Menengok Primat KUHP
Berita

Menengok Primat KUHP

UU Pers dan KUHP digunakan bersama-sama. Hakim membuktikan salah satu unsur dengan cara menyilangkan unsur kejahatan dalam KUHP dan UU Pers. Sebutannya primat KUHP.

NNC
Bacaan 2 Menit
Menengok Primat KUHP
Hukumonline

 

Akhirnya, dari sejumput keterangan ahli di persidangan, Majelis berpendapat sendiri. Dalam penjelasan UU Pers alinea terakhir tidak menyebut tentang lex spesialis. Di situ  disebutkan, sepanjang menyangkut tentang pertanggungjawaban pidana tetap menganut pada Peraturan Perundangan yang berlaku, ucap Ketut. Dengan adanya penjelasan seperti itu, Majelis menganggap pembentuk Undang-Undang memang tidak berniat menjadikan UU Pers sebagai lex spesialis.

 

Namun akhirnya, kesimpulan majelis bukan dari situ. Mereka malah lebih memilih mengekor pemikiran para hakim agung. Majelis mengacu pada Putusan MA nomor 1608/K.Pid/2005 yang menyebut UU Pers sebagai Primat KUHP.  Dari situlah Majelis hakim berpendapat, UU Pers bukan lex spesialis, tapi hanya primat KUHP yang artinya UU Pers harus didahulukan.

 

Menurut hakim, UU Pers seperti pisau bermata dua. Satu sisi sebagai sarana kebebasan, menjadi media komunikasi dan pendidikan masyarakat, di sisi lain ia juga bisa berakibat pada pencemaran nama baik alias penistaan. Tapi dengan adanya kode etik dalam kegiatan jurnalistik, proses penyelesaian internal dalam lembaga pers,  dan kesempatan hak jawab, maka menurut Majelis, perbuatan penistaan itu bisa gugur. Uniknya,  di saat sama Majelis mengakui, proses hukum tetap bisa dilakukan sepanjang tuntutan diarahkan pada tuntutan ganti rugi, bukan penghukuman fisik pada pers.

 

Lebih lanjut dalam pertimbangannya, Majelis menilai perbuatan Eddy sebagai penangungjawab redaksi,--yang seperti didakwakan JPU bersalah menyebar fitnah, tidak terbukti dalam satu unsurnya, yakni  penistaan. Karena unsur penistaan tidak terbukti maka unsur lain tidak perlu dibuktikan. Uniknya, penistaan tidak terbukti dikarenakan secara fakta hukum, ucap Ketut, Berita telah dibantah melalui hak jawab, telah memenuhi unsur cover both side.

 

Menurut majelis, terdakwa telah melaksanakan kewajiban hukumnya dengan cara menampung hak jawab dan mengecek berita ke berbagai sumber. Dengan demikian, ucap Ketut, Berita sudah sesuai asas kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian. Jadi, berita tersebut tidak bersifat menghukum dan bukan penistaan.

 

Bukan Perusahaan Pers

Ditanyai usai sidang, Ketua Tim JPU Robert Tacoy mengatakan pikir-pikir dulu untuk menempuh upaya hukum. Majelis punya penafsiran sendiri, ujarnya. Namun ia mengungkit salah satu dalil JPU yang tidak diperhatikan oleh majelis hakim.  Menurut Tim JPU, Investigasi bukanlah perusahan pers seperti dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UU Pers.

 

Setelah ditelusuri Tim JPU, lanjut Robert, badan hukum PT Nurida Lestari--perusahan yang menaungi Investigasi, ternyata bukan bergerak di bidang media massa ataupun penyebaran informasi. Jadi, menurut Robert, penanganan perkara tabloid Investigasi tersebut mestinya juga tidak tunduk pada ketentuan UU Pers. Sayang, hal ini tidak digubris majelis hakim.

 

Perkara yang menimpa Eddy Sumarsono, pemimpin redaksi tabloid dwimingguan Investigasi telah mencapai klimaks di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Siang itu, Kamis (17/1), Eddy diputus bebas oleh Majelis Hakim yang diketuai I Ketut Manika. Sehari sebelumnya, Ketut juga mengetuk palu untuk perkara gugatan Lendo Novo melawan Investor Daily  dan FX Arief Puyuono. Majelis pimpinan Ketut memenangkan Investor dan Arief.

 

Begitu Ketut nyaris kelar merapal amar putusan, menyatakan dakwaan tidak terbukti dan membebaskan Eddy, pengunjung ruang sidang yang sebagian besar jurnalis pendukung Eddy spontan bertepuk riuh, salah satu pengunjung sampai berceletuk, Hidup pers! dengan lantang.

 

Dalam perkara ini, Jaksa Penuntut Umum yang diketuai Robert Tacoy menjerat Eddy dengan dakwaan Kumulatif. Dakwaan pertama primer menggunakan Pasal 311 Ayat (1) Jo Pasal 316 KUHP. Subsidairnya Pasal 310 Ayat (2) jo Pasal 316 KUHP. Sedangkan dakwaan kedua, memakai UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers, khususnya pasal 18 (2) jo Pasal 5 (1).

 

Dalam pertimbangannya Majelis mula-mula menyinggung sejumlah keterangan ahli yang pernah dihadirkan dalam persidangan. Sejumlah ahli itu antara lain dosen Fakultas Hukum Univesitas Indonesia (UI) Rudy Satrio Mukantardjo, staf pengajar Lemhanas Tjipta Lesmana,  dan Dosen FISIP UI Ade Armando. Mereka menerangkan tentang kedudukan UU Pers terhadap KUHP. Ini lantaran kuasa hukum Eddy ngotot mengatakan UU Pers merupakan lex spesialis, sehingga penggunaan KUHP dalam oleh JPU dalam perkara ini tidak dapat dibenarkan.

 

Rudy dan Ade saat itu mengatakan, terhadap KUHP, UU Pers bukan lex spesialis karena UU tersebut tidak memenuhi unsur untuk menjadi norma yang lex spesialis. Rudy berpendapat, UU Pers tidak mengatur pers secara keseluruhan, terutama yang menyangkut soal ketentuan pertanggungjawaban pidana.

Tags: