Terbakar Rapor Merah Laporan Keuangan Negara
Audit BPK

Terbakar Rapor Merah Laporan Keuangan Negara

Kualitas laporan keuangan Departemen Pemerintah dan berbagai Lembaga Negara, Pemerintah Daerah, serta BUMN masih buruk. Banyak temuan yang mengendap mangkrak.100

Ycb
Bacaan 2 Menit
Terbakar Rapor Merah Laporan Keuangan Negara
Hukumonline

 

Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) rupanya ditengarai memungut biaya perkara, mengelola dan menggunakannya sendiri tanpa mengacu pada peraturan perudangan yang mengatur PNBP. Dalam ikhtisar laporannya, BPK mengindikasi kerugian Negara sebesar Rp509,98 juta serta penyimpangan yang menghamburkan uang Negara sebesar Rp1,61 miliar dari MA.

 

BPK mencatat pemborosan proyek pengadaan barang dan jasa pada sembilan Kementerian dan Lembaga Negara sebesar Rp15,52 miliar. Pada dua belas Kementerian dan Lembaga Negara, terdapat juga kelebihan bayar dan proyek fiktif sebesar Rp32,74 miliar.

 

Anwar tak mempersoalkan apakah proyek tersebut melalui penunjukan langsung. Bukan urusan kami. Masalahnya proyek tersebut dikorup nggak? Proyek lewat tender pun bisa korup kok, ujar Anwar.

 

Alokasi Bahan Bakar Minyak dan Pelumas (BMP) juga menuai masalah. Departemen Pertahanan (Dephan), Tentara Nasional Indonesia (TNI), maupun Polri masih belum tertib mengelola BMP. Mereka boros dan masih ngutang ke Pertamina, tukas Anwar.

 

Rupanya rapor biru hanya dituai oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias (BRR). Laporan keuangan Proyek Penanganan Gempa Bumi Dan Tsunami pada 31 Desember 2005 ini beroleh opini Wajar Tanpa Pengecualian. Realisasi sesuai dengan alokasi anggaran yang ditetapkan, yaitu sebesar Rp4,54 miliar.

 

BPK masih saja mengeluhkan akses data wajib pajak. Kami terbentur Pasal 34 UU Nomor 6 Tahun 1983 dan perubahan-perubahannya, ujar Anwar. Pasal tersebut melarang BPK memeriksa penerimaan pajak negara. Pemeriksaan pajak rupanya masih terbatas pada pengujian atas laporan-laporan yang bersifat kualitatif.

 

Bank Indonesia (BI)

BPK menemukan masalah pada divestasi anak perusahaan BI, yaitu NV Indover Bank Amsterdam (IBA). Terdapat biaya penyehatan dan konsultan yang tidak efektif sebesar AS$348,01 juta dan Rp109,61 miliar.

 

Sejak awal, BI memiliki Indover, hampir semua dana Indover ditempatkan di cadangan luar negeri BI. Selanjutnya, dana tersebut dipinjamkan kepada sejumlah pengusaha yang merupakah kroni penguasa. Lantas, kredit tersebut macet dan ditanggung oleh BI atau APBN.

 

Penawaran yang diterima oleh konsultan BI atas Indover di antaranya berasal dari Parex Bank, yakni bank dari Latvia, sebuah negeri pecahan Uni Soviet. Belakangan, ada upaya penjualan Indover kepada Bank Ekspor Indonesia (BEI). Padahal BEI bukanlah bank komersil. Melainkan, bank yang mengurusi kredit kepada pengekspor yang memerlukan jangka produksi yang lama, seperti produsen kapal terbang, kapal laut, atau pembangkit tenaga listrik.

 

Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Rupanya, Pertamina, Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), beserta BUMN lainnya masih ngemplang kewajiban kepada Negara sebesar Rp18,67 triliun dan AS$558,30 juta sejak 2005.

 

Perbankan BUMN mendapat sorotan serius. Pertama, kasus Bank BNI. Selama 2001-2005, BNI Cabang London membebani kantor pusatnya. Penyebabnya, nasabah peminjam internasional rupanya ngemplang sehingga menibulkan kredit macet.

 

BPK memantau empat temuan sebesar AS$51,01 juta dan 13 juta pound sterling. Satu temuan senilai AS$5,16 juta telah ditindaklanjuti. Tiga temuan sisanya masih dipantau. Ketiga kasus itu menyeret tiga perusahaan besar, yaitu Rio Tinto European Holding (AS$43,58 juta), Parmalat Participacoes Do Brasil Ltda (AS$2 juta), serta SR Gent (13 juta pound sterling).

 

Sementara itu, dua bank lainnya, BRI dan BTN dinilai ceroboh menggelontorkan kredit. Jumlah kredit bermasalah BTN mencapai Rp607,83 miliar pada 2005. Sedangkan BRI dianggap teledor mengucurkan dana Rp3,51 triliun.

 

Pembayaran Kerja Sama Operasi (KSO) PT Telkom kepada PT MGTI dinilai terlalu mahal sehingga berpotensi merugikan Negara sebesar AS$124 juta.

 

Menurut BPK besaran subsidi BBM 2005 Rp104,78 triliun dan subsidi listrik Rp10,63 triliun. Sedangkan menurut Pertamina, subsidi BBM senilai Rp110 triliun dan PLN berpendapat subsidi listrik sebesar Rp12,51 triliun. Selisih Rp5,22 triliun dan Rp1,88 triliun ini harus dikoreksi.

 

Saat ini, beberapa BUMN ditengarai terlibat praktek korupsi. Selain Telkom dan PT LEN Industri, Ada juga RSCM, Semen Kujang, dan perusahaan lainnya yang masih kami pantau, ungkap Anwar.

 

Sayang, BPK masih enggan buka kartu. Kami menghormati asas praduga tak bersalah. Biarlah berproses dulu, ujar anggota BPK Uju Juwairi. Menurut Anwar, BPK tak berhak langsung menyidik. Temuan ini hanya bisa diproses oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

 

Pengelolaan uang BUMN ini memang unik. MA sendiri mengeluarkan fatwa yang menyebutkan keuangan BUMN bukan merupakan Keuangan Negara. Sedangkan BPK masih memegang UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara). Sesuai UU tersebut, setiap sen uang BUMN adalah milik Negara. Dan kedudukan UU lebih tinggi daripada Fatwa MA, ujar Anwar.

 

Pemerintah Daerah (Pemda) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)

BPK mengulik 313 Pemda –baik Kota, Kabupaten, maupun Provisi– maupun 55 BUMD. Nah, 61 Pemda ternyata belum menerima pendapatannya sebesar Rp115,46 miliar. Ada pula mark up anggaran proyek pengadaan barang dan jasa (procurement) oleh 142 Pemda. Akibatnya, terjadi kerugian daerah sebesar Rp130,03 miliar.

 

Sembilan Pemda rupanya menelantarkan asetnya yang sebesar Rp17,06 triliun.  Aset tersebut antara lain tanah tanpa bukti kepemilikan, belanja modal yang tidak tercatat sebagai inventaris, dan penyertaan modal pada BUMD yang belum diakui.

 

Anwar mengungkapkan pejabat pengelola keuangan negara lamban menangkap hasil temuan BPK. Hanya sekitar 38 persen hasil temuan yang ditindaklanjuti, ujar Anwar. Maksud Anwar, ‘tindak lanjut' adalah menuntaskan saran dan rekomendasi BPK atas temuan tersebut. Dari 28.640 temuan, baru 10.883 yang direspon oleh lembaga negara yang diaudit.

 

Penyebab leletnya kinerja pejabat keuangan ini karena berkaitan dengan pengelolaan Teknologi Informasi (TI). BPK mencatat terdapat kelemahan mendasar di lembaga palang pintu keuangan negara. Mereka adalah Ditjen Perbendaharaan, Ditjen Pajak, serta Ditjen Bea dan Cukai. Rupanya para pejabat keuangan masih gaptek menerapkan Sistem Akuntansi Pemerintahan yang telah diatur oleh UU Keuangan Negara.

 

Pada dasarnya ada dua penyebab buruknya kinerja keuangan. Pertama, kelalaian atau kesengajaan dari pejabat itu sendiri. Kedua, karena sistem atau peraturan yang memaksa para pejabat menabrak ketentuan. Faktor pertama sebenarnya bisa dikendalikan (controlable). Sedangkan faktor kedua uncontrolable atau faktor luar, ujar anggota BPK Agung Ray.

 

Anggota lainnya, Hasan Bisri, mencontohkan pengelolaan dana pada Perguran Tinggi Negeri (PTN) non Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Jika penerimaan dari SPP atau iuran mahasiswa lainnya segera disetorkan ke Kas Negara, PTN tersebut terkuras habis kasnya. Akibatnya, aktivitas sehari-hari terancam macet. Makanya para rektor tak menyetorkan langsung dana tersebut, ujar Hasan.

 

Menurut Wakil Ketua BPK Abdullah Zaini, pada 2005-2006 BPK hanya berkonsentrasi pada audit aset Negara yang berupa harta lancar. Selama ini kami hanya melacak kas. Mulai 2007 kami akan fokus pada aktiva tetap.

 

Menurut Abdullah, penelusuran harta tetap harus memperhatikan dua sisi, yaitu secara de facto maupun de jure. Misalnya sebuah gedung instansi. Faktanya, fisik gedung itu ada. Tapi, apakah ada sertifikat kepemilikannya? ujar Abdullah memberi contoh.

 

Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Tjahjo Kumolo berujar Pemerintah harus serius merespon temuan BPK. Apakah benar hasil temuan BPK sudah ditindaklanjuti? Jangan-jangan BPK ini hanya asesoris belaka. Jangan sampai hasil temuan ini hilang menguap begitu saja, teriak Tjahjo menginterupsi Sidang Paripurna.

 

Kapan yah lembaga negara kita becus membuat laporan keuangan?

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberi rapor merah terhadap laporan keuangan negara pada semester kedua 2006. BPK menyampaikan laporannya di depan Sidang Paripurna DPR RI, Jumat (30/3). Seusai sidang ini, Gedung Senayan tersebut lowong lantaran reses hingga 6 Mei mendatang.

 

Nampaknya sudah jadi tradisi bertahun-tahun, aparat Pemerintah memang belum pernah mampu menyusun laporan keuangan yang memuaskan. Berikut adalah laporan BPK atas temuan audit lembaga-lembaga negara:

 

Departemen, Kementerian, dan Lembaga lainnya

BPK menyoroti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). BPK telah memeriksa 67 jenis PNBP pada 18 Kementerian dan Lembaga Negara. Ada sejumlah PNBP yang digunakan secara langsung tanpa mekanisme APBN dan tidak dilaporkan kepada DPR yang memegang hak bujet.

 

Penggunaan PNBP yang melenceng tersebut mencapai Rp4,22 triliun di delapan Kementerian dan Lembaga Negara pada Tahun Anggaran 2005. Sedangkan pada 2006 terdapat Rp3,52 triliun PNBP di enam Kementerian dan Lembaga Negara yang tidak dilaporkan. Aktivitas nonbujeter ini jelas rawan penyimpangan, tutur Ketua BPK Anwar Nasution.

 

Ada pula PNBP yang belum disetorkan ke Kas Negara. Tujuh Kementerian dan Lembaga Negara masih menggembol dana Rp24,51 triliun dan AS$754,05 ribu.

Tags: