Sengketa Pilkada Malut, Mestikah MA Tunda Pemeriksaan?
Berita

Sengketa Pilkada Malut, Mestikah MA Tunda Pemeriksaan?

Perkara Sengketa Pilkada Malut yang bergulir ke dua meja hijau potensial akibatkan dua putusan yang saling kontradiktif satu sama lain.

NNC
Bacaan 2 Menit
Sengketa Pilkada Malut, Mestikah MA Tunda Pemeriksaan?
Hukumonline

 

Untuk itu, Bambang mengusulkan agar MK dan MA membuat semacam kesepakatan atau  protokol yang mengatur mekanisme apa yang mesti dilakukan masing-masing lembaga dalam peristiwa seperti ini.

 

Dihubungi terpisah, Anggota Komisi III DPR RI Lukman Hakim nyaris setali tiga uang dengan Bambang. Hanya saja, Lukman tak setuju jika MA mesti menunda pemeriksaan. Menurutnya kedua perkara secara substansiil berbeda satu sama lain. Di MK yang dipersoalkan soal kewenangan KPU dan KPUD Malut, sementara di MA tentang perhitungan suara.

 

Menurut saya, MA harus bisa memilah mana yang bisa menjadi porsi MA. Kalau MK kan sudah jelas dia lembaga yang memutus sengketa lembaga negara yang diatur dalam UUD. Smentara MA itu kan lebih luas, di luar itu, tuturnya. Jadi menurutnya, persoalan ini dikembalikan pada MA sebagai lembaga yang harus sadar batas kewenangannya.

 

SK KPUD Malut Sebuah Rekayasa

Dalam persidangan beragendakan pembacaan eksepsi dan jawaban termohon di MA sehari sebelumnya, KPU pusat sebagai termohon, menyatakan penerbitan SK Penetapan calon Gubernur-Wakil Gubernur Malut oleh KPUD Malut dilakukan melalui sebuah proses rekayasa. Dalam tanggapan atas permohonan keberatan yang diajukan oleh pasangan calon peserta Pilkada Malut, Thaib Armaiyn-Abdul Gani Kasuba di MA, Jakarta, Selasa (8/1), Kuasa Hukum KPU Pusat Elsa Syarief menyatakan SK KPU Malut itu cacat hukum lantarana terbit tanpa  melalui sidang pleno yang sah.

 

Menurut KPU, KPUD Malut tidak pernah menerbitkan SK tentang berita acara rekapitulasi perhitungan suara tertanggal 16 November 2007 sebagai dasar penerbitan SK KPUD Malut No 20/Kep/PGWG/2007 tertanggal 16 November 2007 yang menetapkan pasangan Thaib-Abdul Gani sebagai pemenang Pilkada dan calon sah.

 

Menurut Elsa, hal tersebut bertentangan dengan pasal 9 ayat 3 huruf j UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Dalam tanggapannya, KPU menuturkan rentetan peristiwa rapat pleno rekapitulasi perhitungan suara di KPU Malut.

 

Pada 16 Noember 2007, dimulai pada pukul 14.00 WIT, rapat pleno kemudian ditutup oleh Ketua KPU Provinsi Malut pada pukul 22.30 WIT tanpa alasan yang jelas dan tidak menghasilkan keputusan apa pun. Ketua KPU Malut bersama dengan dua anggotanya lalu meninggalkan Kantor KPU Malut, sedangkan beberapa undangan dalam rapat itu, antara lain Ketua Panwas Provinsi Malut, empat pasangan calon, Danrem, dan Kapolda Malut tetap menunggu sampai 17 November 2007 pukul 00.30 WIT.

 

Keadaan itu, menurut Elsa, telah membuktikan sidang pleno yang digelar Ketua KPU Malut tidak menghasilkan apa pun, sedangkan setiap SK KPU harus dihasilkan melalui tahapan-tahapan sidang pleno. SK No 20/KEP/PGWG/2007 tertanggal 16 November 2007 yang dikeluarkan KPU  Malut untuk memenangkan pasangan Thaib-Abdul Gani, lanjutnya,  jelas  merupakan rekayasa karena tidak dihasilkan melalui pleno dan dibuat di luar kantor KPU Malut.

 

Dalam tanggapannya, KPU juga mengatakan SK itu kemudian disebarkan kepada masyarakat oleh massa pendukung pasangan Thaib Armaiyn -Abdul Gani. Pada 19 November 2007 Panwas Malut kemudian mengusulkan penonaktifan Ketua KPU Malut, Rahmi Husein dan satu anggota KPU lainnya.

 

Lantaran KPU Malut dinilai gagal melaksanakan tugasnya untuk melaksanakan proses dan tahapan Pilkada, KPU kemudian mengambilalih rekapitulasi perhitungan suara. Pada  26 November 2007 mengeluarkan SK No 158/SK/KPU/2007 yang memenangkan pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo sebagai pemenang Pilkada.

 

Pasangan Thaib-Abdul Gani mengajukan keberatan terhadap KPU yang mengeluarkan SK penetapan pemenangan Pilkada Malut pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo dan membatalkan SK KPU Malut yang memenangkan mereka. Melalui SK No 20/SK/PGWG/2007 tertanggal 16 November 2007 KPU Malut menetapkan pasangan Thaib Armaiyn-Abdul Gani sebagai pemenang Pilkada.

 

Keputusan  itu dibatalkan oleh SK KPU pusat No 158/SK/KPU/2007 tertanggal 26 November 2007 yang menetapkan pasangan Abdul Gafur-Abdurrahim Fabanyo sebagai pemenang pilkada dengan 181.889 suara dan pasangan Thaib-Abdul Gani di tempat kedua dengan 179.020 suara. Merasa keberatan, Thaib-Abadul Gani akhirnya meminta agar MA menyatakan tindakan KPU itu melawan hukum dan membatalkan SK yang dikeluarkan oleh KPU.

 

Namun, dalam tanggapannya, KPU mengatakan, permohonan yang diajukan oleh pasangan Thaib-Abdul Gani ke MA bukan didasari kepentingan untuk memperjuangkan perolehan suara, melainkan memperjuangkan kepentingan KPU Malut yang telah gagal melaksanakan Pilkada.

 

Dalam eksepsinya, KPU juga menyatakan, MA tidak berwenang memeriksa dan mengadili permohonan tersebut karena pemohon tidak mempersoalkan penetapan perhitungan suara sama sekali. Malah yang dipersoalkan SK KPU tentang Penetapan calon Gubernur pemenang Pilkada. Sedangkan menurut KPU, kewenangan MA dalam menangani sengketa hasil Pilkada terbatas pada perhitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon.

 

Sengketa Pemilihan  Kepala Daerah Maluku Utara (Pilkada Malut) telah mengantar silang kewenangan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat dengan KPUD Malut ke dua meja hijau lembaga kekuasaan kehakiman. Satu dimohonkan oleh calon gubernur hasil penetapan KPUD Malut ke Mahkamah Agung (MA) dalam perkara sengketa Pilkada, satunya lagi dimohonkan oleh KPUD Malut sebagai perkara SKLN di Mahkamah Konstitusi (MK). Hal ini berbahaya jika kedua lembaga menerbitkan putusan yang berbeda satu sama lain.

 

Kekhawatiran ini dikemukakan oleh praktisi Hukum Bambang Widjojanto, di sela pendaftaran permohonan uji materi Undang-Undang Ketentuan dan Tatacara Perpajakan (UU KUP) yang diajukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), di Gedung MK, Rabu (9/1).

 

Dia mengatakan, kasus seperti ini baru pertama kali terjadi. Kalau dua lembaga sama-sama memeriksa perkara, lalu muncul dua putusan berbeda yang sama-sama kuatnya, hal itu akan merugikan kepentingan masyarakat terutama kepastian hukum. Dua lembaga ini kan putusannya sama-sama final dan mengikat, katanya.

Jika memakai analogi judicial review, MA mestinya menghentikan dahulu pemeriksaan perkara yang sedang mereka tangani. Pasal 55 Undang-Undang No 24/2003 tentang MK menentukan, dalam hal sebuah Undang-undang sedang diuji materikan di MK, dalam waktu sama MA mesti menghentikan pengujian terhadap Peraturan Pemerintah yang berkaitan dengan Undang-Undang yang sedang diuji.

 

Bambang melihat, dalam persoalan sengketa Pilkada ini, yang lebih prioritas adalah menentukan kewenangan konstitusional antara KPU dan KPUD Malut. Sebab toh nantinya MA juga mesti memutuskan hasil perhitungan suara yang benar berdasarkan kewenangan lembaga yang sah. Yang berwenang menentukan kewenangan lembaga negara menurut konstitusi kan MK, ujar Bambang. Sehingga menurutnya, MA mesti menunda dulu pemeriksaan sampai MK memuus lembaga yang benar berwenang dalam sengketa itu. Di sini diperlukan suatu kearifan dari majelis hakim untuk melihat masalah ini dalam perspektif yang lebih luas.

Tags: