MK Sisipkan Syarat Domisili ke UU Pemilu Legislatif
Utama

MK Sisipkan Syarat Domisili ke UU Pemilu Legislatif

Syarat domisili bagi calon anggota DPD dinilai sebagai norma konstitusi. Karenanya, MK memasukkan syarat ini ke dalam UU Pemilu Legislatif.

Ali/Rzk
Bacaan 2 Menit
MK Sisipkan Syarat Domisili ke UU Pemilu Legislatif
Hukumonline

 

Syarat 'bukan pengurus dan/atau anggota partai politik' untuk calon anggota DPD bukan merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22E ayat (4) UUD 1945, jelas Jimly. Pasal itu menyatakan Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.    

 

Menabrak Hukum Acara

Putusan ini tak diambil dengan suara bulat. Empat hakim konstitusi memberikan pendapat berbeda atau dissenting opinion. I Dewa Gede Palguna menilai putusan ini telah menambahkan materi muatan tertentu ke dalam suatu undang-undang. Jika sudah melakukan hal ini, maka di masa yang akan datang Mahkamah tidak mempunyai alasan untuk menolak permohonan serupa. Padahal, putusan MK dinilai Palguna telah menabrak hukum acara.

 

Mahkamah telah mengingkari hakikat dirinya sebagai negative legislator. Sehingga dengan demikian Mahkamah telah bermetamorfosis menjadi positive legislator. Hal itu juga akan menghilangkan hakikat Mahkamah sebagai a true court dan berubah menjadi lembaga politik, kritik Palguna.

 

Palguna mengatakan bila ada usul penambahan suatu norma ke dalam undang-undang maka itu merupakan tugas legislator, bukan tugas MK. Ia kembali menegaskan esensi hukum acara dalam Pasal 51 UU MK telah dilanggar. Jika Mahkamah begitu saja mengesampingkan hukum acara yang harusnya ditaatinya, dengan tindakannya itu berarti Mahkamah telah menyayat-nyayat dagingnya sendiri, sindir Palguna lagi.

 

Tiga hakim konstitusi yang lain juga memiliki dissenting opinion yang mirip dengan Palguna. Ketiga hakim konstitusi itu adalah HAS Natabaya, Mahfud MD, serta Harjono.   

 

Pelajari Putusan

Ketua DPD Ginanjar Kartasasmita mengaku tak puas dengan ditolaknya syarat non parpol. Ini putusan final, tak ada banding. Kalau lembaga banding itu ada (di MK), kami pasti akan banding, tegasnya. Meski begitu, Ginanjar menyarankan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) melaksanakan putusan ini.   

 

Anggota KPU Endang Sulastri mengaku masih akan mempelajari isi putusan ini. Apa isinya, hingga kini kami belum menerima salinannya secara resmi, ujarnya kepada hukumonline. Endang adalah Wakil Ketua Pokja Pendaftaran Calon Anggota DPD.

 

Setelah mempelajari putusannya, lanjut Endang, nanti akan dilihat apakah bisa langsung dieksekusi cukup dengan merevisi Peraturan KPU No 13 Tahun 2008 atau harus mengajukan pembentukan Perppu. Peraturan KPU 13/2008 itu berbicara mengenai Pedoman Teknis Tata Cara Penelitian, Verifikasi, Penetapan dan Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota DPD tahun 2009. Prinsipnya, KPU hanya menjalankan apa bunyi undang-undang, termasuk apabila bunyi undang-undang direvisi oleh putusan MK, tegasnya.

 

Endang mengakui memang saat ini formulir pencalonan Anggota DPD untuk Pemilu 2009 sudah dibuka. Tiga hari yang lalu, KPU memang sudah membuka pengambilan formulir pencalonan. Terkait langkahnya ini, KPU siap digugat. Sebelumnya, ia memang menegaskan putusan MK tak akan mempengaruhi proses pendaftaran secara signifikan. Apalagi, sejauh ini, para calon baru mengambil formulir saja. Sejauh pengetahuan saya belum ada yang mengembalikan formulir, tambahnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menjatuhi vonis terhadap UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif). Permohonan yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) baik secara kelembagaan maupun pribadi anggotanya diputus konstitusional bersyarat (conditionally constitutional). Dari dua materi yang diajukan oleh pemohon, MK hanya mengabulkan sebagian. Mengabulkan permohonan pemohon I (DPD) dan pemohon II (Anggota DPD) untuk sebagian, ucap Ketua Majelis Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie saat membaca amar putusan di MK, Selasa (1/7).

 

DPD memang mempersoalkan dua hal ke MK. Yaitu tak adanya syarat domisili dan syarat non parpol dalam UU Pemilu Legislatif teranyar. Padahal, kedua syarat tersebut ada di dalam UU Pemilu Legislatif sebelumnya. Tajuk perkara ini pun tak umum, mempersoalkan hilangnya norma. Tak adanya kedua norma ini dianggap mengancam keberadaan DPD. Implikasinya, anggota DPD bisa mewakili daerah yang bukan domisilinya serta pengurus parpol bisa dengan mudah masuk DPD.

 

Dari dua persoalan tersebut, MK hanya mengabulkan argumentasi terkait syarat domisili saja. Jimly menjelaskan syarat domisili di provinsi untuk calon anggota DPD merupakan norma konstitusi yang implisit melekat pada Pasal 22C ayat (1) UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum. Seharusnya (syarat domisili,-red) dimuat sebagai rumusan norma yang eksplisit dalam Pasal 12 dan Pasal 67 UU 10/2008, jelas Jimly.

 

Karenanya, MK memutus perkara ini conditionally constitutional. UU Pemilu Legislatif dinyatakan konstitusional dengan catatan, syarat domisili harus disisipkan ke dalam UU itu. Pasal 12 huruf c dan Pasal 67 tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai memuat syarat domisili di provinsi, tutur Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan.     

 

Putusan ini memang sejalan dengan salah satu alternatif yang diajukan oleh Kuasa Hukum DPD, Todung Mulya Lubis. Dia sempat meminta agar MK memutus perkara ini secara conditionally constitutional sehingga bisa menjadi pintu masuk penambahan norma. Jimly pun memahami implikasi permintaan Todung ini. Jadi parlemen meniadakan norma, MK disuruh mengadakan norma itu, ujarnya ringan pada sidang sebelumnya. 

 

Akhirnya, Jimly memang sepakat dengan argumentasi Todung. Tetapi hanya terkait syarat domisili. Untuk syarat non parpol, Todung harus gigit jari. Majelis hakim konstitusi menilai syarat non parpol bagi calon anggota DPD bukanlah norma konstitusi. Sehingga tak wajib dicantumkan dalam UU Pemilu Legislatif.

Tags: