Ketua MPR: Amandemen Kelima Boleh, Asal Konstitusional
Polemik UUD

Ketua MPR: Amandemen Kelima Boleh, Asal Konstitusional

Setelah lima tahun dijalankan, konstitusi hasil amandemen memerlukan evaluasi menyangkut kelebihan dan kekurangannya. Evaluasi tersebut disarankan dilakukan oleh segenap lapisan secara konstruktif dan konstitusional.

Aru
Bacaan 2 Menit
Ketua MPR: Amandemen Kelima Boleh, Asal Konstitusional
Hukumonline

Sumber: www.mpr.go.id

 

Menambahi Hidayat, Jimly memaknai polemik sebagai momentum untuk melakukan kajian mengenai kelemahan dan kelebihan UUD 1945. Kita evaluasi apa yang sudah kita praktekkan selama lima tahun terakhir. Apa saja yang harus diperbaiki dan bagaimana caranya, tutur Jimly

 

Ia menyarankan agar semua kalangan, baik perorangan, Lembaga Swadaya Masyarakat hingga Partai Politik (Parpol) melakukan kajian itu. Untuk Parpol, tercatat baru Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang telah melakukan konsultasi dengan Jimly. Sementara, lebih dari 100 orang anggota Dewan Perwakilan Daerah telah mengusulkan perubahan UUD 1945.

 

Diyakini Jimly, partisipasi publik yang lebih luas bisa menjamin penyelenggaran negara yang lebih partisipatif, dan lebih menjamin keadilan, kesejahteraan di masa mendatang.

 

Kemungkinan, urai Jimly, selama 5 tahun pasca amandemen keempat yang dilakukan tahun 2002, banyak hal perlu dievaluasi. Beberapa hal itu misalnya tentang norma yang terkandung di tiap pasal dan bagaimana para pejabat maupun institusi negara menjalankan UUD.

 

Ditanya soal kemungkinan manuver politik oleh pihak yang mempermasalahkan eksistensi UUD, Jimly justru mengingatkan agar tidak terlalu terburu-buru untuk mencap negatif muatan politis dibalik polemik UUD.  Ada saja kepentingan-kepentingannya (mereka mempermasalahkan UUD, red), tidak apa-apa, malah hidup. Kalau zaman Orde Baru atau Orde Lama, tidak boleh orang berbeda pendapat mengenai konstitusi. Tapi jaman sudah berubah, biarkan pandangan itu tumbuh saling berkompetisi. Asalkan tidak melanggar hukum, tegas Jimly.

 

Sementara, Hidayat kembali mengingatkan bahwa proses amandemen UUD diikuti dan disepakati segenap komponen yang saat itu masih duduk di parlemen. Tidak hanya Parpol, tapi juga TNI/Polri yang saat itu masih punya perwakilan yakni Fraksi TNI/Polri. Bahkan, lanjut mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera ini, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pun saat itu menjadi bagian yang mendukung terjadinya amandemen.

Setelah mengundang Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin Rabu (24/1) lalu, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid, Senin (29/1) mendapat kunjungan dari Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshidiqie. Kunjungan itu, dijelaskan, Jimly adalah forum konsultasi antar pimpinan lembaga negara. Konsultasi antar kedua lembaga ini adalah yang pertamakali dalam kepemmpinan Hidayat. Agenda yang dibicarakan masih seputar polemik konstitusionalitas Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen yang merebak belakangan.

 

Usai pertemuan, selain menyatakan konstitusi hasil amandemen adalah sah, keduanya menyatakan apresiasi mereka terhadap wacana yang berkembang di masyarakat. Mereka mempersilahkan siapapun untuk mengkaji konstitusi bahkan untuk mengusulkan amandemen kelima terhadap UUD 1945.

 

Tetapi hendaklah hal itu dilakukan dalam kerangka yang betul-betul bertanggungjawab untuk meningkatkan kualitas konstitusi kita ke depan. Tidak untuk memperdebatkan hal yang terkait dengan keabsahan dari konstitusi yang ada selama ini, urai Hidayat.

 

MPR sendiri, lanjut Hidayat, memahami bahwa perubahan konstitusi bisa dilakukan terus menerus hal mana ditegaskan Pasal 37 Ayat (1) UUD 1945. Pintu tetap terbuka, ungkap Hidayat, dan itu dilakukan melalui MPR.

 

PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR

Pasal 37

 

 (1)       Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari      jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(2)        Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara tertulis dan      ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

(3)        Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permusyawaratan       Rakyat dihadiri sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan       Rakyat.

(4)        Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan dengan             persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu anggota dari             seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(5)        Khusus mengenai bentuk negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan         perubahan

 

Tags: