YKCI Ajukan Eksepsi Kompetensi Absolut
Berita

YKCI Ajukan Eksepsi Kompetensi Absolut

Mengacu pada Pasal 56 Ayat (1) UU Hak Cipta, setiap gugatan ganti rugi atas pelanggaran Hak Cipta harus ditujukan ke Pengadilan Niaga.

IHW
Bacaan 2 Menit
YKCI Ajukan Eksepsi Kompetensi Absolut
Hukumonline

 

Ia menunjuk ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Hak Cipta yang menyebutkan pemegang hak cipta berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran hak ciptanya dan meminta penyitaan terhadap benda yang diumumkan atau hasil perbanyakan ciptaan itu. Pasal 60 ayat (1) mempertegas bahwa gugatan atas pelanggaran hak cipta diajukan ke pengadilan niaga. Dari dalil-dalil pengugat tersebut, terbukti bahwa gugatan yang diajukan para penggugat masuk dalam lingkup hak cipta. Berdasarkan UU Hak cipta, gugatan ini seharusnya masuk dalam kewenangan Pengadilan Niaga, Irwan menegaskan.

 

Sementara, saat dihubungi melalui telepon, kuasa hukum perusahaan label Sumedi Atmodidjojo enggan memberikan komentar lebih jauh atas eksepsi YKCI. Kami belum bisa berkomentar. Saat ini kami masih mempelajarinya, ujarnya singkat.

 

Duduk perkara

Seperti diberitakan sebelumnya, sepuluh perusahaan label, yaitu PT Warner Music Indonesia, PT Aquarius Musikindo, PT Dian Pramudita Kusuma, PT EMI Indonesia, PT Indo Semar Sakti, PT Musica Studio's, PT Sani Sentosa Abadi, PT Sony BMG Music Entertainment Indonesia, PT Universal Music Indonesia, dan PT Virgo Ramayana Record, melalui kuasa hukumnya dari kantor advokat Otto Hasibuan & Associates menggugat YKCI. Selain itu, perusahaan label juga mengikutsertakan Telkomsel sebagai turut tergugat.

 

Dalam berkas gugatannya, para penggugat mengaku memiliki hak mengumumkan atau memperbanyak ciptaan dari pencipta lagu kepada publik melalui sarana apapun. Hak itu, diakui penggugat, didapat dari pencipta lagu berdasarkan perjanjian. Dalam perjalanannya, perusahaan rekaman menggandeng pihak lain seperti penyanyi, arranger, pemusik, penata lagu dan studio untuk melakukan proses rekaman lagu. Ujungnya, semua hasil karya dari pencipta hingga studio, adalah berbentuk master rekaman.

 

Nah, karena semua biaya-biaya untuk merekam lagu sampai menjadi master rekaman itu dibiayai oleh para penggugat, maka penguggat  merasa menjadi pemilik dari master rekaman tersebut. Karenanya para penggugat berhak untuk mengumumkan dan memperbanyaknya, termasuk memberikan izin kepada Telkomsel untuk memperbanyak dan mengumumkannya juga.

 

Di pihak lain, ada YKCI yang juga merasa memiliki hak atas master rekaman karena mendapatkan kuasa dari para pencipta lagu. Dalam perkembangannya, YKCI pernah mengajukan gugatan kepada Telkomsel di Pengadilan Niaga karena dinilai telah memperbanyak dan mengumumkan master rekaman tanpa seizin YKCI. Pengadilan Niaga pada akhirnya memutuskan gugatan YKCI tidak dapat diterima.

 

Gugatan YKCI kepada Telkomsel ini tampaknya membikin perusahaan rekaman gerah. Tidak hanya itu. Perusahaan label makin berang ketika YKCI juga  menarik royalti dari Telkomsel maupun pihak ketiga lainnya.

 

Perusahaan label sebelumnya pernah mengajukan gugatan intervensi di persidangan YKCI vs Telkomsel, namun ditolak majelis hakim PN Jakarta Pusat. Kini, mereka mencoba menempuh jalur hukum di PN Jakarta Selatan. Dalam tuntutannya, mereka meminta agar perbuatan YKCI yang mengaku sebagai  pemegang hak mengumumkan master rekaman sebagai perbuatan melawan hukum. Konsekuensinya, ketika YKCI memungut royalti, harus juga dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Selain itu, penggugat menuntut agar YKCI membayar ganti rugi sebesar Rp 200 milyar. Penggugat akan kembali memberikan tanggapan pada 21 Juni mendatang.

 

Setelah beberapa kali melakukan perubahan gugatan dan gagalnya mediasi, kini perselisihan antara perusahaan rekaman melawan Yayasan Karya Cipta Indonesia (YKCI) di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memasuki tahap jawaban.   Irwan H Siregar, kuasa hukum YKCI kepada hukumonline mengatakan, tanggapan YKCI terhadap gugatan perusahaan rekaman (label) memang belum menyentuh pokok perkara. Sebelum menyentuh pokok perkara, kami mengajukan eksepsi kompetensi absolut terlebih dahulu, ungkapnya.

 

Irwan kemudian menunjuk pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 56 Ayat (1) UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, yang menegaskan bahwa setiap gugatan ganti rugi atas pelanggaran hak cipta harus ditujukan ke Pengadilan Niaga. Karenanya berdasarkan UU Hak Cipta, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sama sekali tidak berwenang mengadili perkara ini, tukasnya.

 

Meski dasar gugatan perusahaan rekaman adalah perbuatan melawan hukum, namun YKCI  punya alasan sendiri mengapa mengkategorikan gugatan perusahaan rekaman sebagai gugatan yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta.

 

Dalam berkas eksepsinya, Irwan menunjukkan gugatan yang dilayangkan perusahaan label, pada intinya  mengenai kepemilikan karya rekaman suara/ master rekaman (sound recording). Hal itu, lanjut Irwan, terlihat dalam butir 15 dari gugatan  yang menjelaskan para penggugat menuntut agar dinyatakan sebagai pemilik master rekaman sehingga berhak untuk menjual, mengedarkan, memperbanyak, mengumumkan dan menyewakan master rekaman oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Padahal jelas, tuntutan atas kepemilikan master rekaman merupakan lingkup dari hak cipta.

 

Contoh lain, masih menurut Irwan, adalah dalam butir 16 dari gugatan, dimana perusahaan label yang mengaku sebagai pemilik master rekaman menyatakan telah mengalami kerugian ketika YKCI mengajukan gugatan kepada Telkomsel di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.  Kalau penggugat mengaku sebagai pemilik master rekaman, dan mengalami kerugian karena gugatan YKCI terhadap Telkomsel, lanjut Irwan, maka seharusnya penggugatmengajukannya ke Pengadilan Niaga.

Halaman Selanjutnya:
Tags: