UU Penanaman Modal Untuk Siapa?
Utama

UU Penanaman Modal Untuk Siapa?

Saksi ahli menekankan konstitusi melindungi pemodal dalam negeri sementara pemerintah membiarkan investor asing masuk dalam beragam usaha, Menyitir pidato Hatta, pemerintah menyatakan Indonesia anti kapitalisme tapi tidak anti modal.

NNC
Bacaan 2 Menit
UU Penanaman Modal Untuk Siapa?
Hukumonline

 

Sonny, sapaan Revrisond, mengatakan jika hendak mengekor penghisapan perkebunan ala Kolonial Hindia Belanda, pemerintah dan ekonom yang merakit UUPM bisa dikatakan berhasil. Sebab, dengan membuka masuknya investor asing pada bermacam jenis usaha riil dan memberi hak-hak khusus kepada mereka, ujarnya, sama saja meneruskan pembiaran diri dihisap negara asing. Sekarang ini perkebunan sudah mulai ditinggalkan kapitalisme global. Giliran sektor tambang yang mulai dilirik. Kebijakan pemerintah cenderung memberi lampu hijau pada investor untuk memasuki wilayah itu.

 

Revrisond mencontohkan fenomena di Bontang, Kalimantan Timur. Provinsi ini disebut-sebut memiliki Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar di Indonesia. Nyatanya, angka perhitungan pendapatan kotor daerah tersebut bukan didapat dari aktifitas penduduknya, namun 95 % disumbang oleh pendapatan tiga perusahaan tambang asing yang beroperasi di sana. Padahal PDRB digunakan sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi suatu daerah.

 

Akibatnya, lanjur Sonny, mayoritas masyarakat Bontang justru tidak turut menikmati adanya angka PDRB yang tinggi. Jadi rumusannya begini. Semakin besar suatu daerah dimasuki investor asing, semakin kaya daerah itu secara statistik, namun semakin besar pula angka  penghisapan yang terjadi pada masyarakatnya, ujarnya mengutip rumus diperkenalkan mendiang begawan ekonomi kerakyatan UGM Moebyarto.

 

Ahli lainnya, Salamudin Daeng dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menjawab kegelisahan Maruarar dengan menyajikan angka penyebaran investasi dikaitkan dengan luas lahan. Data tahun 2005, tanah daratan di Indonesia seluas total 192,26 juta Ha, telah diinvestasikan seluas 95,4 Ha pada sektor tambang melalui kontrak karya dengan perusahaan-perusahaan besar yang didominasi pemodal asing. Sedangkan untuk pertanian dan perkebunan hanya diinvestasikan sebesar 1,8 juta Ha.

 

Salamuddin juga menyoroti regulasi peringanan bea impor yang mencapai Rp130 Triliun. Angka ini menurutnya jelas merugikan pendapatan negara. Sebab dalam dunia hal investasi migas, perusahaan asing mengambil bahan mentah yang kemudian diekspor, lalu dikembalikan dalam bentuk barang modal yang kemudian turut dipasarkan pula di Indonesia. Inilah kenapa kenaikan harga minyak dunia justru bisa mengakibatkan kita krisis minyak. Sebab keseluruhan keuntungan diambil oleh investor asing mulai dari penyerapan bahan mentah hingga pemasaran, jelasnya.

 

Anti kapitalisme tadi tidak anti kapital

Sebelumnya, dalam agenda sidang mendengarkan keterangan pemerintah, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengutip pidato Mohammad  Hatta pada 1951 di Solo. Dalam pidatonya, Hatta mengatakan, Kita anti kapitalisme tetapi tidak anti kapital. Ada sementara golongan dalam masyarakat yang khawatir, bahwa dengan memakai kapital asing kita akan jatuh kembali ke dalam penjajahan. Mereka itu masih dihinggapi restan-restan zaman kolonial yang minderwaardigheids complex. Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, kita pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi...

 

Menurut Pemerintah, UUPM sudah sejalan dengan pidato M Hatta sebagai salah satu perumus Pasal 33 UUD 1945 yang kemudian menjadi arah pijakan kebijakan investasi pemerintah Indonesia hingga sekarang ini. Menyinggung hak atas tanah, UU PM tidak menyediakan kemewahan investasi berbentuk pemberian hak istimewa atas tanah. Sebab, pemberian hak tersebut diiringi dengan hak pemerintah untuk membatalkan sewaktu-waktu jika tanah itu ditelantarkan, merugikan kepentingan umum, tidak sesuai dengan maksud pemberian hak atas tanahnya, atau melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

 

Mengenai semakin dilebarkannya pintu masuk untuk tenaga kerja asing, Mari mengatakan, pengisian tenaga kerja asing hanya terbatas pada lapangan kerja yang belum dapat terisi oleh tenaga kerja Indonesia. Bahkan dengan semakin banyak investor asing, ujarnya, masyarakat bakal mampu mengakses sumber daya alam melalui investasi dan membuka daerah-daerah tertinggal yang mendorong ekonomi rakyat. Kebijakan membuka pintu investasi tidak semata ditujukan untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi, tapi juga untuk menambah lapangan pekerjaan sehingga bisa menekan  tingkat pengangguran.

 

Pemaparan keterangan pemerintah ini dibantah mentah-mentah oleh Noorsy. Ia mengatakan, alasan penyerapan tenaga kerja dalam membuka pintu investasi bagi pemodal asing bukan alasan utama timbulnya UUPM. Ia menilik pada opening statement pemerintah yang mengatakan UUPM beranjak dari alasan untuk meningkatkan modal dan turunnya kepercayaan investor akibat krisis multidimensi 1997. Dari ketentuan-ketentuan treatment pada investor asing, Jelas bahwa UUPM ini hendak menyerahkan kegiatan ekonomi seluruhnya pada mekanisme pasar. Negara hendak berperan sebagai 'Negara Penjaga Malam'.

 

Melengkapi argumennya, Noorsy menyodorkan data dari kantor Kementrian Koperasi dan UKM tahun 2005 yang menunjukkan bahwa penyumbang lapangan kerja terbanyak (sejumlah 91,4%) justru dari sektor Usaha Kecil Menengah. Sementara sektor tambang yang termasuk usaha besar hanya menyerap 3,7% tenaga kerja. Mestinya, lanjut Noorsy, pemerintah belajar pada kasus Sony dan Nike yang muncul lantaran repatriasi modal. Pemberian keleluasaan untuk pengalihan aset, menurutnya, adalah bentuk tidak diproteksinya buruh yang bekerja pada perusahaan asing.

 

Dalam sidang yang berlangsung maraton sejak pukul 10.00 hingga pukul 15.40 WIB itu, para hakim konstitusi seakan terserap perhatian pada paparan para ahli. Maklum, dari sembilan hakim konstitusi di MK, tak satupun berlatar belakang ekonomi. Ketua Majelis Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie sampai-sampai hendak mengundang ahli dari pemohon lagi agar bisa beradu argumen dengan ahli gaetan pemerintah.

Inilah yang menjadi bahan pertanyaan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan dalam sidang pengujian Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal (UUPM) terhadap Pasal 27 dan 33 UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK) di gedung MK, Selasa (6/11). UUPM diuji hanya selang beberapa bulan setelah disahkan Presiden. Pasalnya, UU ini dinilai para pemohon terlalu memberi privelege kepada  investor asing ketimbang melindungi masyarakat kecil.

 

Maruarar di muka sidang mengaku bingung, kenapa negeri yang turut menyuplai minyak mentah ke masyarakat internasional ini justru turut kerepotan tatkala harga minyak dunia melonjak. Padahal negara produsen minyak lainnya seperti Iran atau Venezuela justru meraup rejeki bak durian runtuh. Ditengah-tengah kegamangannya, ia mempertanyakan pula analisa Joseph Stiglitz, peraih Nobel ekonomi 2001, yang menilai kebijakan ekonomi negara-negara berkembang tidak komprehensif. Pertanyaan Maruarar ini kemudian dijawab oleh sejumlah ahli ekonomi gaetan pemohon.

 

Salah satu Ahli yang diajukan pemohon uji materi itu adalah akademisi asal Universitas Gadjah Mada Revrisond Baswir. Dari sejumlah kebijakan ekonomi Indonesia, ia menarik kesimpulan paradigma warisan kolonial masih membayang-bayangi para pengambil kebijakan hingga kini. Menurutnya, kebijakan ekonomi dalam UUPM tidak sejalan dengan landasan ideologis dan latar belakang historis pembentukan Pasal 33 UUD 1945.

 

Pasal 33 UUD 1945 yang menjadi bagian dari konsiderans UUPM justru bersemangat anti kolonialisme, untuk bangkit sendiri secara ekonomi. Menurutnya, ketentuan mengenai Dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam ketentuan itu berarti negara wajib membuat regulasi yang memihak kepada kemakmuran rakyat dan melindungi kepentingan pemodal dalam negeri. Sedangkan isi dari UUPM, kata Revrisond, Justru bertentangan dengan landasan yang mereka pijak itu (Pasal 33 UUD, red).

Tags: