Kejagung Lemparkan Urusan BLBI pada Menkeu
Berita

Kejagung Lemparkan Urusan BLBI pada Menkeu

Kejagung menutup kasus BLBI karena tidak ditemukan perbuatan melawan hukum. Kerugian dianggap sebagai persoalan ekonomi yang merupakan ranah Menteri Keuangan.

NNC
Bacaan 2 Menit
Kejagung Lemparkan Urusan BLBI pada Menkeu
Hukumonline

 

Untuk kasus BLBI II, berawal dari 1997 ketika dana BLBI mengucur sebesar Rp37 triliun. Berdasar audit BPK, dana BLBI membengkak menjadi Rp49,189 triliun, dengan JKPS sebesar Rp28,408 triliun setelah dikurangi aset bank penerima BLBI sebesar Rp18,850 triliun. Penyerahan aset senilai Rp28,408 triliun itu akan dibayar tunai Rp1 triliun dan penyerahan aset senilai Rp27,495 triliun.

 

Ketika pada tahun 2000 dilakukan perhitungan auditor dari Pricewaterhouse Cooper, taksiran nilai aset ternyata menurun menjadi hanya Rp1,441 triliun. Nilai aset itu mengalami kenaikan menjadi Rp1,819 triliun setelah dijual dan masih terdapat sisa aset sebesar Rp640 miliar. Singkatnya, negara justru dirugikan dalam penyelesaian pembayaran kewajiban itu.

 

Meski menyadari terjadinya penurunan aset, Kejaksaan Agung menyimpulkan bahwa perhitungan nilai aset yang dilakukan oleh auditor independen  tidak menyalahi aturan hukum. Ia mencontohkan aset PT Dipasena milik Syamsul Nursalim mengalami penurunan ketika akan dijual pada 2007. Aset yang awalnya ditaksir senilai Rp19 triliun itu ternyata menyusut menjadi hanya Rp400 miliar.

 

"Semua telah dilaksanakan dengan ketentuan hukum. Itu murni masalah ekonomi," jelas Kemas.  Untuk kelanjutannya, ujar Kemas, Kami serahkan ini pada Menteri Keuangan. Dengan demikian, tugas pemerintah pada Kejaksaan untuk mengungkap kasus BLBI bisa dikatakan berujung nihil.


Seperti diberitakan sebelumnya, dalam sidang interpelasi di DPR, pemerintah memaparkan, dalam penyelesaian dana BLBI, pemerintah membagi tugas. Obligor kooperatif yang belum menyelesaikan kewajiban ditangani langsung oleh Menteri Keuangan, sementara terhadap obligor bandel, penanganan disebar ke Kejaksaan Agung dan Kepolisian. Untuk obligor Anthony dan Syamsul masuk dalam daftar pekerjaan rumah Kejaksaan Agung.

 

Dihubungi terpisah, Ketua Masyarakat Pemantau Pengadilan Indonesia (MaPPI) Hasril Hertanto mengatakan, penghentian pengusutan kasus ini merupakan langkah yang kurang bijak dan menunjukkan lemahnya iktikad untuk memberantas korupsi. Jika sampai terjadi kerugian, besar kemungkinan terjadi korupsi. Mestinya dalam hal ini Kejaksaan lebih berani mengusut ke sebab musabab terjadinya ketimpangan penaksiran aset. Ini hanya masalah kemauan dan keberanian saja, ujarnya.

 

Penghujung Februari 2008, menjadi akhir upaya Kejaksaan Agung menelusuri kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) I dan II yang terkait dengan Grup Salim. Jaksa Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman di Kejaksaan Agung, Jum'at (29/2), mengumumkan pembubaran Tim Penyelidik Kejaksaan untuk dua kasus BLBI.

 

Kemas mengatakan, setelah tujuh bulan bekerja, Tim tidak menemukan adanya perbuatan melawan hukum dalam penyerahan aset dua obligor (non kooperatif) Anthony Salim dan Syamsul Nursalim.  Keduanya adalah obligor yang telah mengantongi Surat Keterangan Lunas (SKL) atas kewajiban mereka terhadap penggunaan kucuran dana BLBI sepanjang 1997 hingga 1998.

 

Dari penelusuran Tim Kejaksaan yang terdiri dari 35 jaksa pilihan, pengembalian utang telah dilakukan oleh kedua obligor lewat penyerahan aset, meski kemudian terjadi penurunan nilai aset. Kejaksaan menyimpulkan, anjlognya nilai aset yang diduga telah merugikan negara tersebut murni akibat persoalan ekonomi semata. Terjadinya penurunan nilai aset karena perubahan kondisi ekonomi, ujarnya.

 

Kemas menjelaskan, sepanjang 1998 terjadi kucuran BLBI sebesar Rp35 Triliun. Dalam rangka pelaksanaan "Master Settlement for Acquisition Agreement" (MSAA) pada September 1998, Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) atas kucuran tersebut meningkat menjadi Rp52,7 triliun.Badan Penyehatan Perbankan Nasional menindaklanjuti penghitungan lewat bantuan auditor independen. Terjadi selisih perhitungan menjadi Rp52,6 triliun.

 

Berawal dengan Inpres No.8/2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum pada obligor  kooperatif—yang dikenal dengan kebijakan  release and discharge, sebanyak 108 perusahaan di bawah naungan Grup Salim menyerahkan aset untuk pelunasan. Pada 2006, perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan nilai aset yang diserahkan kepada negara oleh Grup Salim ternyata hanya Rp19 triliun, jauh dari nilai awal kucuran BLBI dan JKPS. Sialnya, sesuai kebijakan  Inpres, sepanjang telah mendapat SKL, kerugian dari penyusutan nilai aset yang telah diserahkan menjadi tanggungan pemerintah.

Halaman Selanjutnya:
Tags: