Ketua MPR Minta Anggotanya Dilibatkan dalam Komisi Konstitusi
Berita

Ketua MPR Minta Anggotanya Dilibatkan dalam Komisi Konstitusi

Dulu, Komisi Konstitusi dianggap gagal karena tidak melibatkan unsur dari MPR, sehingga hasilnya tidak dianggap oleh MPR.

Rzk
Bacaan 2 Menit
Ketua MPR Minta Anggotanya Dilibatkan dalam Komisi Konstitusi
Hukumonline

 

Sehubungan dengan itu, Hidayat menggagas ide agar komposisi komisi nantinya tidak hanya terdiri dari para pakar saja, tetapi juga anggota MPR. Ide ini didasari pemikiran agar produk apapun yang nantinya dihasilkan komisi dapat diimplementasikan secara efektif. Kita harus belajar dari pengalaman KK yang lalu, walaupun dibentuk dengan Ketetapan MPR, kajian mereka tidak terpakai karena hasilnya tidak nyambung dengan apa yang diinginkan MPR, ujar Hidayat.

 

Apa yang diinginkan anggota MPR, menurut Hidayat, penting disinergikan karena pada dasarnya kewenangan ‘mengeksekusi' amandemen UUD 1945 terletak di tangan MPR. Pengaturan teknisnya nanti tidak semua anggota MPR akan duduk di komisi tetapi hanya mereka yang kompeten yang akan dilibatkan. Dengan komposisi seperti ini, komisi diharapkan dapat menghasilkan amandemen yang berkualitas secara akademis dan politis. Supaya sejak awal pemikiran tentang perubahan ketemu dengan jalan yang benar. Jangan salah mempersepsikan UUD kita karena itu tidak akan memberikan hal yang produktif, kata politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

 

Dihubungi via telepon (21/9), Mantan Wakil Ketua KK Albert Hasibuan menyatakan tidak setuju dengan analisa Hidayat. KK, menurut Albert, gagal bukan karena tidak melibatkan unsur dari MPR, tetapi lebih karena tidak ada kemauan politik dari MPR pada periode itu. Albert sendiri mengaku heran kenapa MPR ketika itu mengabaikan hasil KK padahal dasar pembentukannya justru berupa Ketetapan MPR No. I/MPR/2002.  Hasil yang kami peroleh, pada kenyataannya, tidak dianggap sebagai suatu keputusan yang benar-benar berguna bagi MPR. Padahal Komisi Konstitusi telah berhasil melakukan pembaharuan konstitusi, kata Albert.

 

Membandingkan dengan kondisi sekarang, Albert melihat MPR sekarang khususnya anggota DPR juga belum memiliki kemauan politik untuk melakukan amandemen. Menurut Albert, anggota DPR bersikap resisten karena ada kekhawatiran kewenangan mereka akan tereduksi dengan dikuatkannya kewenangan DPD. Faktor lain, anggota DPR juga takut kepentingan partai politik mereka tidak aman dalam menghadapi Pemilu 2009 nanti. Saya melihat DPR lebih banyak berorientasi pada kekuasaan semata, tambahnya.

 

Soal waktu

Kapan waktu pelaksanaan amandemen yang tepat? Hidayat mengatakan tergantung materi apa yang diamandemen. Apabila materi yang terkait dengan perhelatan Pemilu 2009, seperti pengaturan tentang partai politik, persyaratan presiden, maupun kedudukan MPR, DPR, DPRD dan DPD, Hidayat agak pesimis amandemen dapat dilakukan. Itu agak sulit karena dikhawatirkan akan menimbulkan kegaduhan politik menjelang Pemilu 2009, tukasnya.

 

Kalau ingin tidak beresiko, Hidayat menyarankan yang diamandemen adalah pasal-pasal netral yang tidak ada hubungannya dengan Pemilu 2009. Misalnya, pasal mengenai anggaran pendidikan atau terkait kewenangan Komisi Yudisial. Secara implisit, Hidayat ingin mengatakan niat DPD mengamandemen UUD 1945 dengan tujuan penguatan kewenangan, tidak tepat apabila dilakukan sebelum 2009. Meskipun begitu, MPR menyatakan siap menyelenggarakan amandemen selama memenuhi persyaratan konstitusional. Sebaiknya isu amandemen dikelola dengan baik, DPR-DPD harus bersikap elegan karena kalau kondisinya seperti ini, masyarakat bisa tidak percaya lagi terhadap institusi parlemen, seru Hidayat.

 

Sementara itu, Parlindungan masih berharap penguatan DPD melalui Amandemen UUD 1945 tetap dapat diwujudkan segera sebelum Pemilu 2009. Dia beralasan penguatan DPD sangat berhubungan erat dengan upaya menciptakan kehidupan demokrasi yang lebih sehat. Saya tetap berharap, karena momentumnya sekarang dan penguatan DPD juga terkait dengan kesejahteraan rakyat, pungkasnya. 

Pasca kandasnya upaya Amandemen UUD 1945, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyusun strategi baru dalam rangka memperjuangkan penguatan kewenangan lembaga. Awalnya, DPD melihat proses penyusunan RUU Paket Politik, khususnya RUU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD (Susduk) sebagai alternatif solusi yang prospektif. Namun, kenyataan berkata lain, proses penyusunan RUU Paket Politik justru sarat dengan aksi arogansi DPR terhadap ‘saudara muda'-nya.

 

DPD tidak hanya diabaikan keterlibatannya dalam proses penyusunan, tetapi lebih dari itu perdebatan yang berkembang juga mengarah pada upaya penggerusan kewenangan DPD. Misalnya saja, wacana mereduksi kewenangan DPD di bidang legislasi atau wacana perubahan titel UU Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menjadi UU Pemilu Legislatif dan DPD. Menyadari kondisi tersebut, Kelompok DPD di MPR RI mengalihkan targetnya ke alternatif lain, yakni percepatan pembentukan sebuah komisi yang kurang lebih serupa dengan Komisi Konstitusi (KK) yang dibentuk pada tahun 2003.

 

Sebagaimana telah diberitakan, komisi ini merupakan usulan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam Sidang Paripurna Khusus DPD pada 23 Agustus 2007. Usulan dimaksudkan agar upaya amandemen didasari kajian komprehensif sehingga hasilnya berkualitas dan tidak terkesan tambal sulam. Kelompok DPD akan memfokuskan diri pada pembentukan komisi yang diusulkan Presiden. Soal pembahasan RUU Paket Politik, biar masyarakat yang nantinya menilai, tugas kami hanya memberikan masukan kepada DPR, kata Parlindungan Purba, salah seorang Wakil Ketua Kelompok DPD.

 

Parlindungan melihat usulan pembentukan komisi adalah peluang bagus untuk mendorong Amandemen UUD 1945 karena semua pihak, baik DPR, MPR, dan DPD sebenarnya telah menyambut positif. Sekarang, menurut Parlindungan, yang harus dipikirkan adalah bagaimana menyamakan persepsi atas usulan tersebut. Beberapa hal yang harus dipikirkan antara lain siapa yang membentuk, bagaimana mekanisme pemilihan anggotanya, dan bagaimana mekanisme kerjanya. Untuk itu, Parlindungan berharap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) segera menggelar rapat.

 

Kegagalan KK

Dalam pertemuan konsultasi dengan Kelompok DPD, Kamis (20/9), Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menyatakan siap menggelar rapat segera setelah bulan Ramadhan ini, menyikapi usulan Presiden tersebut. Dia menambahkan Pimpinan MPR bahkan sudah mengkomunikasikan hal ini dengan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) yang oleh Presiden ditugasi untuk mengkaji lebih lanjut usulan tersebut.

Tags: