Tersandung Izin Prinsip dan IPK Bermasalah
Berita

Tersandung Izin Prinsip dan IPK Bermasalah

Ada perlakuan khusus dari gubernur dan pejabat setempat terhadap Surya Dumai Grup terkait pemberikan Ijin Pemanfaatan Kayu.

CRN
Bacaan 2 Menit
Tersandung Izin Prinsip dan IPK Bermasalah
Hukumonline

 

Izin Prinsip Tidak Final

Dalam kesaksiannya, Waskito mengungkapkan bahwa izin prinsip yang dikeluarkannya terkait dengan permohonan Ijin Pemanfaatan Kayu belum bersifat final. Izin tersebut diajukan oleh beberapa perusahaan yang tergabung dalam Surya Dumai Grup (SDG).

 

Belum finalnya perijinan itui, lanjut Waskito karena masih ada sejumlah persyaratan yang belum dipenuhi. Persyaratan itu diatur dalam Pasal 8 SK Menhut No. 538 Tahun 1999 tentang Ijin Pemanfataan Kayu (IPK).

 

Izin tersebut masih harus ditelaah lagi oleh Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Dephut sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan IPK, ujar Waskito. Namun, Waskito tidak merinci lebih jauh persyaratan apa saja yang belum dipenuhi itu.

 

Menanggapi keterangan Waskito, Uuh Ali Yudin mengajukan keberatan. Dia (Waskito, red) tidak pernah menginformasikan soal tidak terpenuhinya izin prinsip ini kepada saya. Jadi, saya menganggap izin itu sudah final dan keluarlah IPK, kilahnya.

 

SK Menteri Kehutanan No. 538 Tahun 1999

Pasal 8

(1)     Apabila Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi memberikan persetujuan prinsip, maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi memerintahkan kepada pemohon untuk:

  1. Menyetorkan jaminan bank Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) kayu sesuai target produksi yang ditetapkan.
  2. Menyetorkan dana Pembinaan Sumber Daya Manusia dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
  3. Tata cara penyetoran jaminan bank DR, PSDH dan Dana Pembinaan Sumber Daya Manusia dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi.
  4. Melaksanakan penataan batas blok tebangan IPK.

 

Hasil Pemeriksaan Irjen

Selanjutnya, saksi Suwignyo dan Wahyono mengungkapkan perihal adanya masalah menyangkut IPK yang dimohonkan oleh SDG. Menurut Wahyono, berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan Irjen sebelumnya, permohonan IPK yang diajukan SDG tidak sesuai dengan SK Menhut No. 538 Tahun 1999, karena tidak memenuhi sejumlah persyaratan yang ditetapkan dalam Pasal 5, Pasal 7 dan Pasal 8 SK Menhut itu.

 

Ketidaksesuaian tersebut antara lain menyangkut permohonan IPK yang tidak diajukan kepada Kakanwil Dephut, ketiadaan tata batas areal, adanya  pelanggaran eksploitasi, serta Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang tidak didasarkan pada laporan.

 

Pasal 5

(1)                     Permohonan IPK diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi dengan tembusan kepada:

a.        Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi

b.       Kepala Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I

(2)                     Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilengkapi dengan :

a.        Persetujuan prinsip pelepasan/pinjam pakai kawasan hutan dari Menteri Kehutanan dan Perkebunan atau persetujuan pembangunan hutan tanaman dari Menteri Kehutanan dan Perkebuan atau persetujuan pencadangan lahan oleh Gubernur Kepala daerah Tingkat I pada areal penggunaan lain.

b.       Studi kelayakan (FS) kegiatan non kehutanan yang disetujui instansi yang berwenang.

c.        Bukti telah dilaksanakan tata batas areal yang dilepaskan atau yang dipinjam pakaikan atau areal penggunaan lain yang dicadangkan.

 

 

Pasal 7

(1) Apabila permohonan dapat disetujui, maka Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi meminta persetujuan prinsip kepada Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan Produksi selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja sejak diterimanya pertimbangan teknis Kepala Dinas Kehutanan Daerah Tingkat I.

 

Suwignyo dan Wahyono menjelaskan, berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut dan melihat rendahnya realisasi IPK yang ada, maka pada Februari 2007 keduanya diperintahkan oleh Irjen Dephut pada waktu itu untuk melakukan pemeriksaaan khusus IPK yang diberikan kepada SDG, serta melihat realisasi pelaksanaan perkebunan tersebut.

 

Wahyono mengungkapkan, hasil pemeriksaan membuktikan, dari 12 perusahaan yang telah menerima IPK, hanya 3 perusahaan yang sudah melaksanakan usaha perkebunan kelapa sawit, yaitu PT Karang Juang Hijau Lestari, PT Bulungan Hijau Perkasa dan PT Tirta Maju Sawit. Sedangkan 9 perusahaan lainnya, yang merupakan anak perusahaan SDG tidak atau belum melakukan kegiatan perkebunan.

 

Selain itu, baik Suwignyo dan Wahyono juga mengungkapkan adanya perlakuan khusus dari pejabat Dephut dan Gubernur Kalimantan Timur kepada SDG terkait pemberian IPK. Perlakuan khusus tersebut berupa ketiadaan pengawasan dan pemanggilan terhadap 9 perusahaan yang belum melaksanakan perkebunan, serta adanya pembebasan kewajiban penyetoran dana reboisasi. Ada bukti surat dari Gubernur (Suwarna Abdul Fatah, red) kepada Kadishut (Robian, red) bahwa sebagian ijin dibebaskan dari jaminan bank dan dana reboisasi, ujar Wahyono. 

 

Selain Uuh dan Robian, dua terdakwa lainnya dalam kasus ini adalah Martias, mantan Direktur Surya Dumai Grup (masih dalam tahap pemeriksaan saksi, red) dan Suwarna Abdul Fatah, Gubernur Kalimantan Timur Non-aktif, telah divonis pada 22 Maret yang lalu.

Persidangan kasus korupsi pembukaan lahan kelapa sawit sejuta hektar di Kalimantan Timur, kembali berlanjut. Persidangan yang digelar pada Senin (9/4) telah memasuki tahap mendengarkan kesaksian bagi dua orang terdakwa dalam berkas perkara yang terpisah.

 

Kedua terdakwa itu adalah Uuh Ali Yudin, mantan Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Kalimantan Timur serta Robian, mantan Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Timur.

 

Dalam persidangan itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Wisnu Baroto dan A Roni menghadirkan tiga orang saksi. Masing-masing adalah Waskito (mantan Dirjen Pengusahaan Hutan Produksi Dephut), Suwignyo dan Wahyono (pensiunan dan pegawai pada Itjen Dephut).

Halaman Selanjutnya:
Tags: