UUPK Belum Akomodir Kebutuhan Dasar Konsumen
Berita

UUPK Belum Akomodir Kebutuhan Dasar Konsumen

Sepanjang 2007 YLKI mencatat minimnya akses konsumen terhadap kebutuhan dasar. UU Perlindungan Konsumen dinilai belum mengakomodir. Sebaliknya, peraturan terkait HAM belum dapat terimplementasi dengan baik.

IHW
Bacaan 2 Menit
UUPK Belum Akomodir Kebutuhan Dasar Konsumen
Hukumonline

 

Tulus Abadi, anggota YLKI yang lain menambahkan, sebagai negara yang mengaku menganut paham negara kesejahteraan (welfare state), maka realitas yang terjadi di masyarakat adalah suatu paradoks. Ini sangat lucu. Ternyata pemerintah sama sekali tidak memperhatikan kebutuhan dasar rakyatnya, kecamnya.

 

Indah Suksmaningsih, pengurus YLKI lainnya malah menuding bahwa UU NO 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) adalah salah satu penyebab tidak terpenuhinya kebutuhan dasar konsumen. Karena UU Perlindungan Konsumen lebih menekankan pada konteks transaksi antara pelaku usaha dengan konsumen.

 

Namun begitu YLKI menyatakan tidak ada niat untuk mengusulkan revisi UU Perlindungan Konsumen dengan memasukan kebutuhan dasar sebagai salah satu hak konsumen.

 

Indah malah mengakui bahwa masalah kebutuhan dasar pada prinsipnya sudah tertuang dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai HAM. Jadi tidak perlu merevisi UU Perlindungan Konsumen, melainkan lebih memanfaatkan peraturan hukum yang sudah ada. Misalnya undang-undang yang meratifikasi kovenan hak sipil politik dan kovenan ekosob.

 

Minimnya keselamatan transportasi

Sementara Sudaryatmo, pengurus YLKI yang lan menambahkan, tahun 2007 bakal dicatat sebagai tahun kelam bagi konsumen transportasi. Kita tentu masih ingat bagaimana tragedi jatuhnya pesawat Adam Air di awal 2007. Setelah itu, berbagai kecelakaan seakan saling susul menyusul mengisi lembaran hari di tahun 2007. Sebut saja tenggelamnya KM Senopati Nusantara dan berbagai kecelakaan transportasi darat.

 

Apalagi transportasi di sektor darat. Tercatat pada tahun 2007 lalu 30 ribu nyawa melayang sia-sia. Pada saat mudik lebaran saja sebanyak 457 pengguna sepeda motor nyawanya melayang. Hal ini menandakan bahwa aspek keselamatan transportasi masih menjadi barang yang mahal di Indonesia, kata Sudaryatmo yang juga anggota BPSK DKI Jakarta ini.

 

Husna menimpali, salah satu problem konsumen adalah tidak adanya kepastian mengenai jumlah ganti rugi yang harus diterima dari pelaku usaha ketika mengalami kecelakaan transportasi. Bahkan dalam bahasa yang lebih halus dikatakan sebagai uang santunan, tukasnya.

 

Hal senada diungkapkan Sudaryatmo. Dibandingkan dengan negara lain, kata Sudaryatmo, para pelaku usaha maupun pejabat di Indonesia dianggap tidak berempati kepada konsumen ketika terjadi kecelakaan. Kalau di Jepang, pelaku usaha dan pejabat langsung meminta maaf kepada keluarga korban dan langsung menyatakan bertanggung jawab. Setelah itu biasanya mereka akan mundur dari jabatannya sebagai bentuk pertanggungjawabannya, pungkasnya.

 

Tahun 2007 mungkin bisa dikatakan sebagai tahun milik David Tobing. Betapa tidak. Perjuangannya sebagai konsumen parkir untuk mendapatkan haknya berhasil. Pengadilan pun memutuskan untuk menghukum secure parking membayar ganti rugi kepada David sebesar seribu rupiah.

 

Cerita sukses David selaku konsumen tampaknya hanya bisa dinikmatinya sendiri. Pasalnya, di saat yang bersamaan, ratusan juta penduduk di Indonesia terpinggirkan hak-haknya selaku konsumen. Demikian diungkapkan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam konferensi pers bertajuk Catatan Awal Tahun 2008 di Jakarta (4/1).

 

Husna Gustiana Zahir, Ketua YLKI menuturkan, sepanjang 2007 konsumen menjumpai kesulitan yang amat serius. Karena konsumen tidak hanya kesulitan ketika bertransaksi dengan produsen atau pelaku usaha. Melainkan juga ketika konsumen sebagai warga negara masih dipinggirkan oleh negara untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya, Husna berujar.

 

Lebih jauh Husna membeberkan satu per satu kebutuhan dasar konsumen yang terenggut. Akses mendapatkan bahan pangan misalnya. Masyarakat sebagai konsumen terbebani dengan melonjaknya harga beras dan minimnya pasokan beras, imbuhnya.

 

Husna juga menyoroti akses konsumen terhadap energi. Seperti diketahui, pada 2007 pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengkonversi penggunaan minyak tanah ke gas. Namun Husna menilai pemerintah kedodoran dalam mengimplementasikannya. Kualitas kompor dan tabung gasnya masih mengkhawatirkan. Sementara di sisi lain terjadi kelangkaan minyak tanah di pasaran.

Halaman Selanjutnya:
Tags: