturan uang pisah membuat hakim mencari terobosan. Hasilnya, hakim menyatakan bahwa uang pisah yang harus diterima Arozisochi adalah senilai UPMK. Karena masa kerja Arozisochi lebih dari 15 tahun, maka sesuai ketentuan Pasal 156 Ayat (3) huruf e, UPMK yang berhak diterima adalah sebesar enam bulan gaji. Jika dikalkulasi, total UPMK Arozisochi adalah Rp28,4 juta.

Gara-gara klaim pengobatan

Perkara antara Arozisochi melawan perusahaan produsen dan distributor komponen otomatif itu bermula ketika Mei 2006, Arozisochi mengajukan klaim pengobatan. Kala itu, Arozisochi -yang terakhir menjabat sebagai Account Officer- mengklaim biaya pengobatan sebesar Rp1,9 juta.

Awalnya, tidak ada masalah bagi Arozisochi untuk mendapatkan haknya. Pihak personalia begitu saja mencairkan klaim Arizosochi. Namun belakangan masalah muncul. Pihak manajemen menilai ada yang tidak wajar dalam klaim Arozisochi. Perusahaan lantas membentuk tim untuk menginvestigasi kebenaran klaim itu.

Belakangan, tim investigasi mendapatkan fakta bahwa ada perbedaan yang mencolok antara klaim yang diajukan Arozisochi dengan data di dokter. "Menurut tergugat (perusahaan, red), penggugat (Arozisochi) sudah memanipulasi klaim biaya pengobatan yang seharusnya hanya sebesar Rp315 ribu menjadi Rp1,9 juta. Sehingga perusahaan merasa dirugikan sebesar Rp1,6 juta," ungkap hakim.

Merasa 'dikadali' polah Arozisochi, perusahaan lantas mengambil sikap. Arozisochi dipanggil pihak manajemen. Dalam pertemuan itu, kata manajemen, Arozisochi mengakui perbuatannya. Berdasarkan Peraturan Perusahaan yang berlaku di Astra Otopart, tindakan Arozisochi dikualifisir sebagai pelanggaran berat. Sanksi yang dapat dikenakan untuk itu adalah pemutusan hubungan kerja.

Perusahaan memberikan tawaran solusi alternatif kepada Arozisochi. PHK melalui proses hukum yang berlaku atau mengundurkan diri. Arozisochi kabarnya lebih memilih opsi kedua, yaitu mengundurkan diri pada Maret 2007. Perusahaan lantas memberikan kompensasi berupa uang sebesar dua bulan gaji dan surat referensi kerja.

Namun kemudian Arozisochi melalui kuasa hukumnya menggugat perusahaan ke PHI Jakarta. "Pemutusan hubungan kerjanya tidak sah. Pengunduran diri penggugat dilakukan atas tekanan atau paksaan dari tergugat," jelas Berlin Sitorus, kuasa hukum Arozisochi, saat ditemui usai persidangan.

Di dalam gugatannya, Berlin menuntut agar pengunduran diri Arozisochi dinyatakan tidak sah. Alasannya hal itu dilakukan dibawah tekanan dan paksaan. Selain itu, ia menuntut kompensasi berupa uang pesangon, UPMK dan UPH yang totalnya mencapai Rp126 juta. Dalam petitum subsidair, Berlin mencantumkan ex aequo et bono.

Majelis hakim dalam putusannya menolak dalil Berlin. Menurut hakim, berdasarkan fakta dan bukti yang terungkap di persidangan, tidak terbukti adanya tekanan atau paksaan kepada Arozisochi untuk mengundurkan diri. Namun untuk kompensasi pengakhiran kerja, hakim memilih memutus berdasarkan prinsip ex aequo et bono seperti disebutkan di atas.

Atas putusan hakim ini, Berlin menyatakan pikir-pikir untuk mengajukan upaya hukum kasasi. Tapi yang jelas ia masih yakin bahwa pengunduran diri Arozisochi tidak sah. "Pengunduran diri itu harus datang dari inisiatif pribadi pekerja. Bukan dari tawaran pihak perusahaan."

Sikap yang sama juga ditunjukkan kuasa hukum Astra Otopart Azimah Sulistio. Di dalam persidangan, ia menyatakan akan mempertimbangkan pilihan sikap yang akan ditempuh atas putusan hakim.

Lebih dari setahun lalu, tepatnya pada Mei 2007, majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat mengabulkan sebagian gugatan korban Ujian Nasional. Menariknya, saat itu, tuntutan yang dikabulkan hakim adalah petitum subsidair, yakni meminta agar hakim memutus seadil-adilnya jika berpendapat lain dari apa yang diminta penggugat (ex aequo et bono).

Tindakan hakim yang memutus berdasarkan prinsip ex aequo et bono kembali terulang. Kali ini terjadi di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jakarta. Majelis hakim yang diketuai Sir Johan, beranggotakan Zenufa Zebua dan Junaedi, menerabas kepastian hukum dalam memutus perkara antara Arozisochi Zebua melawan PT Astra Otopart Tbk, Kamis (10/7). Trio hakim itu lebih mengedepankan keadilan hukum.

Tags: