Asuransi Saja Tidak Cukup
Berita

Asuransi Saja Tidak Cukup

Pemberian santunan asuransi seringkali menjadi solusi dalam penyelesaian kasus kecelakaan transportasi. Namun, hal itu dianggap belum cukup.

Sut
Bacaan 2 Menit
Asuransi Saja Tidak Cukup
Hukumonline

 

Indah menjelaskan untuk mengungkap suatu kasus kecelakaan dan supaya tidak terulang kembali diperlukan bentuk pertanggung jawaban kepada publik. Bentuk pertanggugjawaban itu bisa dilakukan oleh pemerintah dengan mengumumkan penyebab kecelakaan termasuk pihak-pihak yang harus bertanggung jawab dalam kecelakaan itu ke masyarakat atau ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kalau hal itu  itu dilakukan, maka dia yakin kasus kecelakaan transportasi di Indonesia ke depan bisa diminimalisir.

 

Namun, bila pemerintah tidak biasa mengumumkannya, Indah memastikan hal itu bisa membuat pemerintah maupun industri penerbangan menjadi enggan untuk mengungkap suatu kasus kecelakaan. Hal ini diperparah dengan adanya asuransi seperti yang disebutkan tadi. Jaminan inilah kata Indah bisa menjadi moral hazard. Sepanjang ada jaminan, maka yang keluar adalah moral hazard. Dia tidak akan peduli dengan kecelakaan dan tidak mau belajar dari pengalaman itu. Karena kalau pun ada kecelakaan, nanti akan dijamin asuransi. Kebetulan masyarakat Indonesia ini sifatnya semu dan senang menerima kalau sudah diberikan santunan asuransi, ungkapnya.

 

Penyelesaian kasus yang berujung pada pemberian santunan ini memang biasanya membuat masyarakat malas untuk mempermasalahkan kasus kecelakaan ini ke pengadilan. Padahal, Proses pengadilan merupakan upaya yang tepat dalam mengungkap siapa yang harus bertanggung jawab. Sebab, di dalam pengadilan tidak ada statement politik yang ada adalah siapa yang benar dan salah, ujarnya.  

 

Selain itu, lanjutnya pertanggungjawaban secara hukum menurut Indah juga sesuai dengan UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam Pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Jelas, dikatakan dalam pasal itu kalau konsumen dilindungi secara hukum, kata Indah.

 

Gugat ke Pengadilan

Ditambahkan oleh Indah, seharusnya korban kecelakaan juga berani menyelesaikan  kasus ini melalui jalur hukum, baik secara secara perdata maupun pidana kepada manajemen perusahaan transportasi. Di pengadilan itu semua akan kelihatan, sehingga penalty itu tidak datang kepada satu pihak saja tetapi kepada direksi di korporasi itu. Itu yang tidak pernah dilakukan, ujarnya.  

 

Selama ini menurut mantan Ketua YLKI itu, pihak yang selalu disalahkan dalam kasus kecelakaan transportasi hanya supir, masinis, pilot dan nakhodanya saja. Faktor human error yang bekerja dengan tidak baik sering menjadi alasan klasik, terang Indah. Yang harus diketahui justru kenapa para pekerja itu tidak bekerja dengan  baik. Ada gak prosedurnya? nggak pernah ada. Dan itu selalu masyarakatnya dibungkam atau dibutakan dengan jaminan asuransi, tambahnya.

 

Jadi, kecelakaan itu seharusnya dijadikan sebagai proses pembelajaran. Dan yang paling bisa dilakukan secara benar itu ada  di pengadilan. Kalau tidak, isinya hanya statement politik saja. Hal itu tidak akan membenahi dan menanggulangi efek jera bagi pihak-pihak yang seharusnya bertangung jawab, papar Indah.   

 

Khusus untuk kasus terbakarnya pesawat Garuda Indonesia, menurut Indah yang harus bertanggung jawab adalah Menneg BUMN Sugiharto. Pasalnya, burung besi yang selama ini dianggap maskapai paling aman dari kecelakaan itu sahamnya dimiliki oleh pemerintah dalam hal ini Menneg BUMN.

 

Selama ini kata Indah, audit terhadap perusahaan negara tidak dilakukan secara transparan oleh Menneg BUMN. Kenapa yang harus diturunkan dan dikejar-kejar itu Hatta (Menteri Perhubungan Hatta Radjasa-red)? Wong, manajemen itu yang memegangnya Sugiharto. Apakah Sugiharto juga sudah melakukan audit direksi dalam melakukan proses bisnis? cetus Indah.

Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia, ketika ada kecelakaan transportasi selalu berakhir pada pemberian santunan. Beberapa kasus kecelakaan transportasi belakangan ini menjadi bukti bahwa begitu gampangnya suatu perusahaan transportasi menutup kasus kecelakaan hanya dengan memberi santunan tanpa menjelaskan penyebab dibalik kecelakaan itu.

 

Sebut saja peristiwa terbakarnya pesawat Garuda Indonesia GA-200 di Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada Rabu (7/3) lalu. Sehari setelah peristiwa yang menewaskan 21 orang tersebut, manajemen perusahaan penerbangan plat merah itu langsung mengumumkan santunan kepada keluarga korban yang tewas sebesar Rp 600 juta per kepala.  

 

Pemberian santunan juga diberikan kepada keluarga korban kecelakaan maskapai penerbangan Adam Air yang diperkirakan jatuh di perairan Majene Sulawesi Barat pada 1 Januari 2007. Direksi perusahaan itu berkomitmen untuk memberikan santunan sebesar Rp 500 juta kepada para korban tewas pesawat Boeing 737-400 milik AdamAir. Selain itu, masing-masing penumpang pesawat dengan nomor penerbangan KI-574 tersebut juga akan mendapatkan asuransi sebesar Rp 40 juta dari PT Jasa Raharja (Persero).

 

Peristiwa terbakar dan tenggelamnya Kapal Motor (KM) Levina I yang juga belum hilang dari ingatan masyarakat juga ditutup dengan pemberian santunan kepada keluarga korban. PT Praga Jaya Sentosa selaku operator Kapal Motor Levina I memberikan santunan terhadap korban meninggal dan sakit. Santunan di luar asuransi Jasa Raharja itu diberikan untuk 50 korban meninggal masing-masing sebesar Rp 10 juta. Sementara bagi 18 korban yang terluka disediakan santunan sebesar Rp 250 ribu. Santunan ini di luar biaya rumah sakit dan pengiriman jenazah ke kota asal.

 

Pemberian santunan ini menurut Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indah Suksmaningsih bukan solusi yang tepat. Sebab, hal ini bisa membuat masyarakat menjadi ‘manut' tanpa mau mencari tahu penyebab sesungguhnya kecelakaan itu. Yang kemudian dia (perusahaan transportasi-red) kembangkan adalah sepanjang saya bisa memberikan asuransi, itu sudah selesai. Sementara dia tidak belajar dari peristiwa kecelakaan itu, terang Indah kepada Hukumonline, akhir pekan lalu.

Tags: